MENCINTAI DENDAM


Apa yang kau temukan dalam tatapan mataku adalah yang tak pernah kulihat. Kusebut itu kerinduan. Rindu yang teramat dalam, yang digali menggunakan pedang-pedang milik sang waktu yang amat tajam, membuatnya terlampau sakit dengan luka yang terus menganga. Bahkan sering menenggelamkanku dalam keheningan yang nyata. Di sana, adalah kejujuran yang paling jujur. Itu sebabnya aku selalu menunduk jika berbicara denganmu. Sungguh, aku tak berniat menyakitimu, hanya saja, aku merasa bahwa untuk itu aku harus menutup semua kejujuran itu.
Aku tak ingin kau terluka. Kerena di matamu aku pun menemukan kerinduan yang sama, hanya saja ada bayanganku di sana. Bagaimana bisa ku biarkan kau melihat pantulan dirinya di mataku, sedangkan kau rawat aku dengan penuh cinta, dan membiarkan pesonaku menyinari tatapanmu. Membuatmu begitu hidup, seolah-olah semua hal adalah keindahan.
Kebaikan hati yang terpancar dari sikapmu, membuatku tak punya pilihan lain selain terus bersamamu. Tak ada celah untukku pergi. Aku hanya bisa bersembunyi sejenak, di balik pekatnya malam. Hanya sekedar untuk sebuah tangis yang sunyi, yang tak mungkin kau dengar dalam riuh hidupmu. Itu tangis penyesalan, yang sudah kulakukan selama beberapa bulan ini. Mungkin pula itu hal ternyaman yang bisa kulakukan sejak kita bersama dalam ikatan suci kita.
Kuharap kau tak tahu betapa rapuhnya aku, karena sekuat yang kubisa aku terus bertahan. Demi janin dalam kandunganku, demi anakku, maaf bukan anak kita. Setiap derita kutanggung. Setiap air mata kuubah menjadi senyum dan tawa. Setiap luka, kuubah menjadi suka. Kelak suatu saat nanti, anak ini akan kuajarkan bagaimana bertahan tanpa cinta. Seperti yang kini kulakukan. Tidakkah kau lihat itu? Sesempurna itulah rencana hidupku.
Kita bertemu seumpama senja yang sudah ditakdirkan untuk menjemput malam, tak ada kata untuk sekedar menahan sang waktu atau mencegat rotasi mentari, seperti inilah kita, sudah dikisahkan dalam kitab sang hari. Kau indah, seindah senja, tapi kau tak pernah bisa menjadi pagiku, yang mengawali semua rangkaian kisah yang kusebut cinta bersamanya. Kau tak bisa memberikanku hangat mentari bahkan teriknya yang kadang memicu pertengkaran yang berujung rindu. Sungguh, kau itu indah, hanya saja kau berbeda. Aku menikmati saat-saat bersamamu, tapi hanya terasa dinginnya udara yang memang tak terik lagi, kau tak punya embun yang menyejukkanku atau tak punya panas yang bergelora. kau hanya sekedar ada dengan segala keindahan yang kau pertontonkan padaku yang tak pernah bisa kumengerti, kenapa kau di sebut indah. Kau memberiku malam, gelap yang paling gelap, pekat yang paling pekat, hitam yang paling hitam. Dan aku menyukainya, bukan karena malammu indah, tapi karena di sanalah tempat aku berlari. Bersembunyi dari kerapuhan yang kupelihara beberapa bulan ini. Kau di dekatku, tapi malam menyembunyikanku, kau mendengar suara manisku, tapi malam menyembunyikan wajah berurai air mataku, kau memanggil namaku dengan kelembutan penuh cinta dan kujawab dengan kemunafikan melalui getar-getar malam yang membuatku kian getir.
