SEKILAS TENTANG 'PAUHINGU SENI' 'SUMBA ART GATHERING' 'FESTIVAL SASTRA MINI'
Rencana akan mengadakan festival sastra
mini sudah diberitahukan oleh Mbak Olin Monteiro beberapa bulan lalu. Saat itu,
saya belum memiliki kesibukan yang berarti selain menuliskan beberapa cerita
pendek dan puisi karena saya baru saja diwisuda dan belum mendapatkan transkrip
nilai yang bisa digunakan untuk mencari kerja. Di sela-sela aktivitas
menganggur saya, tentu saja saya menyambut baik dan penuh semangat rencana festival
ini.
Meski pun hanya berskala kecil namun tetap saja membutuhkan beberapa
persiapan sebelum memulianya. Dan karena tidak terlalu paham dengan hal-hal
berkaitan dengan event seperti ini (biasanya cuma urus penyuluhan kesehatan ke
desa-desa, maklumlah dulukan mahasiswa kesmas hehehehe), saya pun mengajak
kakak Umbu Nababan untuk turut membantu saya. Memang saya mendatangi orang yang
tepat, rencana ini pun di sambut baik oleh kakak Umbu, bahkan ia bersedia
menjadi koordinator untuk kegiatan ini.
Beberapa persiapan pun kami lakukan
bersama seperti menghubungi beberapa orang yang bisa diajak terlibat, menghubungi
beberapa tempat yang bisa di jadikan tempat kegiatan, mengurus surat ijin dan
surat undangan serta melatih adik-adik yang akan tampil di pentas seni (saya cuma
numpang ikut saja pada prosesnya, selebihnya kk Umbu yang lebih berperan untuk
membereskan segala hal hehehehe)
Beberapa hari sebelum hari H, tim PWAG
dari Jakarta tiba di Waingapu, mereka adalah Mbak Olin Monteiro, Mbak Sandie
Monteiro, Mbak Shantoy Hades dan Mbak Indah Yusari. Setelah kedatangan mereka,
diadakan briefing bersama panitia dan relawan yang bersedia membantu kegiatan
ini guna memantapkan persiapan yang sudah ada.
Hari
pertama, Rabu, 12 Agustus 2015, kegiatan dimulai
dengan menonton film documenter bersama di aula STIE Kriswina Sumba, film yang
ditonton adalah film Payung hitam yang menceritakan tentang dua perempuan yang
berusaha memperjuangan keadilan atas apa yang mereka alami dan menolak untuk
melupakan kejadian itu. Adapun kedua perempuan itu adalah Ibu Neneng yang
merupakan warga Rumpin di Bogor yang tanahnya dan beberapa warga kampungnya
diambil oleh TNI (Angkatan Udara), tanah yang diambil seluas 1000 hektar, dan yang
kedua adalah Ibu Sumarsih yang berusaha keras memperjuangkan haknya untuk
mengadili pelaku yang menembak anak lelakinya saat bentrokan reformasi 1998.
Film documenter ini diproduksi oleh Peace Women Across the Globe dan KontraS
pada November 2011 lalu. Dalam pemutaran film ini hadir pula bapak Frans Hebi, seorang penulis dari sumba yang telah melahirkan banyak karya. Setelah menonton film ini dilanjutkan dengan diskusi
yang dipandu oleh kakak Wenda Radjah. Diskusi berlangsung semangat karena
beberapa peserta turut memberikan gambaran tentang kegelisahan-kegelisahan mereka
terhadap ketidakadilan yang nampak di bumi marapu ini.
