DI SINI





Kau menyebut namaku, dia dan mereka dengan aliran pekat dalam matamu yang beraroma gosong kata di hadapan beliau yang kita segani, seolah dengan begitu dendammu terlunaskan. Walau sejujurnya aku tak mengerti tentang apa yang sudah kau keramatkan tentang sebuah dosa yang membuatku terlihat begitu menjijikkan di matamu. Kau bakar habis namaku dengan rincian-rincian dosa yang hingga kini aku tak tau, dosa siapa yang kau katakan itu, hanya saja selalu kudengar namaku kau sebutkan dengan irama detak jantung yang tak lagi tenang.

Sepertinya menyebarkan kebohongan adalah salah satu bakat yang kau punya, sayangnya kau terlalu bodoh hingga tidak sadar bahwa kau lakukan kebohongan itu di dunia nyata yang bukan sekedar sandiwara televisi murahan. Kau lupa bahwa yang kau korbankan adalah kami, orang-orang yang selama ini menghirup udara di bawah atap yang sama denganmu di asrama ini. Kau merusak segalanya, ketenangan, kedamaian dan persaudaraan. Hari-hari kita yang selalu berlalu menyenangkan kini tak lagi kami rasakan, semuanya menjadi saling curiga, menduga ada sejenis kau yang hidup di asrama. Semuanya diam tanpa keceriaan lagi, bagaimana bisa kami tertawa dalam diam? Kita jadi enggan untuk saling menyapa. Membuat sunyi ini menjadi terasa ganjil untuk kami yang telah bertahun-tahun di tempat ini dan aku tak bisa memaklumi ini semua. Sungguh hingga saat ini aku masih selalu bertanya-tanya mengapa kau lakukan itu?
Kami semua bertanya-tanya satu sama dengan yang lainnya. Aku bertanya pada dia, dia bertanya pada dia dan semuanya hanya diam saja, tak ada yang berani bertanya padamu. Dan seiring waktu berjalan, tak ada lagi yang bicara denganmu,bahkan menyapamu serasa seperti sebuah kesalahan yang tak terampuni tanpa penghakiman. Kau kami biarkan menyudut bersama kalimat- kalimat kebohongan yang membentuk pagar untukmu sendiri. Kuharap kau segera sadar sebelum tubuhmu membusuk bersama kata- kata kotor yang kau ucapkan melalui celah bibirmu, kami enggan membagi untuk berbagi lagi denganmu. Apapun itu. Senyuman, kisah, makan, minum, atau apapun. Kami bersama semua kebersaman yang kami coba untuk lahirkan kembali dan kau bersama semua kemunafikanmu.
Bukan salah kami jika pada akhirnya kami mengabaikan kehadiranmu. Kau membuat beberapa dari kami termasuk aku harus rela menerima hukuman terhadap apa yang kau ucapkan di hadapan pimpinan asrama. Malam minggu itu, kau katakan bahwa aku sedang pergi ke tempat pacarku. Busyet! Pacar saja aku tak punya, bagaimana bisa tiba-tiba saja aku yang sedang mengikuti kegiatan organsasi sedang bersama pacar? Kau membuat hatiku terluka dengan kebohonganmu dan lebih terluka lagi kau membuatku menyadari fakta yang menyedihkan tentang kesendirianku.
Sungguh, kau begitu kubenci, kau mengantarkanku pada seminggu di malam antah berantah, semoga kau sadar bahwa jauh dalam hatiku pun aku mulai memelihara dendam untukmu. Semoga kau pun tetap tegar agar suatu saat nanti ketika aku membalasmu (aku memang berniat membalasmu) kau tidak langsung terjatuh dan terpuruk.
Aku selalu menantikan saat-saat dimana kau lengah dan aku akan menabrak dan menghancurkanmu hingga kau menjadi puing-puing tak berarti yang berserakan di jalanan. Seperti itulah dendamku padamu. Karena kata yang keluar dari mulut sang pimpinan cukup untuk membuatku mampu memelihara dendam itu dengan segala kebencian yang kupunya. Seminggu masa skorsing yang kau berikan padaku adalah hadiah termanis untuk kebersamaan kita, yang dulu sempat kusebut persahabatan. Mungkin aku yang salah menyebutnya.
