THE TRUTH




Realistis?”
“Ya, kau harus realistis.”
“Aku sudah melakukannya.”
“Dengan berlari meninggalkan impianmu?”
“Tidak, aku hanya mengambil jalan lain.”
“Meninggalkan impianmu?”
“Mungkin suatu saat nanti aku bisa mendapati diriku sedang berlari di jalan impianku.”
“Bagaimana jika tidak?”

“Jika tidak? Aku tak tahu. Aku hanya merasa bahwa aku harus optimis.”
“Optimis? Semoga itu tidak berarti kau ketakutan.”

Percakapan 14 tahun silam itu tiba-tiba saja kembali dalam memoriku, seperti alarm yang menyuruhku untuk tetap siaga. Kau yang kini berada di hadapanku memang bukanlah penjahat, aku percaya kau masih tetap teman lamaku yang sempat menghilang dari kisah kita setelah kelulusan di SMA dulu. Namun, keangkuhan yang terpancar dari mata dan gerakmu membuatku harus yakin bahwa kau masih sebaik dulu, teman lamaku.
“Kau sehat?” tanyamu. Kau memilih tempat terbaik di ruang tamuku.
“Ya” aku tersenyum melihat tingkahmu dan aku tidak tersinggung karena dengan begitu aku tahu kau masih teman lamaku. Dewi yang keras hatinya dan selalu menginginkan yang terbaik.
“Kau kerja apa sekarang?” kau melayangkan pandang ke sekelilingmu, melihat rumahku yang kecil dan sederhana. Diam-diam aku berharap agar kau turut merasakan kedamaian yang tersalurkan dalam atmosfir rumahku.
“Guru. Kau?”
Kau tersenyum. Sepertinya kau tak ingin menjawab pertanyaanku. Bukan karena kau tak bisa menjawab pertanyaanmu, hanya saja kau merasa itu tak perlu dijawab.
“Kau senang menjadi guru?” benar, kau tak menjawab pertanyaanku. Kau malah mengajukan pertanyaan untukku.
“Ya.”
“Mengajar apa?”
“Fisika.”
Senyummu masih seperti dulu. Senyum yang selalu meremehkanku. Senyum maklum akan tindakanku yang takkan pernah bisa menang terhadap kau. Senyum yang selalu merasa hebat dariku.
“Bagaimana denganmu?”
“Murid-muridmu mengerti apa yang kau ajarkan?” kau tak peduli pada pertanyaanku.
“Ya,mereka menyukaiku.” Kau menganggukkan kepala mendengar suara banggaku. Apakah kau kini mengakui kehebtanku? “Apa yang kau lakukan sekarang?”
“Aku sedang duduk di rumahmu.” Kau menjawab pertanyaanku sambil tertawa. Kau memamerkan gigi putihmu yang membuat kau tampak semakin manis. “Hmmmm kau tidak tahu tentangku?”
“Bahwa kau seorang artis? Ya aku tahu itu. Kau sering kulihat dalam TV.”
“Semuanya sesuai dengan impianku” lagi-lagi kau pamerkan senyummu. Namun kali ini ada yang lebih dari sekedar senyuman itu. Tatapanmu turut menghujamku. Membuatku sedikit gugup.
“Kau hebat.”
“Aku tahu. Karena aku realistis, aku tidak pernah meninggalkan mimpiku.”  aneh, suaramu tiba-tiba menginggi. Apakah kau marah padaku?
Mungkin itu sebabnya kedatanganmu tadi membuat aku mengingat lagi percakapan kita dulu, ketika kau menyuruhku realistis. Ternyata kau memang  ingin aku mengingatnya.
“Jadi kau kemari ingin membuktikan bahwa apa yang kau katakan waktu itu kini sudah menjadi kenyataan? Kau telah mampu menjadi artis dan kini mau menunjukkan padaku bahwa berlari ke jalan lain itu membuatku tidak bisa menikmati impianku?”
“Kau meninggalkan mimpimu.”
“Terserahlah.”
“Tapi bukan itu yang aku ingin kau tahu. Aku sudah yakin bahwa kau tahu kalau aku seorang artis. Aku sudah banyak dikenal orang.”
Kini gantian aku yang tersenyum. Tapi ini betul-betl senyum ketulusan, ternyata meski telah lama berpisah aku tak pernah kehilangan dirimu. Angkuh.
“Apa yang kau ingin aku tahu?”
“Aku akan bermain film.”
“Bukankah itu hal yang biasa? Kau kan sering bermain film, bahkan filmmu di putar hampir di seluruh bioskop di Indonesia. Dan kau salah satu pemain film hebat di tanah air ini. Bukankah bermain film adalah hal yang biasa?”
Kau tersenyum. Ada yang aneh dengan senyummu. Kau jelas-jelas memamerkan kesombongan dari garis bibirmu yang bergincu.
“Aku akan bermain di film seorang penulis terkenal di Indonesia.”
“Itu istimewa? Bukankah selama ini penulis skenariomu adalah penulis-penulis terkenal.”
“Ya, tapi ini istimewa.” Kau tidak melanjutkan perkataanmu. Kau malah memintaku segelas air. Meski penasaran aku mengikuti saja maumu. Kuambilkan kau air dan menyuguhkan padamu. Tak butuh waktu lama bagimu untuk meneguknya.