Sore hari kegiatan dilanjutkan dengan
diskusi anak muda dan budaya, yang dibawakan oleh empat orang anak muda. Ibu Anggreni
Mehakati yang merupakan seorang guru fisika di SMA Negeri 2 Waingapu yang
menekuni dunia tari-tarian Sumba. Beliau turut bercerita tentang tari-tarian Sumba
dan kegelisahannya tentang minat anak muda Sumba Timur yang rendah terhadap
dunia tari serta keterbatasan yang ia miliki dalam mengelola minatnya, seperti
tidak ada tempat dan alat-alat berlatih yang memadai untuk mewujudkan mimpinya
melatih tari pada anak-anak. Selain ibu Anggreni hadir pula Kakak Dicky Senda yang
merupakan salah satu delegasi dari Komunitas Sastra Dusun Flobamora yang bercerita
banyak tentang perkembangan-perkembangan komunitas anak muda di kota Kupang saat
ini. Ya, saya juga turut melihat bagaimana akhir-akhir ini komunitas anak muda
kota kupang makin meningkat jumlahnya, tapi saya berharap komunitas-komunitas
ini bisa tetap memepertahankan eksistensinya untuk menghasilkan anak-anak muda
NTT yang cerdas dan kreatif.
Dalam diskusi ini hadir pula kakak Umbu Nababan
dan kakak Yonatan Hani dari komunitas Humba Ailulu. Saya yakin nama Humba
Ailulu sudah tidak asing lagi bagi kita apalagi yang sering menjelajah dunia
maya, komunitas ini salah satu komunitas yang memiliki gaung di Waingapu.
Anak-anak muda yang terlibat di dalamnya adalah anak-anak muda yang memiliki
mimpi untuk mewujudkan Sumba Timur yang lebih baik, dan luar bisanya mereka
mewujudkan mimpi-mimpi itu dengan dimulai dari hal-hal kecil, dari berkumpul
bersama, membagi (dan menuliskan) mimpi-mimpi mereka, bertemu dengan
orangt-orang yang bisa membantu mereka mewujudkan mimpi mereka, melakukan
hal-hal positif, menggelar galeri Humba Ailulu (meski pun saat itu saya masih
di kupang, namun saya bisa merasakan bagaimana semangat positif mereka yang
luar biasa), melakukan pembersihan di tempat-tempat wisata, mengadakan
kelas-kelas inspirasi untuk membakar semangat dan menambah pengetahuan, bahkan
ada anggota komunitas yang membangun sebuah taman baca yang cukup dikenal di Waingapu.
Selain itu, kakak Umbu Nababan yang juga seorang penulis puisi dan cerpen turut
berbagi cerita tentang Ana Humba Comunity yang dirintisnya, komunitas ini lebih
berkonsentrasi pada pementasan drama sebagi bentuk kepedulian dan kepekaan mereka
terhadap masalah-masalah sekitar.
Kakak Umbu dan kakak Yon sama-sama
membagi kegelisahan mereka tentang anak muda Sumba yang lebih memilih untuk
tidak peduli pada budaya sendiri dan menyesalkan perilaku anak muda Sumba yang
cenderung merasa bangga dan hebat jika berhasil menerapkan budaya luar seperti
dialek atau bahasa daerah dari tempat-tempat mereka kuliah atau pun bekerja,
padahal merupakan sebuah kebanggaan tersendiri ketika kita sebagai orang muda Sumba
mampu berbahasa Sumba dengan baik. Ya, saya sepakat itu kak! Pada moment diskusi
itu, peserta begitu antusias untuk mencari tahu lebih dalam tentang dunia
sastra dan budaya bahkan ada yang berniat bergabung dan mendukung
komunitas-komunitas anak muda yang ada.
Hari
kedua. Kamis, 13 Agustus 2015, berlangsung di Wisma
Cendana. Diawali dengan workshop cerpen yang dibawakan oleh kakak Anaci Tnunay,
salah seorang utusan Dusun Flobamora Kupang yang juga merupakan seorang guru di
sebuah sekolah swasta di kupang. Kegitan ini memiliki peserta yang terbatas,
hanya peserta yang lulus seleksi saja yang diundang untuk mengikuti workshop
ini seperi kakak Wenda Radjah, Arnold Sailang dari Sumba barat daya, Sarah
Ludji dari Undana kupang, kakak Fransiska Ika dari Waingapu dan beberapa
lainnya. kegiatan ini di buka dengan bincang-bincang mengenai isu gender dalam
lingkungan sekitar kita guna menghidupkan daya imajinasi dan kepekaan kita
sebelum menulis cerpen. Lalu dilanjutkan dengan pemaparan materi oleh kakak Anaci.
