PULANG

Sktesa: 'segelas kopi' oleh Dian Timoria

Seorang perempuan kini duduk di hadapanku. Penampilannya tidak bisa dibilang rapi tapi ia berpakaian yang pantas. Rambutnya yang halus diikat asal-asalan, bahkan beberapa helai dibiarkan jatuh pasrah dan sesekali bergoyang tertiup angin. Kemeja yang di gunakannya tampak kebesaran. Namun, di balik sikap cueknya itu, jika menyelam dalam tatapan matanya akan ada sebentuk keistimewaan yang akan membuat siapa saja tidak bisa mengabaikan kehadirannya. Sepertinya ada satu bentuk keliaran yang terjebak dalam tubuhnya yang mungil ini.

Asap kopi mengepul di antara kami, membuat aromanya sangat terasa merasuki indera penciuman, mungkin aroma itu menuju ke jantung sebab dalam dadaku selalu kurasakan damai yang sama setiap kali menghirup aroma itu. Sudah dua teguk kopi itu di nikmatinya, ketika tegukan ketiga berhasil di telannya mata kami bertemu. Perlahan ia meletakkan kembali gelas kopinya.
“Aku pasti akan merindukan lagi kopi ini. Pekat, tapi rasanya benar-benar luar biasa.”
“Kau tidak rindukan aku?” tanyaku berbasa-basi. Sejak tadi aku terlalu menikmati pesonanya hingga belum seteguk pun kopi ini menyentuh tenggorokanku.
Dia tertawa hambar mendengar  ucapanku. Dan kuanggap itu adalah jawaban darinya yang artinya dia tidak mau menjawab pertanyaanku.
Aku ingat waktu pertama bertemu dengannya. Seperti layaknya seorang pria yang disampingnya duduk seorang gadis cantik, aku menyapa dan berkenalan dengannya. Dari perkenalan itu aku tak berani menyimpulkan apa pun tentangnya. Tatapannya yang selalu tertuju ke depan, gerak tubuhnya yang minim, serta penghematan kata yang di gunakan untuk menjawab pertanyaanku membuat kesan misteriusnya begitu kuat. Entah karena malas atau merasa tidak dihargai aku pun memilih untuk diam sepanjang sisa penerbangan itu.
Ria, begitu namanya. Turun begitu saja dari pesawat tanpa menyapaku lagi, bahkan menoleh padaku yang berjalan di sisinya tidak ia lakukan. Mungkin baginya aku bagaikan selembar majalah yang tersemat di belakang kursi penumpang Merpati Air yang di tatapnya dengan pandangan kosong tanpa berminat untuk membolak-balik lembarannya.
“Seminggu saja aku disini, temani aku.” Begitu katanya ketika suatu hari kami bertemu secara kebetulan.
Dan kebetulan itulah yang menghantarkan kami pada perjalanan-perjalanan panjang yang melelahkan setiap hari. Aku -demi menjawab rasa penasarannya terhadap tanah kelahiranku- harus mengabaikan segala persiapan untuk mendafrar pada sebuah LSM.
Mungkin ini pertama kalinya ia datang ke kota ini, kota yang selalu kerontang. Mungkin ia tidak punya keluarga di sini, sepertinya dugaanku benar karena ia menetap di sebuah hotel kecil bernama hotel sandelwood. Maka jadilah aku sopir baginya dengan segala kemungkinan yang selalu kupikirkan. Aku hanya sebatas menebak-nebak tentang kehadirannya di kota ini, sebuah kota kabupaten kecil di selatan indonesia. Waingapu.
Dan sekerang, sekitar sejam sebelum ia kembali ke kotanya di Jogjakarta, aku benar-benar ingin tau tujuan ia berada di sini.
“Terima kasih sudah menemaniku”
Aku tertawa lepas, sekedar menyatakan bahwa itu bukanlah hal yang menyusahkan.
Sekilas ia melirik jam tangan yang melingkar di tangan kirinya yang kuning langsat, mungkin kulitnya kian gelap ketika berada di bawah cakrawala kotaku.
“Dia pernah mengatakan bahwa sumba adalah tempat yang indah.”
“Dia? Pernah? Mengatakan?” setelah mengucapkan kata-kata itu, baru aku adar betapa bodohnya aku di hadapannya.
Ria mengangguk sambil terus menatapku dan meneguk kopinya.
“Siapa?”
“Dia mengatakan sumba adalah tempat yang indah. Eksotik, begitu katanya.” perempuan di hadapanku terus bercerita tanpa pedulikan pertanyaanku “Dia berkata tentang sabana yang luas dan menakjubkan, tentang barisan bukit yang berdebu ketika kuda-kuda perkasa melintasinya, ia juga berkata bahwa di sumba ada banyak wanita yang menenun dengan hati yang bahagia hingga akhirnya menghasilkan kain sumba yang indah, ia juga bercerita tentang sebuah kepercayaan yang membingungkan untukku, yang disebutnya,,,,,,”
Marapu?”
“Ya, marapu. Ada banyak hal yang ia katakan tentang marapu tapi tidak satupun yang kumengerti, katanya mereka menyembah Tuhan dengan sebutan Mata yang melihat segalanya dan telinga yang mendengar segalanya.”
Dia berhenti sejenak dan kembali meminum kopi dan sebelum ia lanjutkan ceritanya aku lebih dulu menyisipkan pertanyaan yang belum di jawabnya.
“Siapa yang mengatakannya?”
“Ibuku.”
Aku terkejut, “Ibumu berasal dari sumba? Pantas saja kau terlihat manis.”
Diwajahnya ada segores senyuman sinis yang membantah perkataanku, entah perkataan yang mana.