Dan tiba-tiba saja, di suatu malam kau mengetuk pintu kamarku. Saat itu aku sendirian di kamar bernomor 4 itu, ketiga adik kamarku sedang di kamar sebelah. Tanpa menoleh aku menyuruhmu masuk, dan ketika kau duduk di sampingku baru aku sadar bahwa itu kau. Aku terkejut, tapi tidak kutunjukkan. Aku malah mengabaikanmu. Aku terus menekuni tugas yang sedang kukerjakan. Tanganku terus mengetik tuts laptopku, tidak ada sedikit pun niatku untuk bertanya tentang maksud kedatanganmu. Melihat kedatanganmu saja aku sudah cukup marah. Apalagi jika harus membuka percakapan denganmu sungguh, aku tak ada niat.
“ Aku bisa jelaskan semuanya.” kau bersuara nyaris berbisik.
Aku mengatup mulutku, rahangku mengeras. Tatapanku tajam kearah laptop. Aku ingin tidak pedulikan kau, persetan dengan kehadiranmu, apapun tujuanmu. Yang pasti aku tidak ingin lagi bercerita denganmu tentang apapun karena kau pasti akan mengarangnya di hadapan beliau lagi, cukup sekali saja kau membuat aku terusir selama seminggu dari asrama ini. Kau tau bagaimana rasanya bingung mencari tumpangan di tanah rantau ini? Kau tega.
“Gina.”
Aku terus mengetik, namun yang terketik bukanlah kata-kata yang seharusnya tapi malah menjadi barisan huruf yang tak berarti.
“Gina, maaf”
Aku berhenti mengetik dan masih menahan amarahku. Bisa kurasakan kerutan-kerutan di wajahku.
“Gina” panggilmu lagi. Berharap aku menoleh dan tak mengabaikanmu. Aku mengabulkannya.
“Kenapa?” tatapanku menghujammu, seolah kau adalah penjahat dan ketika  aku menatapmu, kau malah tertunduk.
“Aku minta maaf”
Aku kembali tak peduli. Bagiku kau masih saja seperti sosok makhluk yang perlu kujauhi.
“Aku tidak butuh kau minta maaf.”
“Tapi aku butuh maafmu.”
“Terlambat.”
Kau terisak, aku terkejut melihat air matamu. Tiba–tiba saja hatiku melunak. Wajahku tidak mengeras lagi, namun aku tetap enggan untuk menunjukkannya padamu maka aku berpaling dan tidak  menatapmu lagi.
“Gina, maaf, aku tau aku salah padamu.”
“Bukan hanya aku.”
“Ya, pada semua anak asrama lainnya.”
Aku terdiam. Ada apa dengan pengakuanmu?
“Gina,aku hanya tidak tau harus berbuat apa. Semuanya terjadi bagitu saja yang terpikirkan olehku hanya bahwa aku harus tetap tinggal  di asrama ini”
“Maksudmu?”
“Kakak aku tidak mau lagi membiayai kuliahku. Aku ketahuan pacaran. Padahal aku sudah janji bahwa diawal kuliahku aku tidak pacaran. Bapak sudah meninggal, dan mama tinggal di kampung, susah untuk kuhubungi. Jarang sekali mama mengirimku uang. Itu pun jumlahnya sangat kecil, satu-satunya harapanku hanya kakakku.”
“Lalu?” aku masih belum bisa menemukan penghubung antara apa yang kau katakan dengan semua rangkaian kebohonganmu selama ini. Mungkin saja saat ini kau sedang berbohong untuk mendapatkan rasa kasihanku. Makanya aku harus hati-hati untuk mengambil kesimpulan.
“Aku harus tetap berada di asrama ini. Asrama ini satu-satunya tempat yang kutahu murah, dengan fasilas yang ada, air dan listrik yang cukup. Aku harus tetap di sini jika ingin berhemat.”
“Lalu kenapa kau berbohong?”
“Agar aku tetap disini.”
“Bukankah memang kau di asrama ini?”
“Tapi kata suster pimpinan, beberapa dari kita harus di keluarkan saat tahun ajaran baru nanti. Dan aku tak mau dikeluarkan .