Mengapa kau rela menikmati rangkaian kebohongan ini? Semakin hari bukannya aku makin mencintaimu tapi malah aku kasihan melihatmu. Pengorbanan dan kerja kerasmu sungguh membuatku terikat padamu. Ketakutan akan luka yang sama, yang mungkin dapat kau rasakan jika kupergi membuat aku tak tega merusak semua keadaan baik-baik saja versimu. Aku menyuhuguhimu sarapan pagi yang kau terima sebagai semangat awal hari kerjamu, kukirimi kau doa setelah kusebut namanya terlebih dahulu, kudoakan kalian berdua, tak apa kan? Hanya aku dan Tuhan yang tahu bagaimana isi doaku dan bagaimana kutakar doaku untukmu dan untuknya. Kutanyai kabarmu ketika hari menanjak siang, yang kau anggap sebagai bentuk perhatian dan khawatirku akan makan siang yang kau biasanya dapatkan di kantin kantormu. ketika di ujung senja kau tak juga datang, baik raga maupun kabarmu, kuanggap kau sedang merangkai kata bersama bawahanmu untuk sesuatu yang penting dalam hidupmu dan keluargamu. Aku, kau dan janin ini. Dan kumaklumi saja ketika gelap yang tak mengantarkanmu pulang, kau sibuk katamu, ya benar-benar sibuk, meski aku tak pernah tahu apa kesibukanmu hingga selarut itu. Tapi aku tak pernah peduli, kapan pun kau pulang ke rumah kita itulah saat kau ada. Seperti kataku tadi, kau tak punya terik yang bisa membakar amarah dalam jiwaku. Semuanya tenang, setenang malam yang berusaha menyembunyikan tangisku kini.
Kehidupan dalam rahimku kian hidup, bahkan kini aku sedang berjuang menunjukkan betapa munafiknya dunia padanya. Teriakan-terianku seperti lepas setelah sekian lama tertahan dalam dada yang nyaris tak berongga lagi, penuh rindu padanya. Aku berjuang untuk tetap hidup demi membuat seorang bayi terus hidup. Tapi kau di mana? Kenapa kau tak tampak, sudah selarut ini, masih banyakkah pekerjaanmu? Aku sudah mengirimimu sekian banyak pesan dan menelponmu. Sesibuk itukah kau, hingga tak bisa sekedar datang melihat orang yang kau cintai dan bayi yang selalu kau rindukan ini? Aku disini, berjuang bersama keringat dan air mata, teriakan dan tangis, demi bayi mungil yang kini berada dalam gendonganku. Dan kau, sedang apakah kau? Tangis pertamanya sudah kudengar, begitu damai, dan kedamaian itu tiba-tiba membuatku marah padamu. Aku ingin kau pun mendengar suaranya, membelai lembut kulitnya dan menatap bening matanya meski mata itu mengisyaratkan kebohongan luar biasa, tapi kuyakin dengan mata penuh cintamu kau tak akan mendapatkan kebohongan di sana. Aku ingin kau disini, demi Tuhan, kau di mana? Tahukah kau, air mata ini bukan lagi air mata kelelahan, bukan pula air bahagia, tapi kekhawatiran yang begitu besar padamu, suamiku.
..............................................................................................
“Selamat paskah Mira”
“Selamat paskah Aris”
“Lama tak jumpa, apa kabar?”
“Baik”
“Anakmu?”
“Sekolah.”
“Tidak kau jemput?”
“Ia sudah 12 tahun, sudah bisa pulang sendiri. Mandiri.”
Kau terdiam. Belasan tahun sejak kau titipkan janin itu aku tak pernah lagi melihatmu. Kau hanya sisakan bayanganmu yang selalu membuatku jatuh cinta dan sakit berulang kali. Dan kini, dengan penuh kedamaian kau datang, berdiri kokoh di pintu rumahku yang tersisa dari kematian suamiku di hari kelahiran anakku, anak kita. Ada apa dengan tatapan sendumu? Mengapa kau seperti terlihat lelah? Ada ketakutan yang begitu besar di matamu, seperti berusaha menyembunyikan dosa yang tak terampuni.
“Boleh aku duduk?”
“Oh, iya,silakan. Maaf, mau minum?”
“Tidak usah.”
Hening. Tak ada yang berniat berbicara. Padahal dulu ketika masih bersama Frengki, suamiku, aku begitu merindukan suaramu, wajahmu, aroma tubuhmu, tapi kini, kau seperti hampa untukku. Kau membuatku menyadari ada ruang kosong dalam hatiku yang tiba-tiba saja menjadi tidak bermakna hanya karena pernah di isi oleh kerinduan padamu. Apa maksud kedatanganmu? Sekedar berkunjung ataukah ingin melihat hasil dosa kita 12 tahun silam yang sebentar lagi akan pulang dari sekolahnya?
“Mira, maksud aku kemari, aku mau,,,”
Kau tercekat, seolah ada yang mencekik lehermu. Kengerian yang terpancar dari wajahmu seolah menunjukan kau sedang berhadapan dengan malaikat pencabut nyawa bukan dengan orang yang pernah kau cintai dulu ataukah masih?
