ATA NGANDI (HAMBA YANG DIBAWA)
Perempuan
di gerbang itu, membawaku pada kenangan belasan tahun silam.
Namanya Ida. Tubuhnya mungil, tidak
gemuk tapi berotot, geraknya lincah. Kalau aku tidak salah menerka, usianya
delapan tahun. Rambutnya kusam, menampilkan warna senja yang kemerahan.
Wajahnya lebih sering tersenyum, dia bocah yang ceria, ia selalu tertawa setiap
kali menghampiriku.
Siang ini pun aku melihat sosoknya,
berlari riang diantara ilalang sabana. Ia datang menghampiriku yang asik
menggembalakan kuda-kuda di sebuah bukit sepulang dari sebuah sekolah menengah
yang terletak cukup jauh dari kampung kami.
“Kak Sony,,,,” begitulah suara riangnya
saat memanggilku terbawa angin ke kupingku.
Aku melambaikan tangan sembari melompat
kecil. Tidak ada nyeri di telapak kakiku meski aku tidak mengenakan sepasang
sendal, begitu juga dengannya. Kami memang tidak membutuhkan sendal, telapak
kaki kami sudah terlalu tebal untuk kerikil panas atau pun rerumputan di sabana
ini. Apalagi sendal itu sesuatu yang ‘terlalu bagus’ untuk sekedar dipakai di padang.
Padang ini bukan sekolah yang harus selalu rapi, berseragam dan bersendal meski
ada juga yang bersepatu usang ke sekolah. Ah bicara tentang sekolah selalu
menyenangkan bagi Ida, meski ia sendiri tidak pernah bersekolah.
Ida bukannya tidak ingin bersekolah, ia
ingin sekali sekolah, tapi statusnya sebagai hamba membuat keinginan
bersekolahnya harus terkubur dalam-dalam. Ia tidak bisa bersekolah, ia hanyalah
anak yang terlahir dari rahim seorang ata.
Untuk selanjutnya statusnya akan tetap sebagai hamba, hingga ajal menjemputnya.
Jangan merasa heran, seperti itulah kami hidup di daerah kami. Di sebuah pulau
di selatan Indonesia, pulau sumba. Ada yang disebut maramba, dialah sang tuan, pemilik ternak yang banyak, mempunyai
lahan yang luas, serta hamba yang banyak. Ida adalah salah satu diantara para
hamba salah seorang maramba.
Sedangkan aku adalah salah seorang dari
kaum kabihu, kami adalah orang bebas,
tidak memiliki tuan, tidak memiliki hamba, aku selalu merasa beruntung terlahir
sebagai orang bebas. Keluarga kami seperti kebanyakan keluarga bebas lainnya,
tidak memilki harta yang banyak, namun cukuplah untuk kami semua bisa bertahan
hidup. Kami bahkan punya beberapa ekor kuda yang sering kugembalakan.
Kuda-kuda itu sering kubawa menyusuri
padang sabana yang luas di kampungku. Aku suka saat angin menampar wajahku yang
melaju dengan menunggang kuda. Aku suka saat derap langkah kuda beradu dengan
berisik ilalang di sabana, aku suka saat kuda itu mulai membawaku ke puncak
bukit, kadang serasa terbang menjangkau awan, hanya ada aku, angin dan derap
kudaku. Dan saat aku sedang duduk melepas lelah di bawah sebatang pohon saat
itulah Ida sering menghampiriku. Ia akan berlari sambil meneriakan namaku dengan
ceria dan melambaikan tangannya. Lalu aku akan mendongak, mengintip di balik
rerumputan sabana yang mengering lalu melambaikan tanganku menyambutnya.
Ida sering menghampiriku saat ia sedang
tidak banyak pekerjaan, karena ia masih anak-anak, belum banyak yang bisa ia
kerjakan. Ia hanya sekedar membantu ibunya melakukan hal-hal ringan atau
sekedar mengurus anak-anak balita milik tuannya atau keluarga tuannya.
Sebagai hamba, Ida memang tidak disekolahkan.
Itu sebabnya ia selalu mau tau tentang sekolah, karena orang bebas seperti aku,
tentulah bebas bersekolah di mana saja. Tentu saja jika kondisi ekonomi kami mendukung.
