MELEPASMU
Sekali lagi, aku bertemu dengannya. Menjelang siang.
Sebelas tahun, ya sebelas tahun. Tidak mungkin aku salah menghitungnya sebab
telah sebelas lembar kartu ucapan selamat natal sekaligus selamat ulang tahun
yang tersusun rapi dalam laci meja belajarku.
Aku
ingat dan selalu mengingatnya, saat di mana dia selalu katakan ingin pergi.
Itu
adalah salah satu kenangan yang selalu kujaga sebab dalam ingatan itulah aku
bisa merasakan sakitnya melepaskan sekaligus merindukannya.
“Aku
akan pergi.”
“Kemana?”
“Nanti
juga kau akan tahu.”
Selalu
seperti itu. Diam-diam dia membuat aku memelihara sebentuk rasa penasaran yang
tidak pernah dirampungkannya dengan sebuah jawaban.
“Jika
aku pergi, maukah kau berjanji satu hal?” untuk kesekian kalinya dia berbicara
tentang kepergiannya yang tidak kuinginkan.
“Kemana?”
dan lagi-lagi dia tidak menjawabnya. Dia mengabaikan pertanyaanku seolah-olah
kepergiannya adalah sesuatu yang tidak perlu kupertanyakan sama seperti
kehadiarannya dulu yang kusambut begitu saja karena ruang kosong dalam hatiku
mampu diisi dengan kesegalaannya.
“Kelak
jika aku pergi dan kita tidak berjumpa untuk waktu yang lama” dia diam sejenak,
lalu melanjutkan “Dan secara kebetulan kita bertemu kembali, maukah kau
berjanji untuk tidak membahas semua tentang kita?”
“Maksudmu?”
“Anggap
saja kisah kita adalah kebohongan. Anggap saja ini hanyalah latihan untuk
hubungan yang lebih baik bersama orang lain. Bahkan jika kau bisa berbuat
seolah-olah” dia terdiam lagi, bisa kudengar ia menelan ludahnya sebelum
melanjutkan “tidak mengenalku, mungkin itu lebih baik lagi.”
“Aku
tidak mengerti. Orang lain? Memangnya kau mau kemana? Hidup bersama orang
lain?”
“Berjanjilah
seperti itu, maka,,,,,”
“Tidak!
Sebelum kau katakan kemana kau akan pergi, aku tidak akan membuat janji bodoh
seperti itu.”
Dan
aku melakukan kesalahan dengan pergi sebelum sempat dia katakan apa yang
seharusnya dia katakan. Mungkin karena sebagian diriku tidak pernah siap untuk
mendengar alasan dia pergi, apa pun itu. Dia memanggil namaku, aku
mengabaikannya. Di hadapanku mentari senja menertawakanku yang mendatanginya
dengan berurai air mata.
Sejak
saat itu dia pergi, dia menghilang begitu saja dari duniaku. Pengecut. Aku
melakukan banyak hal untuk menemukannya. Aku menghubungi orang-orang
terdekatnya, bahkan aku menghubungi Tuhan meski aku tak tau sedekat apa dia dan
Tuhan. Namun sia-sia, tidak ada jejaknya yang tertinggal. Dan dia sudah
melangkah jauh, entah kemana.
Aku bukannya perempuan yang yang mudah
menyembuhkan luka hatiku. Sebelum dia hadir, aku pernah memelihara lukaku
karena seorang pria yang begitu baik hingga rela membagi cintanya dengan
sahabatku. Dan setelah kepergiannya tidak mudah bagiku untuk menemukan
seseorang yang lain dan menempatkan mereka dalam ruang istimewa dalam hatiku. Di
sana dia masih berdiam dengan begitu tenang. Namanya masih begitu indah disebutkan.
Doa-doaku untuknya terasa membawa Tuhan begitu dekat dalam hidupku.
Aku
menuliskan ucapan selamat natal untuknya yang kuselipkan dengan ucapan selamat
ulang tahun karena hari bahagia dimana dia dilahirkan tersisip antara perayaan
natal dan tahun baru. Kartu ucapan yang kubuat sendiri itu menumpuk dalam laci
mejaku, sebab aku tidak pernah tau harus dialamatkan kemana semua lembaran
kartu itu.
Aku
terus memelihara bayangannya. Kujaga semua tentang dia dengan selalu mengingat
masa-masa di mana aku bahagia bersamanya. Dalam dadaku selalu ada rindu yang
bergemuruh seumpama hujan di senja yang manis. Berulang kali kulayangkan doa
agar sejenak saja aku bisa bertemu dan menyentuhnya namun Tuhan belum juga
mengamini.
Dan
beberapa saat yang lalu dia baru saja berkeliaran dalam area pandangku. Bukan
sekedar bayangan. Sungguh nyata. Tiba-tiba saja aku merasa hidupku kembali pada
belasan tahun silam.
Melihatnya
membuatku mengerti mengapa dia tidak pernah mau mengatakan kemana dia pergi. Dia
kini berbeda. Dia telah bersama dunia yang dicintainya. Ternyata cinta yang
kupunya tidak pernah bisa untuk mengembalikannya menjadi milikku. Kepadanya aku
tidak lagi berhak menjadi siapa pun selain seorang wanita biasa.