“Mira aku,,,”
“Ada apa?”
“Maaf.”
“Untuk?”
Lagi-lagi kau terdiam, lalu isakan itu kudengar. Kaukah yang menangis?
“Ada apa Ris? Kalau soal kepergianmu belasan tahun silam, sudah kumaafkan, meski untuk itu aku harus hidup dalam penderitaan batinku. Aku menerimanya sebagai karma untuk dosa kita.”
“Mir, suamimu,,,”
“Frengki sudah tiada, dia,,,”
“Aku yang membunuhnya Mir.”
Kau datang hanya untuk dongeng itu? Namun, mengapa ada kejujuran yang terukir di wajah lelahmu? Lalu aku menyadari waktu seolah berhenti. Bahkan detak jantungku pun seolah diam. Aku tak bisa rasakan lagi tanda-tanda kehidupan dalam diriku. Sejenak jiwaku seperti hilang. Aku terpaku dengan tatapan tanpa kedipan. Detik berikutnya kau bukan sekedar memberikanku teriknya mentari, tapi kau menghadiahiku lingkaran sempurna mentari siang di pangkuanku. Amarah dalam diriku bangkit, dendam akan kepergianmu dan kepergian Frengki menyatu dalam hati, jiwa dan pikiranku. Kau.
“Kau,,, tidak Ris,,, bilang kalau kau bercanda,,, bilang Aris,,, bilang!!!” Teriakku membabi buta kearahmu. Tanpa sadar aku sudah di sampingmu dan memukuli wajahmu. Tapi kau menahan tanganku, aku makin marah, namun sekali lagi, kau berhasil menahanku.
“Tidak Mir,,,, itu benar.”
Dan kekuatanku hilang seketika itu juga. Tiba-tiba saja aku merasa lemas. Bayangan tubuh Frengki yang terbujur kaku di hari kelahiran Nia membuatku kian lemah.  Aku seperti mendengar tangis Nia bertepatan dengan wajah penuh senyum Frengki muncul di memoriku.
“Mengapa Ris?”
“Yesus mati di salibkan untuk menebus dosa kita Mir”
“Jangan ceramahi aku.”
“Aku tidak menceramahimu, aku hanya ingin kau tahu bahwa lebih baik ia tebus dosanya sendiri?”
“Dosa?”
“Ya”
“Kita yang berdosa Aris,,,, kau yang mendatangiku seminggu sesudah pernikahanku dengan Frengki,,,, padahal kau juga baru sebulan menikah. Kau yakinkanku dengan cinta yang sama seperti lima tahun masa indah kita sebelum perempuan itu merebutmu dariku. Aku percaya pada omong kosongmu, lalu dosa itu tercipta!!! Menodai semua kesucian pernikahanku dengan Frengki. Kita yang berdosa Ris!!! Kita!!! Bukan Frengki!!!” aku terisak. Aku tak mau lagi kau kuatku setelah kau ambil sisa-sisa kekuatanku. Maka kutepis rangkulan tanganmu.
“Mir, dia”
“Kau berselingkuh dengan istrinya Ris! Bahkan kau menitipkan janin dalam rahimku, istrinya, demi Tuhan, berat menanggung derita itu Ris!!! kau tega Ris,,, kau tega.”
“Anak? Mir, aku punya anak darimu?”
Aku tak kuasa lagi menjawabmu, aku hanya bisa terisak dan menyebut satu nama “Nia”
“Nia anakku? Ya ampun Mir, kenapa kau tak pernah memberitahuku?”
“Untuk apa? Agar kau datang dengan janji yang sudah kau ingkari sebelum kau ucapkan?”
“Aku membunuh Frengki karena ia selingkuh dengan istriku, ia harus menebus itu”
Kurang ajar kau. Tega kau bohongi Frengki, setelah kau ambil kesucian istrinya dan nyawanya. Aku seperti tak mengenalmu. Kau menjadi orang asing untukku dan kau juga berusaha membuat Frengki menjadi asing di mataku.
