YANG TERKENANG DARI MAULIRU
Semalam, ketika sedang asik membaca sebuah novel,
aliran listrik mendadak berhenti. Seketika asrama dan sekitarnya menjadi gelap.
Saya pun segera menyalakan sebatang lilin dan melanjutkan aktifitas saya dengan
bantuan penerangan lilin. Sesaat
kemudian saya berhenti dan mengamati lilin yang mulai mencair. Tanpa sadar
tangan saya sudah memainkan cairan lilin itu. Ah, saya teringat pada
penggalan-penggalan kenangan yang sudah terlalu lama saya lewati.
Menggunakan lilin sebagai penerangan di malam hari bukanlah
hal yang asing buat saya. Beberapa tahun yang lalu saya pun menggunakan lilin
di malam hari untuk belajar.
Semua berawal dari bapak yang pindah tugas ke
kampung halaman bapak sendiri yakni di sumba timur, tepatnya kami menetap di
kelurahan Mauliru.
Tentang Mauliu, tidak banyak yang bisa saya
ceritakan. Mauliru adalah sebuah kelurahan yang tidak terlalu menonjol di sumba
timur. Terletak tidak jauh dari kota waingapu. Ketika sekolah dulu, hanya butuh
belasan menit bagi bapak yang mengantar saya dengan sepeda motornya untuk
mencapai sekolah saya. Seorang teman yang super kreatif pernah menggambarkan lokasi
Mauliru seperti ini “Jika kita turun dari pesawat, lalu ingin menuju kota waingapu
maka kita akan temukan dua cabang. Satunya menuju kota waingapu, cabang lainnya
menuju Mauliru”. Kebanyakan masyarakat Mauliru menggantungkan hidupnya dari
hasil sawah dan kebun. Namun, seperti kebanyakan daerah lain di sumba, para
perempuan Mauliru pun turut membantu perekonomian keluarga dengan menenun.
Beberapa kepala keluarga mencari tambahan penghasilan dengan melaut jika cuaca
bersahabat meski laut terletak agak jauh dari rumah mereka.
Anak-anak muda di Mauliru kebanyakan memilih
membantu keluarganya di bandingkan bersekolah,
itu sebabnya, saya adalah salah satu diantara beberapa teman-teman
lainnya yang beruntung memiliki orang tua yang bisa membuat saya mewujudkan
mimpi saya untuk melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. Yang lainnya harus
puas dengan memegang ijasah SD, SMP dan SMA, bahkan banyak juga yang tidak
berijasah. Dengan cara mereka masing-masing, anak-anak muda Mauliru membantu orang
tua mereka atau setidaknya berusaha mengurangi beban orang tua mereka, apa lagi
hal-hal yang berkaitan dengan adat selalu membebani.
Sebelum keluarga saya pindah ke Mauliru kami menetap
di Anakalang (sumba tengah), di sebuah kompleks perumahan sekolah yang di huni
oleh guru-guru yang sebagian besar mengajar di sebuah SMP yang sama. Masa kecil
yang menyenangkan bersama teman-teman di sana harus berhenti karena kepindahan
bapak ke sumba timur (saya bahkan masih ingat dengan jelas bagaimana sepanjang
perjalanan itu saya menangis setelah memeluk sahabat terbaik saya: Rita Bily).
Sesampainya di Mauliru ternyata di tempat kami akan
mendirikan rumah, belum ada aliran listrik. Sebagian wilayah Mauliru memang
sudah menikmati adanya listrik, namun arah rumah kami belum ada pemasangan
listrik.
Awalnya, sulit bagi saya untuk menyesuaikan diri.
Kakak saya beruntung tinggal di sebuah asrama di Waingapu (API Padadita),
sedangkan adik saya belum di kirim Tuhan pada saat itu. Jadilah saya
satu-satunya anak yang harus belajar menggunakan penerangan seadanya setelah
terbiasa dengan lampu yang terang benderang di Anakalang.
Keadaan mauliru yang gelap di malam hari memberikan
kebiasaan baru buat saya, yakni menyelesaikan pekerjaan rumah sebelum gelap
datang (Walau pun di sekitar rumah kami ada sebuah SD, namun bapak memilih
mendaftarkan saya ke Waingapu. Tuntutan pesaingan di sekolah dan lingkungan
baru membuat saya sempat malas sekolah). Kadang ketika hari sudah malam dan
tugas belum selesai maka saya harus berusaha menyelesaikan tugas dengan
penerangan seadanya. ketika masih di Anakalang saya senang membaca buku yang
kebanyakan di pinjam bapak dan mama dari sebuah perpustakaan (seingat saya,
komik yang pertama kali saya baca berjudul Sidarta Gautama, dan saya sangat
menyukai buku itu). Setelah pindah ke Waingapu pun saya masih terus ingin
membaca dan karena saya tidak tau harus mendapatkan buku bacaan di mana, saya
pun membaca buku-buku bapak saya yang kebanyakan adalah buku tentang agama
karena bapak saya adalah seorang sarjana Agama yang kini bekerja sebagai
seorang guru Agama, saya suka membaca bagian renungan di mana biasanya ada
kisah kecil di dalamnya. Kebiasaan membaca itulah yang tidak bisa saya
tinggalkan walau pun di malam hari penerangan minim. Selesai mengerjakan tugas,
saya pasti akan membaca buku, dan kesempatan membaca buku adalah pada malam
hari setelah saya mengerjakan semua tugas sekolah (bagaimana pun tugas sekolah
adalah prioritas saya).