Saya pun mendengar dengan antusias, bagaimana pun juga sebagai orang yang
berminat pada dunia cerpen kesempatan ini haruslah saya gunakan dengan baik. Meski
pun sudah menuliskan beberapa cerpen namun tetap saja, saya selalu merasa
‘haus’ terhadap hal-hal yang bisa membantu saya menulis dengan lebih baik, apa
lagi proses belajar menulis cerpen yang sering saya lakukan hanyalah membaca
karangan penulis lain, ini pertama kalinya saya mendengar pemaparan terhadap
hal-hal tentang dunia cerpen. Setelah memberikan teori dan tips-tips menulis
cerpen, kak Anaci memberikan kesempatan pada saya, kakak Dicky Senda dan kakak Fransiska
Eka yang merupakan seorang penulis perempuan dari ende untuk berbagi tentang
proses kreatif kami karena setiap penulis memiliki proses kreatif yang
berbeda-beda.
Saya, kak Anaci, kak Dicky, dan kak Eka
sepakat untuk satu hal yang sama yakni untuk menjadi seorang penulis kita perlu
menjadi seorang pembaca yang rajin. Membaca adalah hal penting yang tidak boleh
diabaikan jika kita ingin menulis. Membaca apa saja, karya sastra, buku
pengetahuan, Koran dan lain sebagainya. Baca! Selain itu kita perlu jalan-jalan
untuk mendapatkan suasana yang mendukung daya imajinasi kita, kita perlu
menemukan-inspirasi-inspirasi kita, lalu buatlah komitmen untuk menulis.
Menulislah apa saja: cerpen, puisi, artikel atau apa pun kegelisahan yang kita
rasa. Setelah makan siang, peserta ‘ditantang’ untuk menulis cerpen sebisa ia
lakukan.
Kak Anaci pun sempat mengembalikan
cerpen kiriman peserta yang diseleksi yang sudah dilengkapi kritik dan
saran-saran untuk menjadikan karangan itu jadi lebih baik. Peserta pun sibuk
menuliskan karya mereka, suasana terlihat santai. Pada batas waktu yang
ditentukan masing-masing peserta lalu membacakan karyanya dengan dibatasi
waktu, selebihnya akan dibacakan sendiri oleh kak Anaci dkk untuk memberikan tanggapan.
Dari hasil diskusi tim juri untuk memilih cerpen terbaik, disepakati bahwa
cerpen kak Hanne Ara, kak Wenda Radjah, dan kak Fransiska Ika adalah 3 cerpen
terbaik. Beberapa buku pun diberikan sebagai hadiah.
Disela-sela penilaian, hadir pula sosok
artis yang sering muncul sebagai pemeran utama dalam beberapa film seperti
AADC, Soe Hok Gie, Pendekar Tongkat Emas dan beberapa iklan yakni Nikolas
Saputra yang kemudian membacakan sebuah cerpen karya Lisa Febriyanti yang
berjudul ‘Namaku Ai’. Cerpen ini merupakan salah satu cerpen dalam kumpulan
cerpen ‘Hari-Hari Salamander’ yang terbitkan oleh PBP Publising. Saya sempat
‘tanganga’ ketika mendengar cerpen ini, bukan karena seorang artis keren dan
tampan yang membacakannya tapi karena cerpennya. Sebagai seorang yang berasal
dari tanah marapu ini sekaligus menyukai dunia tulis dan pernah beberapa kali
menulis tentang Sumba, saya merasa’ditampar’ dengan keras oleh Lisa Febriyanti
melalui kata-katanya yang menggambarkan tentang Sumba Timur. Bagaimana tidak,
Lisa melukiskan suasana Sumba dengan begitu jelas dan mempesona seakan ia
berhasil membangun miniatur Sumba dalam cerpennya. Saya iri sekaligus
tertantang untung menulis lebih baik lagi tentang Sumba (terima kasih Lisa
Febriyanti, salam kenal.)
