ANNA
Kelak kau akan
mengerti mengapa tawamu bisa dinikmati banyak orang tetapi air matamu hanya bisa dilihat satu orang: dia.
Kau terbiasa mendengar orang berkata bahwa perempuan itu lembut, cengeng, rapuh, ayu
dan berbagai kata lainnya yang mendeskripsikan perempuan sebagai sosok yang
menyedihkan di matamu yang selalu nampak liar. Makanya kau ingin menjadi sosok yang berbeda.
“Tapi kau juga seorang perempuan”
“Lalu?”
“Kenapa kau tidak menerima takdirmu?”
“Tapi kau terlahir seperti itu, bersikaplah yang
lembut.”
“Lembut? Kau gila!”
Ya, begitulah kau. Selalu menutup percakapan sejenis itu dengan cara yang tidak pernah kupahami. Kau terbiasa melihat orang-orang disekitarmu mendefinisikan perempuan, perempuan hanyalah makhluk lemah yang selalu
mengharapkan perlindungan seorang pria. Kau ingin menjadi seperti laki-laki yang
bisa melindungi, tangguh dan kuat. Padahal, tanpa menjadi laki-laki pun kau memiliki jiwa itu: tangguh, kuat dan mampu melindungi. Sayangnya kadang kau tidak menyadari itu kau seolah terjebak dengan payudara yang menyembul di dadamu serta kelamin yang membuatmu merasakan rutinitas bulanan dari seorang wanita yang sering
kau keluhkan.
“Bagaimana pun juga kau adalah seorang wanita.”
Wajah cemberutmu selalu terlihat lucu. Kau lalu
meninju lenganku. Aku terbiasa dengan segala tingkahmu yang spontan. Gerakan dan ekspresimu
selalu tepat kutebak.
Penampilanmu tidak selalu rapi. Rambut yang kau biarkan acak-acakan itu selalu bersih dan wangi dengan aroma shampomu. Kemeja
kotak-kotak yang tidak pernah kau kancingkan selalu membuat kau terlihat semakin lusuh.
Lengan kaosmu yang selalu kau lipat senantiasa mempertunjukkan warna lenganmu
yang putih. Tapi di balik semua itu aku selalu berhasil menemukan sisi lemah
yang terjebak dalam tubuhmu, aku selalu berhasil melindungimu dari
ketakutan-ketakutan yang tidak pernah kau sadari atau mungkin tidak kau akui.
Entahlah.
Tidak peduli seberapa kuat dan tangguh kau di mata orang lain, di mataku kau tetaplah seorang perempuan yang selalu bisa kutemukan alasan untuk menjagamu.
Mungkin atmosfir daerah kita yang lebih sering panas
membuat hatimu selalu membara, namun aku selalu ingat, kaulah yang selalu
menarikku bergembira di bawah guyuran hujan setelah kemarau yang panjang. Bosan
berlarian di padang sabana sekitar rumah kita, kau mengajakku menunggangi
kuda-kuda milik ayahmu. Kuda-kuda pacu yang tangguh dan perkasa itu akan
melarikan kita, mendaki dan menuruni bukit. Debu
yang membubung, suara tawamu yang memekakkan telinga serta langit senja
yang manis adalah sebentuk potret istimewa yang kupigura indah dalam pikiranku.
Tidak ada lelah bersamamu, hanya ada bahagia. Itu saja.
Dan kuduga, masa kecil kita di padang terbuka dengan
musim yang lebih sering kemarau adalah awal dimana kau ingin bertumbuh menjadi
seorang wanita yang tangguh. Di hatimu selalu ada matahari yang selalu dengan
mudah membakar habis lembaran perasaan takut dan lemah dalam hatimu.
Kau bahkan pernah menampar anak seorang guru SMP
kita yang kebetulan mendapatkan nilai lebih baik darimu padahal itu adalah
hasil contekannya. Aku juga ingat kau pernah membuang segelas air kepada seorang
wanita yang sedang kupacari ketika tahu bahwa wanita itu memiliki kekasih
selain aku. Dan masih banyak tingkahmu yang selalu berhasil membuatku tertawa
meski bagi orang lain itu sangat menjengkelkan.
Ada satu kenangan yang selalu kusimpan rapi di
ingatanku, kau juga pernah menangis. Ketika pertama kali kau terjungkal dari
punggung seekor kuda. Jika saat itu kau hanya terjatuh ke belakang mungkin kau
tidak akan menangis, toh kau juga sering terjatuh dari ranting pohon. Tapi saat
itu kau terguling dari atas bukit hingga terhempas ke bawah. Dan sekujurmu
penuh luka. Kau meringis dan menangis ketika kupapah pulang ke rumah. Sejak
saat itu kau berjanji tidak akan menangis lagi. Kau membenci airmatamu, apalagi ketika ada orang lain yang melihatnya. Entah kenapa, saat itu dalam
kepolosan kanak-kanakku aku seperti menginginkan janji itu teringkari, mungkin
aku masih ingin melindungimu.
Bertahun-tahun berlalu dan kau menepati janjimu. Kau tidak pernah menangis lagi. Hingga beberapa bulan lalu kau mengingkarinya. Saat itu kau sedang jatuh cinta. Setahun lebih kau memelihara perasaan itu. Meski awalnya
kau menyimpannya rapat-rapat dalam hatimu namun sebagai sahabatmu, tentu saja
aku mengetahui setiap perubahan dalam dirimu sekecil apa pun itu. Dan untuk sebuah alasan yang tidak kumengerti
aku dapat melihat jauh di kedalaman hatimu betapa kau menyukai pria itu. Sial!
