RAMBU DI DERMAGA WAINGAPU



“Kau harus pulang.”
“Tidak.”
“Pulanglah, tidak ada yang bisa kau lakukan di sini.”
“Aku akan pergi.”
“Pulang?”
“Tidak”
“Kemana?”

“Kemana saja, selalu ada tempat untuk pergi, meski itu bukanlah pulang.”
Demikianlah gadis itu bergegas meninggalkan senja yang setia melukiskan keindahan di tepi pantai ini. Sia-sia menyuruhnya pulang. Meski bertubuh kurus, gadis itu bukanlah gadis yang lemah. Ia gadis yang tangguh. Sekokoh karang. Dihantam ombak berulang kalipun ia tidak akan goyah. Ia hanya akan bertahan atau bahkan menerjang balik pada hempasan ombak itu.
Dua tahun aku mengenalnya, namun aku tidak pernah tau siapa namanya. Rambu, seperti itulah aku menyapanya. Di daerah ini, jauh di selatan Indonesia, di sebuah pulau yang disebut Sumba, seperti itulah perempuan disapa. Sapaan yang halus, terhormat dan anggun. Aku tidak pernah berniat mengetahui namanya, setiap kali aku memanggilnya Rambu, ia akan berbalik dan memamerkan senyumnya padaku.
Entah bagaimana, aku terbiasa datang lebih awal di pantai ini demi mendapatinya, sebelum warung ikan bakar bibiku dibuka. Sebab kutahu dia selalu duduk tidak jauh dari tempatku sambil memasang headset di telinganya.
Awalnya kupikir ia sedang mendengar lagu kesukaannya. Lama-kelamaan aku tau bahwa ia tidak mendengar apa pun. Hal itu, aku ketahui ketika iseng-iseng aku bertanya padanya tentang lagu yang sering didengarnya. Ia tertawa mendengar pertanyaanku. Lalu tanpa menjawabnya ia memasang headset itu di telingaku. Sejenak aku terdiam untuk mendengar lagu seperti apa yang didengarnya, namun hening. Tidak ada musik. Tidak ada nyanyian. Aku berpaling menatapnya dan ia hanya tersenyum menatap wajah anehku.
“Rusak?” tanyaku yang dijawab dengan gelengan kepala.
“Di dermaga ini, selalu ada pemuda yang usil memanggil dan aku selalu tidak nyaman dengan gangguan seperti itu. Dibandingkan kemungkinan mereka mengatakan aku sombong, bukankah lebih baik kalau mereka berpikir bahwa aku sedang mendengarkan musik?”
Aku malu. Sejujurnya aku juga merupakan salah satu pemuda yang dulu sempat bersiul-siul menggodanya. Aku ingat, waktu itu dia memang nampak sangat cuek, dan yang terpikirkan olehku saat itu adalah bahwa ia sedang mendengarkan musiknya dengan volume yang maksimal. Benar katanya, disaat seperti itu pemikiran bahwa ia sedang mendengarkan musik lebih mudah untuk dimaklumi.
Aku selalu melihatnya pergi dari dermaga ini. Setiap kali remang hampir berakhir. Ia selalu berjalan gontai. Sepertinya ia selalu mempersalahkan matahari yang baginya  selalu terburu-buru pulang keperaduannya.
Ingin rasanya aku mengantarnya pulang. Namun aku harus tetap di sini, warung bibiku sangat diminati oleh warga kota Waingapu yang datang untuk menikmati keindahan pantai di malam hari atau merayakan sebuah moment spesial seperti ulang tahun  atau tanggal jadian yang di keramatkan oleh para kaum muda. Menu ikan panggang adalah menu yang paling diminati oleh pengunjung. Itu sebabnya, hal yang tidak mungkin bagiku untuk meninggalkan warung makan bibiku sementara di sekitarnya berjejeran warung-warung sesama bugis lain sebagai saingannya.
Dulu aku pernah bertanya padanya: “Mengapa kau selalu datang ke sini?”
“Karena aku belum ingin pulang.”
“Mengapa ?”
Dia tidak menjawab melainkan mengangkat bahu dan berpaling menatap lautan. Aku lalu membuat sebuah analisis asal-asalan, mungkin dia adalah seorang pelajar SMA yang numpang hidup di rumah kerabat dan selalu memberikan setumpuk pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikannya. Ketika aku mengutarakan hasil analisisku itu, ia tersenyum sambil mengacungkan jempolnya padaku.
Maka seperti aku memaklumi kedatangan senja, aku pun memaklumi kedatangannya. Jaket bertopi, celana panjang, sepatu kets dan sebuah tas yang setia bertengger di pundaknya, sesekali ia mengenakan kaos oblong dan sebuah topi yang menutupi kepala dan separuh wajahnya. Ketika kutanya apa yang dikatakannya ketika orang rumah bertanya kemana ia akan pergi, dengan santainya ia menjawabku.
