PEREMPUAN



Aku masih mengingatnya. Perempuan itu. Yang menangis tersedu ketika dibawa oleh bidan menuju ruang operasi. Yang ketika kutatap matanya, aku langsung mengingatnya. Dia teman lamaku. Teman dekatku beberapa tahun lalu. Teman menyulam janji sekaligus teman yang mengingkari janji. Teman yang meninggalkanku lebih dulu.

 Dan di sinilah aku kini, menjadi tamu di rumahnya.
“Aku senang kita bisa bertemu lagi Ce.”
“Ya, aku juga terkejut waktu melihatmu di rumah sakit itu. Tapi aku belum yakin saja kalau itu kamu, soalnya aku,,,”
“Aku mengerti Ce, kamu sedang kesakitan mau melahirkan.”
Kau tersenyum mendengar ucapanku. Binar matamu, masih sama. Aku ingat sinar itu mulai muncul ketika kamu mulai berpacaran dengan Edy, cowok hitam manis dari pulau tetangga tempat kita kuliah dulu. Namun, entah kenapa aku merasa sinar itu sedikit redup, mungkin karena kau baru saja melahirkan. Kau juga terlihat letih.
“Bayimu?”
“Namanya Umbu, dia lagi tidur.”  Katamu sambil menunjuk satu arah. Mungkin di sanalah letak kamar tempat kau membaringkan malaikat mungilmu.
Kau lalu beranjak meninggalkanku dan muncul lagi dengan membawa dua gelas kopi.
“Waktu kuliah dulu, kau sering minum kopi Vi.”
Aku tertawa mendengarnya. Sudah beberapa tahun berlalu, tak kusangka kau masih meningatnya padahal waktu itu kita berpisah dalam keadaan yang tidak baik-baik saja.
“Kau juga Ce.”
“Bagaimana pekerjaanmu Vi, aku terkejut melihat kamu di rumah sakit itu, ternyata kamu salah satu bidan di sana.”
“Baru beberapa bulan aku di sana.”
“Dan selama beberapa bulan kau tidak mencariku sama sekali?”
Aku tertawa melihat ekspresi seriusmu. Kau menatap marah padaku, namun di balik amarah itu  kulihat juga sebentuk kerinduan.
“Aku kan tidak tau kau juga di Waingapu. Kupikir kau akan kembali ke Bajawa. Aku juga baru pertama melihatmu di rumah sakit itu, aku terkejut sekaligus senang melihatmu namun aku lebih terkejut lagi melihat kau menangis.”
Wajahmu menjadi lebih serius. Kau meraih gelas kopimu lalu meneguknya. Aku pun melakukan hal yang sama. Mataku tetap tertarik untuk mengawasimu. Ada yang aneh denganmu. Kau menghindari tatapanku.
Aku bisa melihat, betapa lelahnya kau. Tubuhmu ringkih, warna rambut dan wajahmu tidak lagi cerah. Mungkin kesibukanmu sebagai ibu rumah tangga membuatmu terlihat lebih tua. Bisa kumaklumi, rumahmu yang sebesar ini kau urus seorang diri. Kau juga mengurus suamimu dan dua buah hatimu. Kau tentu lelah menjalani hidup, meski kutahu kau seorang wanita tegar.
Aku mengenalmu di kota karang itu. Ketika kita sama-sama datang unutk menuntut ilmu di sana. Bahkan kita kuliah di tempat yang sama, sebuah sekolah tinggi kesehatan yang menjadikanku bidan seperti saat ini. Dan kau? Jujur saja, aku menyesal kau memilih Edy dan janinmu sebelum meluluskan kuliah. Padahal, kita berdua sudah saling janji untuk diwisuda bersama, bahkan kita sepakat untuk menikah pada waktu dan tempat yang sama bersama orang yang akan kita cintai nanti. Namun, Edy dan cintamu padanya merusak semuanya. Kau yang pada waktu itu selalu menguatkanku untuk menjaga diri, kau yang selalu mengingatkanku bagaimana bangganya orang tua kita dengan title kita sebagai mahasiswa dan bagaimana kecewanya mereka jika kita melepaskan title itu. Tapi kau yang malah jatuh dan terjerumus. Waktu itu aku benar-benar marah padamu. Hingga saat kau pergi bersama Edy aku tak mengucapkan sepatah kata pun padamu. Bahkan menatapmu saja aku tak mau. Betapa hebatnya amarahku untukmu.