Setelah workshop cerpen ditutup,
kegiatan dilanjutkan dengan menonton film dokumenter yang berjudul ‘Masih Ada
Asa’ yang menceritakan tentang dua perempuan korban kekerasan seksual yang
terus berjuang melanjutkan hidup mereka dalam kesederhanaan mereka dan menolak
lupa pada apa yang mereka alami. Mereka adalah Ati dan Ros yang berasal dari
Maumere, Flores. Setelah menonton film, dilanjutkan dengan diskusi bersama
produser film yang juga hadir yakni Mbak Olin monteriro dari PWAG Jakarta serta
dua orang pendeta sekaligus aktivis perempuan yang peduli terhadapa isu-isu
perempuan di Sumba. Diskusi terlihat hidup dengan pertanyaan-pertanyaan dari
peserta yang tertarik untuk mendalami dan prihatin dengan kasus-kasus yang
menimpa perempuan. Diskusi ditutup meski beberapa peserta harus menampilkan
wajah kecewa karena tidak sempat bertanya, apa boleh buat, kita dibatasi waktu
namun tentu saja diskusi bisa dilanjutkan diluar kegiatan ini.
Hari
ketiga. Jumat 14 agustus 2015, Pukul 15.30 wita saya
mengendarai sepeda motor menuju ke SMA Negeri 2 Waingapu di jalan Soeharto, Radamata,
meski sempat kesusahan melewati jalan yang dipadati peserta karnaval. Sesuai
kesepakatan di sana akan diadakan diskusi antologi puisi ‘ISIS DAN MUSIM-MUSIM’
bersama saya dan kak Fransiska Eka yang merupakan dua penulis dari 17 penulis
perempuan Indonesia Timur yang terlibat dalam antologi itu. dalam diskusi yang
dipandu oleh kakak Dicky Senda ini saya dan kak Eka diberikan kesempatan untuk
sharing proses kreatif kami dalam menulis puisi. Hadir dalam diskusi ini, pak
Nabas dan pak Nggaba yang merupakan guru bahasa Indonesia di SMA Negeri 2 Waingapu
serta pak Bernad Nggaba yang merupakan seorang wakil kepala sekolah di sekolah
yang sama bahkan pak Nabas sempat membacakan karya saya dalam diskusi ini (saya
senang sekali). Selain itu hadir pula tim PWAG Jakarta, kakak Yonatan Hani,
kakak Anaci, adik-adik AH comunity dan adik-adik pelajar dari SMA Negeri 2 Waingapu
serta beberapa mahasiswa dari STIE kriswina Sumba. Diskusi ini mampu memberikan
motivasi pada peserta yang hadir untuk semakin giat menulis sebagai bentuk dari
kepekaan dan kepedulian kita pada lingkungan sekitar serta sebagai cara
menuangkan isi hati terhadap apa yang kita rasa dan alami. Setelah diskusi
selesai seorang guru mendekati saya dan mengajak saya untuk turut serta
membantu adik-adik dalam proses menulis mereka dan menghidupkan kembali majalah
dinding sekolah yang sudah lama ‘hening’. Tentu saja saya mengiyakan dengan
semangat.
Dari SMA Negeri 2 Waingapu kami semua
turun menuju taman kota. Ada apa di sana? Yapsss,,, di sana akan diadakan malam
pentas seni sebagai malam penutupan Festival sastra ini. Dalam pentas seni ini,
adik-adik dari AH Community membawakan sebuah drama singkat tentang mimpi
seorang anak yang terhambat oleh banyak hal, seperti tidak ada dukungan dari
pemerintah, sahabat bahkan orang tua, juga terbatasnya fasilitas pengembangan
diri, serta banyak hal lainnya yang pada akhirnya membuat seorang anak pasrah
pada pilihan lingkungannya. Hal ini tentulah sudah tidak asing lagi dalam
kehidupan kita bahkan mungkin kita sendiri juga mengalaminya, mimpi-mimpi kita
terpaksa harus kita kubur dalam-dalam. Namun, terlepas dari itu semua, saya
ingin mengatakan jangan takut untuk bermimpi, jangan takut untuk meraihnya.