Sejak setahun lalu aku selalu berbagi pengalaman sekolah pada Ida, tentang
teman-teman sekolahku yang nakal, tentang suasana sekolah, tentang seorang guru
tua yang selalu jadi bahan usilan teman-temanku, tentang pekerjaan rumah yang
banyak, tentang seragamku yang selalu kotor sepulang sekolah, tentang mengapa
aku dan teman-teman lain memakai sendal sementara teman-teman
lainnya memakai sepatu. Semua tentang sekolah sangat disukainya, mungkin karena
memang dari lubuk hatinya ia sangat ingin bersekolah. Sesekali aku
mengajarkannya berhitung dan membaca. Meski pun awalnya Ida sempat heran
melihat jejeran angka atau huruf-huruf yang ada namun pada akhirnya dia pun
mengerti. Sejujurnya saat itulah aku mulai memelihara sebuah mimpi dalam
hatiku, aku ingin menjadi seorang guru, rasanya dalam dadaku ada
letupan-letupan aneh yang memberikanku sebentuk semangat untuk terus belajar
hanya dengan melihat wajah Ida yang tertawa bahagia setiap kali berhasil
menuliskan angka atau huruf. Perasaan-perasaan aneh itu bertambah nyata ketika
perlahan-lahan aku berhasil mengajarinya membaca dan berhitung. Dengan cara
yang unik, Ida telah berhasil membangkitkan semangatku untuk belajar dan
bermimpi.
Semuanya terasa begitu menyenangkan,
hingga suatu saat aku mendengar keriuhan yang berasal dari rumah tuan Ida. Dengan
penuh rasa penasaran aku pun menuju ke rumah itu. Beberapa truk lewat,
membubungkan debu di jalanan kampung yang tidak beraspal ini. Wajah-wajah baru
menyembul dari dalam truk tersebut. Wajah-wajah yang kelelahan, sepertinya
mereka datang dari jauh. Mulut mereka pun semerah mulut orang di kampungku.
Merah sirih pinang. Mereka meneriakan kakalak
dan kayaka yang memekikkan
telinga sambil tertawa gembira, tanda sebuah sukacita yang besar. Beberapa
kendaraan yang biasanya memuat hewan pun berjejer di belakang mereka. Ah
rupanya sedang ada pesta hari ini. Orang-orang di kampungku pun ikut merayakan
pesta ini.
“Ada apa?” tanyaku pada seorang teman yang kebetulan
lewat.
“Rambu
Emi mau dilamar oleh Umbu Njurumana. Maramba dari kampung yang jauh.”
Pantas saja suasananya ramai sekali.
Sepertinya orang tua Rambu Emi yang
merupakan tuan dari Ida sedang sibuk menyambut tamu-tamunya dari jauh. Mbola happa pun terlihat diedarkan untuk
para tamu oleh para hamba. Acara lamaran pun berlangsung meriah, semua
bergembira ria. Rambu Emi dan Umbu Njurumana tak henti-hentinya tersenyum
bahagia. Namun sayang, saat itulah aku menyadari bahwa aku akan kehilangan Ida.
Diantara hiruk pikuk kebahagiaan yang
terjadi, Ida terpilih di antara sekian banyak anak-anak perempuan sesama hamba
untuk menjadi seorang ata ngandi.
Mama ida langsung terisak ketika tuannya memilih anaknya menjadi ata ngandi. Ia menangis memeluk anaknya.
Semua mata terpaku menatap kedua anak dan mama ini, termasuk aku. Mama Ida merangkul
anaknya seerat yang ia bisa, ia ingin membantah, namun dia hanyalah seorang
hamba yang harus turut pada tuannya. Ia harus melepaskan anaknya agar dibawa ke
kampung Umbu Njrumana sebagai hamba bagi Rambu
Emi. Demikianlah yang memang harus terjadi tanpa bisa dibantah. Status Rambu Emi sebagai anak seorang maramba
yang akan menikah dengan anak maramba lain pun mengharuskan ia membawa seorang
hamba bersamanya. Dan hamba itu adalah Ida.
Setelah memeluk anaknya, dengan bercucuran
air mata, Mama Ida berpesan pada anaknya “kalau kau siapkan makan untuk rambumu, jangan ada piring yang
berdenting, bangunlah sebelum matahari terbit. Jaga rambumu.”
Saat itu aku melihat Ida hanya menangis,
ia tidak mengangguk atau pun menggeleng. Ia seperti menerima begitu saja
takdirnya sebagai ata ngandi yang
akan berpisah dengan mamanya, kampungnya dan denganku. Ingin rasanya aku
menahan Ida saat itu. Sungguh, tangannya masih terlalu mungil untuk terlepas
dari sang mama. Kakinya masih belum pasti menentukan arah, harusnya ia masih dibimbing
mamanya. Ia bahkan belum mahir menyisir rambutnya, karena rambut halus itu
selau dirapikan angin, harusnya ia belajar dulu bagaimana menjadi seorang
wanita. Ia masih terlalu kecil untuk jauh dari mamanya. Namun, sepertinya ia
sudah cukup paham kedudukannya di rumah itu, ia tahu bahwa itulah yang harus
terjadi, takdir seorang anak hamba tetaplah akan menjadi hamba, sampai kapan
pun.