Hari
ini, aku mengerti peran yang kulakoni untuk hidup dan bahagianya. Benar katanya,
mungkin kebersamaan kita yang dulu hanyalah sebuah latihan. Bagi dia mungkin
melepaskanku tidaklah sesulit aku melepaskannya. Karena dia punya tempat untuk
pergi setelah melepaskanku sedangkan aku harus betah bersama semua kesendirian
dan luka yang tersimpan sebab aku tidak pernah tahu harus kemana aku pergi
untuk bisa menerima kepergiannya.
“Lama
tidak berjumpa.”
“Ya,
pada akhirnya aku memang tau kemana kau pergi.”
Dia
terdiam. Entah apa yang dipikirkannya.
“Bagaimana
kabarmu?”
“Seperti
yang kau lihat?” aku menjawabnya sambil tersenyum lebar. Sepertinya aku mulai terkena
pengaruhnya untuk membiarkannya mencari sendiri jawaban pertanyaannya.
“Kau
tampak sehat”
“Seperti
itulah.” Aku tertawa lagi, menyadari kenyataan bahwa muda baginya untuk
menemukan jawaban, sedangkan bagiku butuh waktu belasan tahun untuk mengetahui
kemana dia pergi.
Lagi-lagi
kita terdiam. Ada yang salah dengan cara kita bertemu. Dan masing-masing dari
kita seperti enggan untuk menyadarinya.
“Aku
rindu....”
“Bukankah
kau sudah pernah berjanji untuk tidak pernah membahasnya lagi?”
“Janji?
Aku tidak pernah membuat janji seperti itu. “
“Apakah
kau lupa janji yang kau buat belasan tahun silam?”
“Tidak
ada yang kulupakan tentang semua kenangan belasan tahun silam, bahkan
tahun-tahun sebelumnya. Aku ingat semuanya.”
“Lalu
mengapa kau masih membahasnya?”
“Karena
aku memang tidak pernah membuat janji seperti itu.”
“Tapi
kau,,,”
“Aku
hanya akan berjanji jika kau katakan kemana kau pergi. Ingat?”
Lagi-lagi
aku melakukan kesalahan yang sama dengan berlari meninggalkannya yang termangu.
Kali ini dia tidak memanggilku, dia melepaskanku dengan ketulusan yang
terpaksa.
Tepat
seminggu kemudian aku kembali menemuinya di tempat di mana memang seharusnya dia
ditemui.
“Katakan
kemana kau pergi.”
“Bukankah
kau sudah mengetahuinya?”
“Ya.”
“Lalu?”
“Katakan
saja, seminggu ini aku sudah memikirkan semuanya. Mungkin memang seperti inilah
jalan yang harus kutempuh, mungkin dengan penantian panjang ini Tuhan mau
mengajarkanku bagaimana menjadi seseorang lebih sabar lagi.”
“Lalu
untuk apa harus kukatakan hal yang sudah kau ketahui?”
“Agar
mudah bagiku untuk mengucapkan janji yang kau minta.”
Dia
terdiam. Tanpa terasa aliran bening di mataku luruh. Bertahun-tahun aku terisak
dalam kesendirianku, namun sekarang pun meski dia nyata di hadapanku isakanku
tidak akan pernah menghilangkan perasaan sendiri dalam hatiku. Diamnya adalah
kesendirianku. Dia memang tidak akan pernah menggenapi hidupku.
“Maya,
maaf, waktu itu bukannya aku tidak mau katakan kemana aku pergi, hanya saja aku
tidak akan sanggup menolak jika kau memintaku unuk tetap bersamamu. Tapi sudah
lama aku mengimpikannya Maya, jauh sebelum aku mengenalmu, itu sebabnya berat
bagiku jika kau mengetahuinya apalagi jika kau memintaku untuk tetap
bersamamu.”
“Katakan
saja kemana kau pergi. Ini bukan lagi tentang apa yang bisa kulakukan jika kau
katakan padaku, semuanya sudah terlambat, aku tidak mungkin bisa melakukan apa
yang mungkin akan kulakukan jika kau katakan pada belasan tahun silam. Jadi
beritahu aku sekarang, kemana kau pergi selama ini agar mudah bagiku untuk
berjanji padamu dan tidak akan membahas tentang kita lagi, meski mungkin
aku,,,,”
“Biara”
dia memotong ucapanku dengan cepat, “Ke biaralah aku akan pergi Maya.”
Aku
terdiam. Otakku seperti lumpuh. Aku tidak tahu bagaimana caranya berpikir saat
itu. Aneh, belasan tahun ternyata belum cukup untuk membuatku siap
mendengarnya. Bahkan meski aku sudah mengetahui sebelum dia katakan, tetap
membuatku terkejut sekaligus ingin membantah meski sudah terlambat.
“Terima
kasih sudah mengatakannya, Pater.”
Dan
kali ini, kepergianku bukanlah kesalahan sebab memang sudah seharusnya aku pergi.
Asrama
Stella Maris, Maret 2014
Perna di muat di pos kupang
aahh. kakak. kamu keren.
BalasHapusterima kasih kezia, si penyuka micky mause hehehhehe,,,,,, saya baru saja menjelajah blog kamu,,,, keren,,,,,
HapusWow...
BalasHapuspertama kali baca karya2 mu di harian suratkabar di kota ku...
Riau..
Masih berdomisili di kupang kh..,?
karya-karya saya yang kk maksudkan pastilah sekumpulan puisi yang di muat tanggal 29 maret yang lalu,,, :)
BalasHapusiya, saya masih di kupang kk,,, tapi dua minggu lagi saya pulang ke kabupaten sumba timur, daerah asal saya.