Bermimpilah lalu yakinkan dirimu bahwa kau akan meraih mimpi itu dan dengan
keyakinan itu abaikan semua hal yang menghalangi dan menghambat mimpi itu.
setelah pementasan oleh adik-adik AH community, dilanjutkan dengan music performance oleh musisi
sunba Hanne Ara, kakak Elson yang merupakan seorang musisi dari Anakalang dan
penyanyi ibukota Oppie Andaresta yang menyanyikan lagunya yang sudah akrab
ditelinga kita: ‘Single happy’ serta
beberapa lagu lainnya. Penonton terlihat bersemangat dan turut menyanyikan lagu
bersama Opie Andaresta yang juga bersemangat menghibur pengunjung taman kota
malam itu. setelah dihibur oleh nyanyian, penonton kembali dihentakan dengan
pembacaan puisi oleh Mbak Sandie Monteiro yang membacakan puisi saya berjudul ‘Kepada
Perempuan, Ibuku’ yang ada dalam anologi puisi perempuan Indonesia Timur ‘Isis
Dan Musim-Musim’, lalu kakak Umbu Nababan yang membacakan puisi kak Martha Hebi
dari antologi yang sama, serta kakak Anaci Tnunay yang membacakan puisi saya
yang berjudul ‘Perempuan Dalam Selintas Perjalanan Dendam’ yang tergabung dalam
antologi puisi melawan kekerasan terhadap perempuan yang diterbitkan oleh Komunitas
Penulis Perempuan Indonesia (KPPI). Pentas seni pun berakhir tanpa kekacauan.
Dan perasaan lega pun menyusup dalam dada ketika semua bubar dengan wajah
berbinar.
Hari
keempat. Sabtu 15 agustus 2015, tidak ada lagi
workshop dan diskusi, tidak ada lagi nonton film. Tiba saatnya untuk
jalan-jalan dalam ajang Sumba Trail. Jalan-jalan
lebih dari sekedar jalan-jalan biasa yang memanjakan mata, jalan-jalan ini
lebih ‘berisi’. Dua mobil meluncur meninggalkan kota Waingapu setelah sesaat
singgah di kampung raja untuk menjemput kakak Umbu Angga, lelaki yang teramat
mencintai budaya daerahnya. Sepanjang perjalanan, saya, kak Eka, dan kak Anaci
memfokuskan perhatian dan pendengaran pada cerita-cerita Umbu Angga (Isi kepalanya
tentang budaya Sumba buat saya iri, sungguh!) dan sesekali mendengarkan cerita
kak Yon yang lebih mirip nasihat yang baik, kak Dicky pun tidak ketinggalan
dengan cerita-ceritanya tentang budaya timor. Selain kami bertiga, kak Shantoi dan
dani juga menyumbang pertanyaan-pertanyaan yang dijawab dalam bentuk cerita
oleh para narasumber dadakan itu hehehehehe. Sebelum tiba di Rende, kita semua
makan siang di sebuah bukit yang entah apa namanya, tapi angin dan desau cemara
sangat terasa disana. Setelah makan dan bercanda heboh versi Sumba Art Gathering, kak Dicky
membacakan sebuah puisi karya kakak Mario Lawi dalam buku kumpulan puisi ‘Lelaki
Bukan Malaikat’. Keren! Dan eh, kak Shantoy berhasil menghasilkan satu jepretan
yang oleh kak Anaci pasti akan jadi foto terindah dan mungkin kak Anaci akan
kembali lagi ke bukit itu untuk mengenang moment itu (hahahah lebay).