“Apa istimewanya?” terpaksa aku mendesakmu.
“Kau tahu seorang penulis bernama Maya Mirach?”
“Ya, novelnya memenuhi toko-toko buku. Novelnya bagus.”
“Kau menyukainya?”
“Ya, aku mengaguminya.”
“Aku juga. Dia penulis favoritku. Aku selalu nyaman setiap kali membaca novelnya.”
“Dia ingin kau berperan untuknya?”
“Ya, katanya skenario yang ditulisnya itu didedikasikan khusus untukku, judulnya The True”
“Kau menyetujuinya?”
“Tentu saja, dia adalah idolaku. Dan yang lebih membahagiakan dia mengatakan bahwa dia mengidolakanku. Kau dengar itu? Hidupku berjalan begitu hebat. Idolaku mengidolakanku.” Kau tertawa bahagia. Yang kau tunjukkan kini bukanlah kesombongan namun kebahagiaan. Kau dan impianmu terlihat begitu sempurna.
“Aku senang kau bahagia.” aku benar-benar tulus mengatakan hal itu. Namun, entah kenapa aku menangkap sesuatu yang tak beres dari sinar matamu. Ada yang redup di sana, enggan untuk membuatmu tampak hebat.
“Masih ada satu lagi, kau tahu kisahnya tentang apa? Mirip seperti kisah kita.” Senyummu tiba-tiba hilang saat mengatakan hal itu. Suaramu tercekat. Ada getar-getar aneh yang terasa. Ah, betapa cepat senyummu berganti kemurungan. Mungkin karena sering bermain film makanya kau pandai mengganti ekspresi wajahmu. Apakah kau sedang berakting?
“Dewi.” Pangilku. Kenapa kau tiba-tiba rapuh? Ada apa dengan isakanmu?
“Aku merindukanmu.”
Saat aku beranjak duduk di sampingmu Blacberrymu berdering. Dan kita sama-sama tahu bahwa kau akan segera pulang. Kau mengusap air matamu sedangkan aku hanya menatapmu tanpa kata.
“Rena, apa yang kukatakan tentang film Maya tadi, kau orang pertama yang mengetahuinya.”
Aku tersenyum dan mengangguk.
“Aku mengerti. Pulanglah, dan berperanlah yang hebat.”
“Ya, film itu aku dedikasikan untukmu. Ketika di beri gambaran tentang skenarionya aku tahu bahwa aku pasti dapat memainkannya dengan sempurna, itu sebabnya aku mencari dan memberitahumu. Karena film itu istimewa seperti dirimu.”
Dan kau pun pergi. Meninggalkan rumah dan aku yang masih tersenyum untukmu.
......................................................................................................
Dewi tergesa-gesa berlari menuju kantor rumah produksi yang mengontraknya.
“Dewi, ini skenario film terbarumu. The True.”
“Terima kasih, pak.”
 “Penulisnya hanya menginginkan kau yang memerankannya, maka kau harus berperan dengan baik. Kau dan Maya adalah dua orang yang terkenal di negeri ini. Artis dan penulis. Meski aku belum mengerti mengapa Maya memberikan peran ini untukmu  yang belum pernah ditemuinya, namun aku percayakan semuanya padamu.”
“Baik pak, mungkin Maya sering melihat aktingku di TV.”
“Mungkin kamu betul.”
Dewi menerima skenario itu. Namun di bagian akhir naskah itu Dewi membaca sebuah pesan.
Untuk Dewi,
Berjalan di sisi lain tidak berarti aku meninggalkan impianku. Aku sudah bilang bahwa suatu saaat nanti aku akan mendapati diriku sedang berlari di jalan impianku. Dan karena aku mencintai kata seperti aku mencintai impianku maka kurangkai kata ini juga khusus untukmu. Berperanlah, dan sampaikan pesanku pada semua bahwa tak ada yang salah dengan cinta yang pernah kita jalani. Tunjukkan pada dunia, bahwa ada kebenaran dibalik penolakan-penolakan mereka.
Salam,
Maya.

“Kau tahu peranmu kan? Cinta sesama jenis”
“Ya pak, seorang lesbian”
“Kau yakin bisa memerankannya?”
“Tentu, aku sangat yakin pak.”
Ketika keluar dari ruangan itu, Dewi segera menelpon Rena.
“Kau hebat. Impianmu menjadi penulis akhirnya terwujud.”
“Tidak Dewi, impianku bukan sekedar itu.”
“Lalu?”
“Aku penulis naskahnya, kau artisnya dan dalam filmnya kita bertemu dan bercerita tentang hal-hal yang tidak bisa kita ceritakan dalam dunia nyata kita. Dan kita masih bisa bersatu lewat filmmu yang kutuliskan khusus untukmu.”
“Ya, mari kita buat film ini menajadi film yang hebat. Aku akan berlari bersamamu di lintasan impianmu.”
“Terima kasih Dewi.”
“I Love you, Rena”
“Love you too, Dewi.”
Stella Maris, 2013

Dimuat di harian pos kupang



Komentar

Postingan populer dari blog ini

TENTANG MENYUKAI SEORANG FRATER

BENTANGAN LANGIT SIANG HARI