“Kau kan  tidak dikeluarkan.” suaraku meninggi . Aku marah padamu.
“Tidak menutup kemungkinan aku yang dikeluarkan.”suaramu tak kalah meninggi.
“Kau pesimis”
“Tidak, aku hanya memikirkan kemungkinan terbesar”
“Mengapa itu jadi kemungkinan terbesar?”
“Sudah 5 bulan aku tak bayar uang asrama. Rasanya akulah yang paling pantas dikeluarkan. Dan jika aku keluar maka aku tak kuliah lagi. Jangankan untuk membayar tempat tinggal, untuk makan saja aku melakukan penghematan ekstra.”
Aku terkejut mendengar pengakuanmu.
Lalu kau melanjutkan “Makanya aku usahakan agar bukan aku yang dikeluarkan.”
”Jadi kau mengarang semua cerita itu? Bahwa aku keluar malam minggu untuk pacaran padahal kau tau bahwa aku mengikuti kegiatan organisasi dan bahkan kau juga tau tidak punya pacar?”
Kau mengangguk. Rasa-rassanya ingin kutampar saja wajahmu. Bukan karena kebohongan itu tapi karena  pemikiranmu yang terdengar konyol di telingaku.
“Tapi kan kau tidak perlu berbohong seperti itu”
“Tentu saja aku perlu Gin, kalau aku tidak membuat orang lain terlihat buruk di mata suster maka  keburukankulah yang nampak.”
Kali ini aku benar-benar marah padamu. Emosiku memuncak. Aku menatap tajam ke arahmu. Namun melihat betapa kau ketakutan dan terlihat letih, aku jadi kasihan padamu.
“Pasti ada cara lain. Cara yang lebih baik.”
“Misalnya?”
“Misalnya dengan mengurus beasiswa di kampusmu.”
Kau tersenyum sinis. Sejenak emosiku bangkit lagi.
“Siapa bapakku Gina? Di sini tak ada yang mengenalnya.”
“Tapi yang perlu beasiswa kan kau bukan bapakmu.”
Kau terkekeh sendiri. Kau bahkan berani menantang tatapanku.
“Di kampusku, untuk mengurus beasiswa, tidak menanyakan siapa aku, tapi siapa bapakkku. Meski pun pintar dan aktif organisasi tapi selama tidak aka yang mengenal bapakku maka aku tak akan mendapatkan beasiswa itu.”
Aku terkejut, “Kok bisa?”
“Bisa saja, bukankah itu hal yang biasa? Kita kan sudah harus terbiasa dengan sistem menjunjung tinggi silsilah keluarga seperti itu. Kita yang berasal dari daerah-daerah tidak usah mengharapkan bantuan seperti itu. Itu milik mereka yang punya kenalan di sini.”
“Kau aneh Via.”
“Apanya?”
“Kau pintar, tapi kenapa kau melakukan hal yang memalukan seperti itu?”
“Entahlah, mungkin aku marah karena tak bisa diterima untuk sesuatu yang baik.”
Aku menatapmu,. Rasanya aku bisa mengerti perasaanmu. Aku tak lagi marah padamu. Ah, semua ini tentang uang.
“Gina, kau mau memaafkanku?”
“Berjanjilah kau tidak mengulangnya.”
“Ya.”
“Tapi kau juga harus meminta maaf pada semua anak asrama.”
“Ya, tapi untuk itu aku minta bantuanmu.”
“Untuk?”
“Mengumpulkan anak asrama setelah doa nanti.”
“Kenapa harus aku? Karena aku ketua asrama?”
“Tidak, karena kau sahabatku.”
Aku tersenyum dan mengangguk. Seperti itulah seharusnya kebersamaan kita. Tidak perlu kau hidup sendiri bersama teori bodohmu yang membuat kau tega berbohong tentang kami, bahkan aku sahabatmu sempat kau korbankan.
Sahabat, jika kau tak bisa menolong dirimu sendiri bukan berarti tak ada orang lain yang bisa menolongmu. Jangan terlalu angkuh untuk meminta pertolongan. Maka, marilah kita saling menolong, bukan karena siapa orang tua kita, tapi karena siapa kita. Kau dan aku.



Asrama Puteri Stella Maris
2013




Komentar

Postingan populer dari blog ini

TENTANG MENYUKAI SEORANG FRATER

BENTANGAN LANGIT SIANG HARI