Kami lalu melanjutkan perjalanan ke kampung
Rende, di sana kami berpencar dan berdialog dengan beberapa warga. Saya
memutuskan mengekor kak Angga yang sedang memberikan penjelasan tentang
kuburan-kuburan tua di situ pada Nikolas Saputra dan yang lainnya. dan karena
sudah terpikat oleh isi kepala kak Angga maka saya dan beberapa lainnya terus
mengekor beliau, hingga akhirnya kami duduk di sebuah rumah panggung. Kami
duduk di bagian tengah rumah, membentuk setengah lingkaran: ibu pemilik rumah, Dani,
saya, kak Dicky, kak Umbu Nababan, kak Umbu Angga, kak Eka, kak Anaci dan kak Hanne.
Tidak jauh di hadapan kami, ada sebuah mayat yang sudah bertahun-tahun belum dikuburkan,
diselubung rapi dengan kain. Semua perhatian terpusat pada kak Umbu Angga, ia
mahir bercerita, cerdas menjawab pertanyaan-pertanyaan, pengetahuan budayanya
banyak, saya salut! Dia bercerita banyak hal, kami pun bertanya banyak hal.
Tidak ada habis-habisnya. Sayang sekali waktu tidak cukup untuk menuntaskan
rasa penasaran kami. Ketika kembali ke mobil, Saya, kak Eka dan kak Anaci pun
sama-sama menyesali waktu yang terlalu singkat untuk cerita-cerita yang
menyenangkan itu. Kami pun sempat mengunjungi rumah salah seorang kelompok
pematung. Bapak pematung itulah yang sering mengukir menhir di kuburan bahkan
ia yang akan memahat sebuah menhir untuk kuburan yang sedang dibuatkan di
halaman kampung.
Dari kampung Rende, kami lalu menuju
pantai Maujawa. Ada yang sedikit berbeda dalam perjalanan ini. Bukan lagi
tentang cerita-cerita budaya, tapi tebak-tebakan sederhana yang menguji
pikiran. kak Yon memberikan beberapa tebakan yang jarang berhasil kami jawab.
Tapi ketika kami berhasil menjawabnya, mobil itu jadi lebih ramai karena
teriakan heboh hehehehehe. Di Maujawa bergabunglah bersama kami seorang cewek
cantik bernama kak Meta dari Kalimantan. Ah, ini dia! Salah seorang teman saya
memang pernah menceritakan kalau ada temannya yang akan bergabung bersama kami.
Kami menikmati sunset di pantai itu,
sambil mendengarkan kak Dicky membacakan cerpen berdialek timor. Kami semua
senang, tertawa bersama, melepas semua lelah karena kegiatan yang cukup padat,
menikmati debur ombak, menikmati bias jingga di langit, menikmati desau pohon
cemara, ah betapa saya beruntung berada diantara mereka dengan semua
mimpi-mimpi dan cerita-cerita mereka. Matahari belum seutuhnya tenggelam ketika
kami harus menaiki mobil masing-masing (bertambah satu mobil dengan mobil yang
ditumpangi kak Meta) “kata Niko, sunset lebih bagus kalau dinikmati dalam
perjalanan” begitu kata kak Yon ketika mengajak kami naik ke mobil. Dan benar,
sunset benar-benar indah dengan siluet pohon dalam perjalanan pulang.