“Tidak, ibuku berasal dari Jogja.”
“Lalu dari mana ia mengetahui tentang sumba?”
“Kekasihnya.”
“Kekasihnya? Suaminya? Ayahmu?” lagi-lagi aku selalu terlambat menyadari betapa bodohnya aku dengan pertanyaan seperti itu.
“Aku lebih suka menyebutnya sebagai kekasih ibuku.” kurasa tatapannya yang sedingin itu mampu mendingankan kopi yang masih tersisa setengah di gelasnya.
“Setelah bertemu dan berjalan-jalan dengan kau, aku percaya apa yang dikatakannya. Tentang sabana yang indah, rumputnya yang selalu searah angin, kuda-kuda yang terlihat bebas ketika melintasi bukit. Ketika kau membawaku ke Kampung Raja di Prailiu aku jadi percaya tentang kampung yang bernuansa sangat tradisional yang berada di tengah kota, di sana pula aku melihat wanita-wanita yang menenun dengan hati yang bahagia dan tangan yang terampil untuk menghasilkan kain cantik meski untuk itu gurat-gurat nadi mereka menyembul diatas tangan mereka yang bergetar ketika kita berjabatan tangan. Senyum mereka selalu merah dengan aroma sirih pinang. Ketika kau membawaku untuk mengikuti Hamayang aku dapat merasakan betapa Tuhan itu benar ada, kesan suci yang kudapatkan terlalu nyata, saat itu tiba-tiba saja aku sadar bahwa ada satu dosa yang selalu kupelihara hingga kini.”
Kau terdiam lagi. Aku menikmati semua ceritamu sambil terus meneguk kopiku. Tanpa terasa cairan pekat itu nyaris habis menyisakan ampasnya di gelasku. Mungkin tinggal seteguk atau dua teguk yang tersisa.
“Apa lagi yang ayahmu katakan tentang sumba?”
“Kekasih ibuku!” Bentaknya dengan tatapan liar yang sejak tadi menghilang.
“Ya, kekasih ibumu.” Cepat-cepat kuganti ucapanku, kurasa dengan tatapan seperti itu, bisa saja ampas kopi di gelasnya memenuhi wajahku.
“Tentang sumba? Atau tentang bualan bodohnya pada ibu yang pada akhirnya membuat aku dan ibu menderita hidup bersama seorang pengusaha karena beliau mendapati bahwa beliau menikahi seorang perempuan yang tidak perawan lagi?”
“Tentang sumba dan tentang kedatanganmu.”
Ia melirik jam tangannya. Sejenak ia terdiam. Mungkin ia sedang berpikir apakah ia masih punya waktu untuk memenuhi permintaanku.
“Seingatku, dia juga mengatakan tentang sebuah aturan atau budaya yang kuanggap konyol dan merupakan jalannya untuk melarikan diri sebagai pengecut. Dan aku ke sini untuk membuktikan semua ucapannya tentang sumba. Aneh, keindahan yang ada di pulau ini melahirkan beliau, pria sumba yang pengecut.”
“Aturan yang mana?”
“Bahwa kalian, para pria sumba memiliki istri rumah. Jadi kemana pun kalian pergi tetap saja kalian harus pulang untuk seorang perempuan, anak dari Om kalian.”
Saat itu aku dapat merasakan udara di sekitarku memanas.
“Jangan katakan itu konyol. Itu aturan adat, di jaga sejak dulu.” Aku marah pada perempuan ini. Sejujurnya aku juga tidak suka dengan budaya yang seperti itu,namun aku lebih tidak suka lagi ketika ada seorang perempuan yang menghina adat daerahku, Matawai amahu, pada njara hammu. Padahal dalam tubuhnya ada juga darah sumba yang mengalir dan membuatnya terus hidup.
“Dijaman sekarang, hal itu terdengar seperti makanan yang di biarkan seminggu. Basi.”
“Hei kau, tau apa kau tentang daerahku? Kau pikir, berkelana seminggu sudah membuat kau tau tentang sumba?”
“Tentu saja tidak, tapi setidaknya aku pernah melintasi sabana, memandang perempuan yang menenun, mengikuti ritual agama asli di sumba, dan tau bahwa benar ada aturan adat seperti itu di sini, dan sepertinya kau juga salah satu penganut budaya istri rumah itu. Ternyata itu benar-benar cara yang bagus untuk melarikan diri, kekasih ibuku menitipkanku dalam rahim ibu, sambil terus memelihara  ingatannya tentang sebuah budaya nenek moyang yang akan membawanya pulang seusai kuliahnya. Dan itu cukup bagiku untuk membuktikan bahwa beliau pengecut.”
Aku terdiam, bukan tidak ingin membantah, tapi aku tidak ingin memperpanjang perdebatan ini. Aku takut ia akan ketinggalan pesawatnya. Perempuan yang terlanjur memelihara dendam dan luka seperti dia tidak akan pernah bisa dijelaskan hanya dengan kata-kata.
“Ayo pulang.”
Dia mengikuti perkataanku dan mengekor dibelakangku. Kami melaju meninggalkan hotel sandelwood, ketika melewati prailiu, ia sempat menoleh ke arah Kampung Raja. Pada cabang di penghujung jembatan kambaniru, aku memilih jalur yang akan menghantarkan kami pada gerbang bandar udara Umbu Mehang Kunda. Waktu chek in tinggal sedikit lagi. setelah memarkirkan sepeda motorku, kami buru-butu menuju ke pintu bandara, saking buru-burunya kami bahkan sempat menyenggol seorang pak tua yang datang dari arah berlawanan. Aku hanya mengantarnya sampai ke pintu. Selanjutnya hanya doaku yang mengiringinya.


