KARANG
Batu Payung, Padadita-Waingapu
Dari timur selalu ada
sensasi yang sama setiap harinya. Dari timur selalu ada bias yang sama setiap
harinya. Selalu pantulan itu. Sekeping emas yang menukik perlahan dan seiring
melajunya angin, udara pun kian menghangat. Dan itulah sebabnya aku selalu
menyukai timur.
Sementara deru debur
ombak berkejaran, aku menikmati kepingan jingga yang merotasi langit. Di
sekitarnya arak-arakan gumpalan putih menodai birunya cakrawala. Terkadang
memang putih yang menodai, tidak harus ia yang ternoda. Dan sesekali kembali
putih itu yang dinodai kelabu yang menggumpal membentuk pekat. Dulu kupikir
pekat itu pertanda malam, ternyata pekat yang menggentung di kaki langit itu
adalah pertanda jutaan tetes air yang akan membasahi tanah, pohon dan bahkan
juga laut yang basah.
Pernah aku berpikir,
mungkinkah hujan juga membasuh langit? Semoga bukan hanya aku yang menyadari
betapa bersihnya langit ketika tetesan terakhir pasrah membentur bumi. Begitu
pula dengan mentari yang menebarkan sinarnya yang bersih dan suci seperti baru
saja dipermandikan dengan iman yang dahsyat hingga sinarnya mendidihkan laut
yang selalu berbuih.
Dan aku selalu senang
merasakan gelora gelombang laut seusai hujan.
Jika ada hembusan nafas
alam yang melintasi samudra, maka laut akan membuih begitu ramai. Jajaran putih
yang berkejaran selalu jadi noda yang indah. Menjadikan laut ini tampak seperi
langit yang tidak tenang, karena sebagaimana biru langit di nodai putihnya awan
demikianlah birunya laut dinodai buih-buih asin. Buih laut itu, selalu betah
berlarian di atas hamparan biru maha luas. Sesekali tenggelam, lalu muncul
lagi. Sesekali menyatu dengan yang lainya, sesekali merasa mandiri dan berlari
sendiri.
Dari tempatku menegak,
aku selalu menantikan kedatangan mereka: buih-buih yang berlomba itu.
“Berapa lama lagi kau
akan menikmati semua ini?”
“Selama aku bisa”
“Tapi kau tak selamanya
bisa seperti ini”
“Sudah kubilang selama
yang aku bisa”
Seingatku, aku tak
dapat lagi mengingat sudah berapa gelombang yang menghantamku. Sudah berapa
buih laut yang kandas dan pecah padaku. Mungkin karena aku tidak dikaruniai
kemampuan menghitung, melainkan kemampuan untuk menikmati setiap terpaan
buih-buih yang selalu memburu tepian.
Mereka ditakdirkan
untuk datang padaku, lalu pecah meramaikan desir angin. Dan dengan keutuhan
yang tersisa, mereka akan kembali pergi, tapi aku tau, selalu ada gelombang
yang datang menghantarkan buih asin padaku.
“Kau sekarat”
“Belum.”
“Kau memprihatinkan.
Nyaris habis terkikis laut, setiap waktu kau hanya menikmati sakitmu.”
“Aku masih gagah.”
Ikan cantik itu
berenang mengitariku, tidak banyak waktu yang ia habiskan untuk melakukannya.
“Kau semakin kurus.”
Katanya tepat saat sebuah gelombang menghantam keras tubuhku. Namun aku tetap
tegak.
“Aku masih bisa bertahan.
Percayalah?”
“Sampai kapan?”
“Menurutmu?”
“Aku sendri tidak tau,
sepertinya sejak mengenalmu, kau sudah seperti ini.”
“Maksudmu? Ini
takdirku?”
“Entahlah, kau hebat.”
“Setidaknya aku
bersusaha sekuat aku bisa”
Awan yang menodai
langit kembali bergerembolan dipandu angin yang selalu riuh. Lalu aku melihat
putih yang benar-benar ternoda kelabu. Nafas alam kian memburu dan riuh.
Lalu tumpah air dari
sang noda kelabu, disambut desir angin yang selalu membawanya pergi. Dan
seperti seorang bapak yang menyambut anaknya yang hilang, laut pun bersuka cita
dengan jutaan hujan yang jatuh menyatu dengan asinnya. Dan gelombang laut pun
kian riuh.
Aku tak tahu, aku yang
memang sudah serapuh itu ataukah memang badai ini yang maha dahsyat hingga aku
harus terkikis tanpa bisa bertahan lagi dan patah. Sebagian diriku masih tetap
beratapkan laut dan sebagiannya lagi terhempas pasrah ke arah timur. Namun yang
pasti sekuat apa pun aku bertahan dari badai-badai yang telah lalu, tetap saja
ada saat di mana aku rapuh dan hancur. Dan jika saat itu tiba -seperti saat
ini-, meski aku tahu badai ini akan berlalu dan matahari masih akan tetap
terbit dari timur, aku tetap berharap agar bagian diriku yang hancur bisa tetap
mencintai gelombang yang tak pernah lelah datang padaku meski selalu
menyakitiku dan aku berharap kau tetap mendapati seekor ikan yang selalu
menikmati laut disekitarku karena matanyalah yang selalu memperingati dan
menguatkanku.
Memang karang tidak
selamanya kokoh namun selalu ada cinta setulus karang yang dapat bertahan
hingga tiba waktunya untuk pergi.
Kupang, 2013
Diana Timoria
Komentar
Posting Komentar