Hari
kelima, Minggu 16 agustus 2015. Hari ini kak Anaci
pulang ke Kupang. Masih subuh ketika saya menjemputnya dan membawa ke bandara,
rencananya mau menukar tanggal kepulangan di tiket kak Anaci, tapi gagal. Kak Anaci
tetap harus pulang hari ini. Saya sempat tidak rela kak Anaci pulang pagi itu,
bahkan ketika kak Anaci telah masuk untuk chek
in pun saya masih duduk di luar, seorang tante yang kebetulan saya temui di
luar berkata sambil tertawa “dian berharap teman tadi keluar lagi lalu
membatalkan kepulangannya ya?” saya mengangguk dan tertawa (dan saya
percaya,tante saya itu pasti menganggap saya aneh hehehehe). Tanpa kak Anaci
saya dan kak Eka seperti kehiangan objek yang bisa bikin tertawa (maap kak Anaci
hehehehe). Dan ternyata saya tidak semobil dengan kak Eka karena kak Eka akan
menjadi narasumber dadakan di mobil lainnya untuk menjelaskan tentang Flores. Tahun
depan akan diadakan Flores Art Gathering
lagi. kami lalu menuju pantai cemara dan makan siang di sana sekaligus menyampaikan
segala kesan kita terhadap Sumba Art
Gathering karena hari ini merupakan kebersamaan kami yang terakhir untuk
kegiatan ini. Setelah beristrahat sedikit kami lalu menuju Mondu dan ‘menengok’
lokasi syuting film Pendekar Tongkat Emas bersama pemeran utamanya: Nikolas
Saputra, sayang sekali tempatnya sudah tidak terawat lagi. Diabaikan begitu
saja.
Kunjungan selanjutnya adalah yang paling
berkesan. Kami ke kampung tua Prainatang. Astaga, luar biasa sekali kampung
ini. Ada gerbang sederhana untuk memasukinya, ketika melewati gerbang itu saya
merasa seperti pulang dan terjebak pada masa yang teramat lampau. Atap-atap
rumah panggungnya masih terbuat dari alang, kuburan-kuburan tua, desau angin
kemarau, debu yang beterbangan, babi yang berkeliaran, pohon-pohon tanpa daun,
saya takjub! Ada getar aneh dalam hati saya, seperti terharu pada suasana ini,
perasaan yang benar-benar aneh dan saya suka pada perasan ini. Dalam hati saya
berjanji, saya akan kembali lagi ke sini dan pergi ke banyak tempat lainnya
lalu akan saya tunjukkan betapa saya
mencintai negeri Marapu ini dengan cara yang istimewa.
Di kampung ini bukan hanya saya yang
takjub, beberapa teman lainnya pun merasakan hal yang sama, bahkan ada yang
sempat bilang “Eh saya masih di Indonesia?” hehehehe memang luar biasa di sini.
Kami menghabiskan beberapa waktu untuk menikmati moment-moment istimewa di sini,
masih dengan tawa dan canda yang menyenangkan bahkan kekocakan kak Dicky dan kak Indah lebih sempurna dengan merekam
sebuah video hehehehe. Masih dengan rasa takjub yang sama, kami pun mengakhiri
kunjungan di kampung Prainatang dan kembali ke pantai cemara untuk menikmati
sunset di sana seraya tetap berbagi keceriaan dan cerita.
Malam harinya, saya, ka Umbu dan Dani akan
memboncengi kak Eka, kak Meta dan kak Dicky, dan diikuti Mbak Olin, Mbak Sandie,
dan Mbak Indah dengan mobil untuk nongkrong di YHS Café setelah kami memamerkan
pemiliknya sebagai seorang pecinta sastra juga. Kunjungan kami di sambut ko Yongki
yang merupakan pemilik café ini dengan senyum ramah sekaligus memintaan maaf
karena tidak ikut dalam festival kami. Kami disuguhkan minuman racikannya yang
cukup ‘menyegarkan’ hehehehehe. Cukup lama kami bercerita dan dan bercanda
heboh di YHS café sebelum akhirnya kami bubar. Sebelum bubar kami semua saling menyampaikan
salam perpisahan karena sadar inilah akhir pertemuan kita dalam Sumba Art Gathering.
Sedih rasanya mengakhiri kebersamaan
yang tercipta hampir seminggu ini. Tidak semua dari kami sudah sering bertemu.