.....................................

“Hai”
“Umbu? Buat apa ke sini?”
“Hmmm lama tak jumpa, dua bulan ya? Apa kau tidak bisa membiarkanku masuk? Begini caramu menyambut teman bertualangmu?”
Dia tertawa. Kali ini ia terlihat lebih cantik, mungkin atmosfir Jogja yang membuatnya secantik ini.
“Mau apa kau kesini? Mau minum apa?”
“Mengunjungimu. Kopi.”
Dia beranjak dan kembali dengan dua gelas kopi di tangannya. Sepertinya kita selalu seperti ini. Selalu ada dua gelas kopi yang membuat kita nyaman untuk berbagi cerita. Hanya bedanya sekarang kita berada di rumahmu, bukan lagi di hotel kecil dikotaku. Dan ini juga bukan kopi yang di olah langsung seperti ketika di sumba, kopi ini hanyalah kopi instan yang mungkin dibelinya di sebuah miny market.
“Rambu.” Panggilku.
“Namaku Ria.”
“Setengah darahmu berasal dari sumba.”
“Kau datang untuk mengingatkan hal itu?”
“Tidak, tanpa diingatkan pun kau akan selalu ingat.”
“Lalu untuk apa kau kemari?”
“Untuk membuktikan bahwa pria sumba tidak pengecut.”
Ada kerutan di keningmu.
“Maksudmu?”
“Dia mungkin gagal menjadi kekasih ibumu, tapi boleh aku menjadi kekasihmu?”
Kau terkejut, gelas kopi masih menggantung di depan dadamu. Kau menatapku dengan tatapan yang tidak kumengarti.
“Kau tahu? Pria yang menabrak kita di bandara itu adalah ayahku. Sepulangku dari sumba ibu menunjukkan fotonya padaku.” Seperti biasa ia mengabaikan pertanyaanku. “Sepertinya ibuku juga menghubunginya untuk memberitahu tentang keberadaanku di sumba. Waktu itu, ia terlalu takut menemuiku makanya ia hanya menyenggol aku, entah kenapa kedamaian yang kudapatkan di kota kecil itu mampu membatku melupakan kebencian dan dendam yang sejak dulu kupelihara terhadapnya.”
“Oya?”
“Umbu, sepertinya aku benar-benar jatuh cinta pada sumba.”
“Dan aku?”
“Pada kau juga, seorang pria sumba yang luar biasa. Bawa aku pulang. Kembali ke Sumba.”
Dan dihadapanku, gelas kopi telah kosong, karena aroma dan rasa cairan pekat itulah yang mampu meredakan gemuruh di dadaku ketika menatap matamu yang bening.


KET:
Kampung Raja: sebuah kampung tradisional yang berada di tengah kota waingapu
Marapu = Agama asli masyarakat sumba yang masih di anut hingga kini.
Hamayang = ritual keagamaan di sumba
Matawai amahu, pada njara hammu =  Mata air di padang rumput untuk kuda yang bagus (semboyan sumba timur)

Asrama Stella Maris, 31-10-2013
Dimuat dalam JURNAL SASTRA SANTARANG, EDISI DESEMBER 2013



Komentar

Postingan populer dari blog ini

TENTANG MENYUKAI SEORANG FRATER

BENTANGAN LANGIT SIANG HARI