Namun melihat penampilanmu yang berantakan dengan
mudahnya pria itu menolak perasaan cintamu. Padahal kau sudah berusaha mati-matian
membuktikan penampilan yang menarik dan terbaik versimu, tapi tetap saja, di
mata dia penampilanmu masih jauh dari sebutan cewek idamannya. Air matamu
tumpah saat dia menolakmu dan memilih perempuan yang berpenampilan manis dengan rambut
yang tergerai indah serta tingkahnya yang anggun.
Aku memang pernah menginginkan agar kau tidak
berhenti menangis. Aku memang masih ingin melihat kau menangis agar aku bisa
melindungimu lagi, namun melihat air mata di wajahmu, betapa rapuhnya dirimu dan
menyadari betapa kau terluka, diam-diam
aku marah. Aku tidak ingin melihat kau menangis untuk alasan seperti itu. Sesungguhnya, air matamu boleh tumpah sederas yang kau inginkan, untuk alasan apapun, tapi tidak untuk alasan yang satu ini.
........................................................................................................
Siang ini, Umbu kehilangan Anna dari pandangannya.
Susah payah Umbu mencarinya. Hingga akhirnya Umbu memutuskan untuk mencari ke rumah
Anna dan segera berlari ke kandang belakang rumah Anna setelah mamanya memberi
tahukan bahwa Anna terlihat menuju kandang.
Namun, di kandang Umbu tidak menemukan Anna. Mata Umbu
berputar ke seisi kandang. “Manandang” ya manandang tidak berada di kandang. Umbu
segera menyambar pelana yang menggantung dekat kepalanya. Diambilnya seekor
kuda jantan yang telah beberapa kali ditungganginya lalu berpacu meninggalkan
kandang.
Nun jauh di antara perbukitan, Umbu masih bisa
melihat debu-debu yang beterbangan. Itu adalah debu yang terbang karena derap
kaki manandang, kuda yang dipacu Anna. Umbu yakin itu.
Semakin dekat Umbu mendengar ringkikan manandang yang
tidak tenang. Terdengar khawatir. Manandang seperti meringkik gelisah. Umbu semakin
tidak tenang, ilalang sabana yang menguning dan bunga yang tumbuh liar diantara bebatuan
bukit pun rebah terkena pijakan kuda yang ditunggangi Umbu. Kini Umbu bisa
melihat dengan jelas kuda yang ditunggangi Anna. Kuda itu terlihat hilir mudik
di atas sebuah bukit yang selalu gundul.
Tapi mana Anna?
Umbu menajamkan pandangannya, menembus silau mentari.
Dicarinya Anna di sekitar manandang, tapi punggung kuda itu kosong, begitu pula
di sekitarnya.
Umbu segera beranjak turun dari kudanya. Ia
memanggil nama Anna berulang kali, tapi senyap. Tidak ada jawaban. Hanya
terdengar suara angin kepanasan di bakar mentari di puncak pandang dan suara kuda yang gelisah.
Lambat laun, Umbu mendengar sebuah isakan. Pelan. Di
sana. Di tempat dimana dulu Anna pernah menangis ketika terjatuh. Tempat di mana
Umbu pernah berjanji untuk selalu melindungi Anna. Tempat di mana Anna berjanji
untuk tidak menangis lagi.
“Anna!!!” teriak Umbu.
Anna menoleh dan tampaklah air mata bercucuran di
wajahnya. Terlihat pilu dan sakit.
Umbu menghampiri dan memeluknya. Dalam pelukan itu Anna
terisak pasrah seolah menemukan tempat untuk meletakkan semua ketakutannya, semua yang selama ini ditahannya, semua yang selama ini disimpannya rapat-rapat dalam ruang yang disebut 'kuat'. Melihat Anna terisak dalam pelukannya, Umbu mengerti bahwa yang ditangisi Anna bukanlah sekedar sebuah luka yang sedang menganga di hatinya, tetapi rentetan sakit, takut dan patahnya pada banyak hal yang selama ini tersembunyi di balik tawanya yang renyah, di balik candanya yang menghibur dan di balik matanya yang selalu menghindari tatapan Umbu. Umbu membiarkan Anna menangisi segala rasa yang selama ini menumpuk di dadanya.
Maka mengertilah Anna, sekalipun musim di daerahnya
lebih sering kemarau, tetap saja akan ada hujan dipenghujung tahun, seperti
juga hatinya yang lebih sering kokoh, tetap saja dapat rapuh. Menyangkal berapa
kali pun ia tetaplah seorang manusia dengan segala rasa dalam dada, tertawa sekeras apapun ia tetap butuh menangis yang kencang. Mungkin ia bisa tertawa di depan banyak orang, tetapi akhirnya ia sadar, satu-satunya yang ia izinkan melihat airmatanya adalah Umbu, seseorang yang memberikan rasa nyaman yang candu dan istimewa.
Untuk seorang “Rambu”
Kupang, Mei 2014
Pernah di muat di pos kupang edisi minggu, 25 mei 2014
.
Komentar
Posting Komentar