Ini pertemuan kedua dengan Mbak Olin dan Nikolas Saputra setelah setahun lalu pernah
sama-sama dengan mbak Olin untuk mengunjungi syuting PTE dan jalan-jalan, ini
pertama kalinya saya bertemu Mbak Indah, Mbak Opie Andaresta, Mbak Sandie, Mbak
Shantoy setelah sebelumnya hanya berkomunikasi via email dan telpon. Dan meski
tinggal di propinsi yang sama, ini pertama kalinya saya bertemu kak Fransiska Eka.
Sudah banyak tulisannya yang saya baca dan jadi favorit saya. Waktu masih
kuliah di kupang, saya sering bertemu kak Dicky Senda dan kak Anaci di beberapa
event sastra, tapi rasanya begitu istimewa ketika mereka berkunjung ke tanah
kebanggan saya ini.
Hal yang sama pun terjadi dengan
beberapa relawan yang terlibat. Beberapa diantaranya baru saya jumpai dalam
proses persiapan festval ini. kak Yon, Mbak Riris, kak Titus, Yanti, Dani, Aris
dan beberapa lainnya baru pertama kali saya jumpai. Meski sudah lama kenal
dalam dunia maya dan sempat bertemu setahun lalu dengan kak Umbu Nababan namun
dalam persiapan festival inilah kami lebih sering bertemu dan mendiskusikan
banyak hal.
Demikianlah kegiatan Sumba Art Gathering yang dilaksanakan
atas kerja sama Peace Women Accros the Globe, Komunitas Sastra Dusun Flobamora,
dan Komunitas Humba Ailulu ini berhasil mempertemukan saya dengan banyak
orang-orang hebat dan luar biasa. Memberikan saya kesempatan belajar banyak
hal. Membuat saya makin mencintai dunia sastra dan negeri Marapu. Membuat saya
percaya masih banyak yang harus saya lakukan untuk Sumba. Membuat saya bangga
terlahir sebagai seorang gadis Sumba dari rahim seorang perempuan luar biasa
dan bertumbuh dengan cinta seorang ayah yang sangat saya sayangi.
Pada akhirnya, saya berterimakasih untuk
semua kebersamaan-kebersamaan kita, baik kepada sesama panitia, kepada PWAG
Jakarta, kepada Komunitas Satra Dusun Flobamora, kepada Humba Ailulu, kepada AH
Comunity, kepada Opie Andaresta, kepada kaka Elson dari Anakalang, kepada Nikolas Saputra, kepada kakak Meta dari
Kalimantan, kepada peserta festival, kepada STIE Kriswina Sumba dan
kepada semua pihak sudah membantu melancarkan kegiatan ini. Kalian semua luar biasa dan saya bangga bisa jadi bagian dari kegiatan ini.
Terima kasih untuk semua kebaikan-kebaikan
bahkan yang kecil sekalipun, semua mimpi-mimpi yang sudah kita bagikan, semua
canda dan tawa yang menghebohkan, semua hal-hal konyol tentang jantungan,
tebak-tebakan dan pasangan-pasangan aneh yang menyenangkan. Semuanya!
Semoga kita diperkenankan bertemu lagi,
jika bukan di Flores Art Gathering
nanti semoga di lain kesempatan dan saya selalu menunggu saat-saat itu. Dan jika
sempat, berkunjunglah lagi ke negeri marapu ini, saya selalu merindukan kalian.
Dan eh, maaf jika ada yang salah dalam
kegiatan atau pun dalam pengetikan tulisan ini hehehehehe,,,,,,,
Salam dari negeri marapu
dari tempat di mana debu lebih sering kita akrabi
dari tempat di mana matahari betah di langitnya
dari tempat di mana kita menyisipkan canda dan tawa di antara gemerisik ilalang
dari tembat di mana banyak debur ombak mengiringi keceriaan kita
dari tempat di mana kuda lebih bahagia memaknai kebebasan
dari tempat di mana matahari sore terlihat ranum
salam dari Rambu ,,,,,
Mauliru, 22 Agustus 2015
Komentar
Posting Komentar