Senja hampir berlalu. Ketika hendak
pergi menaiki kendaraan yang ditumpanginya bersama Rambu Emi dan Umbu Njurumana,
aku sempat menerobos keramaian untuk sekedar mendekati Ida. Entah untuk apa,
aku hanya merasa tidak mau kehilangan Ida. Ia telah kuanggap seperti adikku
sendiri. Aku masih ingin mengajarinya, masih banyak yang belum dipahaminya, ia
belum paham tentang IPA, IPS, PPKN, ia baru sekedar tahu membaca dan berhitung.
Aku ingin mengajarinya banyak hal.
Aku hampir mencapai lengannya ketika
kurasakan tubuhku terdorong dengan keras ke samping. Beberapa saat kemudian aku
mendengar Ida meneriakan namaku. Aku berusaha menghampirinya lagi, tapi
terlambat, ia sudah harus mengikuti tuannya yang baru dan menaiki kendaraan.
Ida pun pergi sebagai ata ngandi tuannya. Di hadapanku debu
beterbangan tinggi, dibelakangku ringkikan kuda-kuda sebagai belis Rambu Emi yang baru saja diturunkan
terdengar riuh. Orang-orang mulai bubar. Orang-orang bebas seperti aku yang
kebetulan ingin melihat acara lamaran ini pun mulai kembali pada aktifitas
masing-masing, Mama Ida bersama para hamba lainnya mulai membereskan sisa-sisa
acara tadi. Dan aku masih tetap terpaku.
Aku tidak bisa menerima kepergian Ida dengan
cara seperti itu. Hatiku iba. Aku kasihan padanya. Tapi apa yang bisa
kulakukan? Aku tidak bisa melakukan apa-apa. Gadis mungil berambut merah yang pintar
dan lincah. Seperti apa nasibmu? Bisakah kau menjaga rambumu itu? Tidakkah kau ingin bersekolah?
Sejak saat itu, aku selalu merasa
kesepian di padang yang luas dan sepi itu. Suara angin sering menipuku dengan
menirukan suara Ida, ilalang yang tubuh tinggi sering menipu sebagai gerak
lincah Ida, aku lebih sering memacu kuda dibandingkan berbaring di atas
rerumputan. Aku ingin terus mengajari Ida dan Ida-Ida lainnya, maka suatu
siang, di tengah terik yang teramat menyiksa, aku pun berjanji atas nama tanah
marapu yang kupijak, aku akan menjadi seorang guru.
Dan
disinilah aku berada kini, belasan tahun sejak aku kehilangan Ida. Dan
perempuan di luar gerbang sana yang sedang menjemput salah seorang murid baru
di sekolah tempat aku mengajar benar-benar mirip Ida, bahkan rambutnya pun masih
berwarna senja.
Aku
menatapnya, dia menatapku.
Lama.
Dia, Ida?
Asrama
Stella Maris, Januari
2015
Diana
Timoria
Cerpen ini dimuat dalam jurnal sastra santarang edisi April 2015
Cerpen ini dimuat dalam jurnal sastra santarang edisi April 2015
Keterangan:
Ata
ngandi (hamba bawaan/hamba yang dibawa): hamba yang
dibawa oleh seorang wanita kalangan maramba (Rambu Nai) ketika dipinang oleh
seorang laki-laki dari derajat maramba.
Maramba
(raja/bangsawan): strata sosial tertinggi dalam tatanan masyarakat sumba timur
Kabihu
(orang bebas/merdeka) : strata sosial kedua dalam tatanan masyarakat sumba
timur.
Ata:
strata sosial ketiga dan terendah dalam tatanan masyarakat sumba timur.
Umbu:
sapaan untuk pria sumba yang dihormati
Rambu:
sapaan untuk wanita sumba yang dihormati
Mbola
happa: tempat sirih pinang yang di anyam dari daun lontar.
Kakalak
dan Kayaka: teriakan ekspresi gembira penuh semangat masyarakat sumba.
Teruntuk para Ida di Pulau Sumba ini. Kuatlah menapaki jalan kasta yang berbeda di tanah ini karena kita akan berada di rumah yang sama di tanah Firdaus.
BalasHapus.
.
.
.
Handayani Ndj. P