“Pelajaran tambahan. Sepupuku mengikuti banyak pelajaran tambahan sedangkan aku harus menyelesaikan pekerjaan rumah yang begitu banyak, maka aku pun meminta pelajaran tambahan untuk bisa memahami bahasa inggris. “
“Jadi itu sebabnya kau selalu datang setiap selasa dan kamis?”
Dia mengangguk.
“Guru lesmu tidak melaporkanmu?”
Dia tertawa santai seperti biasanya, “Beliau tidak mengenal tanteku, yang diketahuinya hanyalah bahwa ia harus memberikan pelajaran tambahan pada 10 siswa. Seorang temanku mengisisi tempatku di sana.”
“Kau tidak menyesal? Tidak merasa rugi?”
“Tidak.” dia melemparkan sebutir batu di lautan “Daya tangkap temanku itu sangat rendah, penting bagi dia untuk mengikuti pelajaran tambahan. Sedangkan aku bisa dengan mudahnya memahami apa yang diajarkan guru, yang perlu kulakukan hanya selalu konsentrasi selama pelajaran itu berlangsung. Bukankah adil rasanya jika aku memberikan kesempatan belajar pada teman tersebut untuk mendapatkan kesempatan 2 x 45 menit ini untuk menikmati ketenangan?”
Kini aku yang terdiam.
Setiap kebersamaan kita selalu melahirkan pertanyaan baru bagiku. Kebersamaan kita yang selalu singkat membuatnya tampak seperti potongan puzzle yang perlu kerja keras untuk bisa kusatukan. Disenja berikutnya aku menghampirinya dengan senyum yang seperti biasanya. Pertanyaanku sekarang adalah tentang masa depannya.
“Aku akan kuliah.” Begitu jawabnya, lalu ia melanjutkan “Tentu saja aku harus kuliah, untuk itulah aku butuh ijasah SMA. Di kampungku aku bisa hidup tanpa ijasah, namun aku tidak ingin hidup yang seperti itu, itu sebabnya aku harus menyelesaikan sekolahku.”
Begitulah aku menyatukan potongan-potongan kebersamaan kita menjadi sebuah kisah yang tersendat-sendat. Hingga tadi ia datang padaku dengan niat untuk pergi. Ingin kuliah, katanya. Awalnya aku tidak percaya, namun melihat wajah dan senyumnya serta bawaannya aku langsung tau bahwa ia tidak sedang bercanda.
“Pinjami aku uang.”
“Untuk apa?”
“Pergi dari sini.”
“Kau tidak kuliah?”
“Nanti.”
“Kapan?”
“Setelah aku mendapatkan pekerjaan, setelah aku mengumpulkan uang. Sekarang pinjami aku uang. Nanti kukembalikna, percayalah. Aku tidak bisa bergantung terus dengan keluarga itu untuk menyelesaikan pekerjaan mereka”
Bukannya aku tidak percaya padanya. Entah kenapa aku selalu percaya padanya. Polos dan lugu. Mungkin karena itulah sebagian diriku tidak pernah yakin bahwa gadis sepolos ini punya kebranian untuk mengadu nasib.
“Kau harus pulang.”
“Tidak.”
“Pulanglah, tidak ada yang bisa kau lakukan di sini.”
“Aku akan pergi
“Pulang?”
“Tidak”
“Kemana?”
“Kemana saja, selalu ada tempat untuk pergi, meski itu bukanlah pulang.”
Aku terdiam dan menyodorkan lima lembar uang seratus ribu padanya. Dia menerimanya sambil memberikan secarik kertas padaku.
“Tuliskan nomor rekeningmu dan nomor teleponmu, kau akan kuhubungi.”
Lalu dia pun pergi membawa semua sisa-sisa kemisteriusannya yang belum kupecahkan, termasuk nama, asal dan lain sebagainya. Yang kutahu darinya adalah bahwa ia punya mimpi untuk menjadi seorang yang dapat berdiri sendiri dan bahwa ia pantas untuk dipercaya.
“Pelayan.” seorang pelanggan mengejutkanku. Aku pun beranjak menghampiri mereka.
“Kenal seseorang bernama Maria Debi Tamar?”
“Maria?”
“Ya, Maria Debi Tamar.”
Aku menggeleng setelah beberapa saat berpikir dan yakin bahwa aku tidak mengenalnya.
“Aneh, padahal kata mereka ia sering ke arah sini. Ah sudahlah, kami pesan 4 porsi ikan bakar dan es teh ya.”
Aku mengangguk lalu pergi. Sekilas aku mendengar bahwa mereka berencana untuk mencari gadis itu di sekitar sini setelah mereka makan. Sepertinya hari ini, mereka sibuk mencari gadis itu hingga tampak sangat kelaparan.
Aku lalu membayangkan wajah Rambu, sambil menatap ketempat di mana aku dan dia sering berbincang-bincang. Seandainya aku bertanya padanya apakah namanya Maria Debi Tamar, akankah dia juga mengacungi jempolnya?
Ah, aroma ikan bakar ini membawaku kembali ke duniaku yang telah membuatku berkenalan dengannya yang ternyata belum kukenal.

Kupang, Februari 2014

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TENTANG MENYUKAI SEORANG FRATER

BENTANGAN LANGIT SIANG HARI