“Edy di mana?”
“Kerja.”
“Dia sudah sukses ya, rumah kalian besar begini.” Aku mencoba mencairkan suasana yang tiba-tiba hening.
Seperti dugaanku, kau tertawa. Dan sambil meletakakkan gelas kopimu kau berkata “Warisan orang tua Vi. PNS biasa kayak dia, mana bisa punya rumah besar begini.”
“Kau benar-benar terlihat bahagia bersamanya.”
“Tentu saja Vi, aku bahagia. sejak aku memilihnya, aku yakin aku akan bahagia.”
Aku mengangguk. Aku bisa melihat bagaimana kebagiaanmu.  Keluarga yang utuh. Tentu saja, siapa pun itu pasti akan bahagia. Memiliki seorang suami yang sayang padamu, seorang gadis kecil yang cantik seperti ibunya yang sedang berada di TK dan seorang bayi yang menggemaskan. Ya, aku mengerti, itu semua membuatmu bahagia.  Tapi, tetap saja, ada sesuatu tentang dirimu kini yang mengganjal di pikiranku. Ada sesuatu yang membuatmu terlihat cacat dalam kesempurnaanmu.
Suara tangis si kecil mengejutkanku. Kau segera bergegas ke kamar yang kau tunjuk tadi dan datang bersama sang bayi. Aku mendengarmu bersenandung kecil untuk menenangkan tangis bayimu. Setelah menyusui, bayi mungil itu kembali tertidur dan kau pun kembali menidurkannya di kamar itu sebelum kau kembali dan menemaniku lagi di ruang tamu ini. Ah, betapa aku menikmati semuanya.
“Kau pasti senang memliki seorang bayi.”
“Senang Vi, tapi,,,”
“Tapi?” ulangku.
“Entahlah Vi, aku merasa gagal.”
Aku terkejut mendengar kau mengatakan tentang kegagalan. Gelas kopi yang nyaris menyentuh bibirku, kuturunkan kembali.
“Gagal? Gagal apa Occe? Rumah tanggamu terlihat hebat.”
Kau membuang senyuman pias. Sulit untukku mengartikan apa yang kau maksudkan dengan wajahmu yang seperti itu.
“Sayangnya, rumah tangga yang hebat tak membuatku hebat Vi.”
“Tapi kau terlihat hebat. Kau ibu rumah tangga yang baik Ce.”
“Tapi,,, entahlah, aku merasa gagal memaknai hidup sebagai seorang perempuan.”
“Apa maksudmu?” aku semakin bingung. Malah cangkir kopi itu sudah kuletakkan kembali pada tatakannya. Aku tak berminat lagi meminumnya. Aku hanya ingin mendengar kegagalan apa yang dimaksudkan oleh wanita sehebat kamu.
 “Vi kau tentu mempunyai anak juga seperti aku, tapi aku tak pernah melahirkan normal Vi.”
“Mengapa kau katakan itu kegagalan? Bukankah mempunyai anak dari rahimmu sendiri dan kau bisa membesarkannya adalah hal yang baik?
“Iya Vi, aku tau, tapi aku ingin melahirkan normal, tapi kata dokter rahimku sempit.”
“Operasikan dilakukan untuk menyelamatkanmu dan bayimu, seharusnya kau tau itu, itu adalah hal terbaik untuk kau dan bayimu.” Sungguh, aku tidak mengerti jalan pikiranmu. Kau memang gagal sebelum kuliah tapi bukan berarti kau tidak tahu tentang hal yang kau sesalkan itu.