Awalnya saya menggunakan lampu pelita. Hampir di
setiap ruangan dalam rumah ada lampu pelita yang di buat sendiri dengan botol
bekas sirup atau obat-obatan padi yang sudah dicuci. Biasanya saya membaca
dengan bantuan lebih dari satu pelita. Meski pun cahayanya cukup menampakkan
tulisan di buku namun asap dari sumbu pelita itu benar-benar mengganggu. Bahkan
kadang-kadang saya harus memindahkan pelita-pelita itu sesuai arah angin agar
tidak mengganggu, namun tetap saja dalam ruangan yang kecil asap itu tetap
terasa saat bernafas.
Mungkin karena lebih sering mengeluh dan marah pada
asap pelita, bapak lalu membelikan lilin dalam jumlah yang banyak untuk saya.
Awalnya saya senang dan terus membaca, namun lama kelamaan saya lebih tertarik
memainkan cairan lilin yang tampak menyenangkan ketika cair apa lagi cahaya
lilin itu tidak seterang cahaya lampu pelita. Saya pun malas membaca karena
merasa cepat merasa ngantuk kalau membaca menggunakan lilin.
Beberapa bulan kemudian, bapak membeli sebuah lampu
gas. Jujur saja, lampu gas ini membuat saya ngeri. Suara yang terdengar
mendesis ketika lampu ini sedang bernyala benar-benar membuat saya tidak bisa
berkonsentrasi saat membaca. Lampu gas ini memang sangat terang, bahkan
seterang bohlam lampu sekarang, apa lagi jika kaosnya di ganti dengan yang baru
(kaos lampunya banyak di jual di kios-kios di mauliru karena ada beberapa
keluarga yang juga menggunakan lampu gas di rumah mereka). Ketika menggunakan pelita dan lilin saya
selalu mematikan sendiri apinya ketika hendak tidur, namun saat menggukan lampu
gas saya kebingungan saat bapak berkata “Rambu, kalau mau tidur jangan lupa
kasih mati lampu”. Saat hendak mematikan lampu gas itu, imajinasi aneh saya
muncul,saya membayangkan bagaimana kalau seandainya lampu itu meledak saat saya
menyodorkan tangan untuk mematikannya, atau saya memutar kearah yang salah,
lalu gasnya meningkat dan meledak, atau lampunya jatuh karena saya salah
menyetuh lalu pecah dan terbakar, bukanlah lampu itu penuh minyak tanah?
Pikiran-pikiran ganjil itu membuat saya tidak pernah berhasil mematikan lampu
gas itu dan pada akhirnya tertidur dengan membiarkannya terus menyala. Mungkin
tengah malam bapak atau mama yang bangun mematikannya. Begitu seterusnya hingga
suatu hari bapak membeli sebuah generator, kata bapak supaya kita juga bisa
menonton televisi yang sejak pindah di waingapu tidak pernah di fungsikan.
Generator itu di tempatkan jauh dari rumah agar
suaranya tidak mengganggu. Saya lega karena tidak perlu mendengar suara lampu
gas yang selalu membuat saya takut. Namun ketika malam tiba, mauliru dalam
keadaan sunyi. Jarang terdengar suara kendaraan, sesekali terdengar bunyi
binatang malam, selebihnya hanya ada senyap. Dan suara generator itu sungguh
mengganggu. Meski saya berusaha memusatkan perhatian pada bacaan saya namun
kadang jika buku yang saya baca tidak terlalu menarik saya pasti akan berhenti
membaca dan pada akhirnya tertidur dengan diiringi bunyi generator.
Ketika SMP bapak lalu berusaha menarik aliran
listrik dari seorang kerabat yang kebetulan bersedia membantu. Jaraknya ± 400
meter, dan itu adalah rumah terakhir yang di jangkau PLN untuk pemasangan
listrik saat itu. Kabel pun melintasi beberapa rumah dan memanjang sepanjang
selokan irigasi sawah yang tepat mengalir di depan rumah saya.
Keadaan ini bertahan cukup lama, bapak terus
mengawasi setiap kayu yang menjadi tiang sementara, siapa tau saja ada yang
rapuh dan harus di ganti, maka bapak pasti akan segera menggantinya dengan
tiang yang baru lagi.
Ketika duduk di bangku kuliah, suatu pagi mama
menelpon dan mengatakan bahwa dari pihak PLN bersedia memasang meteran listrik
di rumah namun tiangnya harus di beli sendiri. Dapat saya pastikan saat itu
juga bapak saya pasti langsung menyetujui karena bagaimana pun adik saya telah
tumbuh menjadi seorang anak yang pastinya sangat membutuhkan listrik untuk
belajarnya nanti (ya, bapak memang selalu mementingkan bagaimana anak-anaknya
belajar di malam hari).
Dan jadilah saat ini, adik saya menikmati suasana
rumah yang terang benderang tanpa pernah melewati bagaimana rasanya belajar
dengan menggukana pelita, lilin, lampu gas dan generator. Bahkan saat ini
beberapa rumah di sekitar rumah kami pun turut merasakan cahaya lampu listrik
karena kebetulan kabel dan tiang-tiang listrik yang di beli bapak melintasi
rumah mereka,jadi rumah mereka pun di pasang meteran oleh PLN.
Dari semuanya
itu saya belajar pentinnya berterima kasih kepada gelap sebab dengan cara yang
luar biasa ia mengajarkan saya bagaimana mencintai terang sebagai sesuatu yang
perlu saya perjuangkan sebab demikianlah cara saya tidak tersesat dalam perjalanan
saya.
Asrama Putri Stellamaris, september 2014
Komentar
Posting Komentar