“Vi,kau pernah melahirkan bayi kan Vi? Kau pasti melahirkan normal. Aku juga ingin seperti itu Vi, merasakan bagaimana sakitnya saat harus melahirkan seorang anak manusia. Bukankah seperti itu seorang perempuan ditakdirkan? Tapi aku tak bisa Vi, aku tak bisa menjadi seperti apa seorang perempuan, yang merasakan betapa hebatnya perjuangan melahirkan, yang bermandikan keringat dan air mata demi seorang anaknya, yang beteriak bersama hembusan nafas yang cepat, yang di sampingnya ada suaminya yang sedang mengucapkan doa sambil berharap agar aku tetap kuat. Seorang perempuan yang detik berikutnya setelah mendengar tangis bayinya tak lagi merasakan sakit dan berganti menjadi kedamaian di hati, tidak peduli pada tubuhnya yang bermandi keringat dan air mata. Aku ingin menjadi perempuan yang seperti itu. Benar- benar perempuan seutuhnya.”
 Aku terdiam, ada sesuatu dalam kata- katamu yang membuat hatiku remuk redam. Perempuan. Seperti itukah perempuan? Ditakdirkan untuk melahirkan, menyusui dan membuat anak manusia tetap hidup. Bahkan seorang perempuan akan menjadi benar- benar perempuan ketika ia dan segala keindahan dan kelemahlembutannya mampu melahirkan anak secara alami. Perempuan, sehebat itukah kau diciptakan? Lalu bagaimana denganku?
“Vi,,, kau dengar kata-kataku tadi?”
“ Eh iya Ce, maaf aku agak melamun.”
“ Apa yang kau pikirkan?”
“ Perempuan”
“ Kenapa dengan perempuan Vi?”
“ Perempuan itu lebih lembut dari seorang pria. Namun ia yang harus mengeluarkan tenaga dahsyat dan melewati hidup dan mati untuk melahirkan anaknya. Bukan pria yang secara fisik memang di ciptakan lebih kuat dari wanita yang harus melewati perjuangan paling berat dalam sebuah kehidupan.”
“Mungkin itu sebabnya terkadang aku merasa istimewa sebagai seorang perempuan. Karena ada seorang manusia terlahir dari rahimku dan aku berjuang untuk membesarkannya dengan segala cinta yang kupunya dan mungkin itu juga yang membuat aku tak pernah merasa utuh sebagai seorang perempuan. Jauh dalam diriku seperi ada sebuah keyakinan tentang betapa rapuhnya aku hingga aku tak pernah dipercayaNya untuk melahirkan normal.”
 “Setidaknya kau masih bisa mempunyai darah daging sendiri, menggendong dan menyusui anakmu. Kau sempurna sebagai seorang ibu Ce. Sungguh.”
Aku menunduk. Rasanya hatiku sakit sekali. Ada nyeri yang membuatkku kian sesak untuk bernapas. Aku merasa seperti baru jatuh dari ketinggian karena kata- katamu tentang perempuan. Seperti menyadari sebuah ruang kosong yang selama ini pura-pura kuisi dengan kalimat-kalimat tak berarti karanganku sendiri yang selalu membuatku merasa baik-baik saja walau terkadang kalimat itu tidak berfungsi.
“ Vi, kau kenapa? Kok diam? Anak kamu sekarang sudah berapa Vi?”
Aku menunduk dan menggeleng, tak sanggup menatap binar matamu yang penuh rasa ingin tahu.
“ Vi?”
“ Aku tak punya anak.”
“ Tapi yang terakhir kudengar, kau sudah menikah.”
“ Aku mandul Ce.”
Dan suara tangis bayimu membuat percakapan kita berhenti.  
Bisakah kau sebut aku perempuan Ce?

Asrama Stella Maris, 2013

Diana Timoria
FKM-KLKK Semester VII, Anggota KMK Santo Thomas Aquinas FKM UNDANA.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TENTANG MENYUKAI SEORANG FRATER

BENTANGAN LANGIT SIANG HARI