“Tidak, kau bohong”
“Alasan kenapa aku menikahi Siska adalah karena ia sudah mengandung anak Frengki, aku mengetahuinya beberapa bulan setelah pernihakan kami yang terpaksa kami jalani itu. Hanya pernikahan itu satu-satunya jalan agar nama baik keluarganya terjaga karena saat itu Frengki belum sukses. Seperti diriku yang tak pernah bisa mencintainya, Siska pun tak pernah bisa mencintaiku. Kami berdua sama-sama munafik, tak pernah jujur, tapi kami sadar kalau tak pernah ada cinta di antara kami. Setelah kejadian malam itu bersamamu aku lalu menyesal dan sadar kita tak bisa bersama lagi, aku tak ingin kau terlibat masalah, jadi aku memilih untuk menghilang dari hidupmu, tanpa pernah kutahu, kau mengandung anakku.”
Kau berhenti sejenak. Apa yang membuatmu terdiam? Rasa bersalahkah? Atau penyesalan?
“Saat kutahu, Siska sering bertemu dan keluar bersama Frengki, aku menjadi marah. Aku tak pernah menerima di perlakukan demikian oleh mereka. Kukorbankan dirimu, kukorban cinta kita hanya untuk menjaga kesucian sebuah ikatan pernikahan, tapi mereka malah menodainya. Aku marah, dan menjadi gelap mata. Dan di kamar hotel itu juga Frengki akhirnya mati di depan Siska, tepat saat kau melahirkan Nia”
Aku terpukul. Sangat amat terpukul. Aku tak bisa menerima semua penjelsan ini dalam waktu yang singkat. Aku butuh penalaran yang lebih, logika yang kuat. Aku butuh kekuatan untuk bisa menerimanya. Tapi kau tak peduli pada air mata yang terus luruh dari mataku, kau tak peduli pada desah nafasku yang kacau, kau terus membeberkan kenyataan pahit yang kau suguhkan tanpa pemanis. Seolah racun yang dulu pernah kau teguk.
“Awalnya aku hanya ingin dia menjauhi Siska. Tapi pemuda yang kusewa itu malah menghabisi nyawanya. Mungkin karena ia pemuda yang bodoh atau karena ia sangat mencintai mamanya. Aku menyewanya dengan bayaran agar membayar operasi mamanya, dan ia telah sepakat untuk menanggung semua resikonya termasuk dijebloskan ke penjara.”
Tega. Kau benar-benar tega. Biadab kau.
“Aku tahu kau sangat terguncang mendengar ini semua tapi, aku rasa kau perlu mengetahuinya, bahwa suamimu tidak,,”
“Frengki mencintaiku.”
“Tidak.”
“Ada aku di matanya.”
“Sama seperti Siska ada di mataku.”
“Kau mencintai siska.”
“Tidak, aku mencintaimu Mir. Di mataku memang terpantul bayangan siska tapi di hatiku hanya ada kamu. Begitu juga dengan Frengki. Mungkin kekuatan cintalah yang membuat kami mampu berbohong sehebat itu.”
“Kau juga berdosa pada Frengki, kau tidur dengan istrinya, tapi ia tak membunuhmu.”
“Sudah kubilang, itu kecelakaan, aku tak pernah berniat membunuhnya.”
“Mengapa?”
“Apanya?”
“Kau menceritakan ini padaku.”
“Karena aku ingin menyerahkan diri pada polisi untuk menebus dosaku, itu sebabnya aku datang dan menceritakan ini semua padamu karena sebelum aku mengatakan ini aku tahu aku tak pernah tenang, seperti kehidupanku selama belasan tahun ini yang selalu dikejar dosa, sekali pun kuceritakan ini pada Tuhan”
Aku mengangguk mengerti. Tersenyum penuh damai. Air mataku seketika itu juga berhenti. Mendadak mengering. Melalui detakan jantungku yang mendadak berpacu tanpa irama,darahku di pompa ratusan kali lipat cepatnya membuatku ratusan kali lipat menjadi lebih kuat. Dan selanjutnya hanya darah yang membasahi wajahku. Darah yang meluncur dari dadamu yang kutikam entah berapa kali dengan menggunakan gunting yang kebetulan berada di meja itu. Gerakan refleksku tak bisa kau tahan. Kau lemah, mungkin karena kau terlalu lama menahan beban itu di hatimu. Biarkan kulunaskan semua dendam cinta kita. Jika kalian merasakan sekuat itu cinta membuat kalian mampu berbohong maka inilah kekuatan dendam. Dendam yang selalu kupelihara agar aku tak pernah lupa ada duka yang teramat dalam di hatiku karena cinta. Dan tiba-tiba, aku merasa sendiri, tak ada cinta dalam hatiku. Hampa. Kosong. Dan.
“Mama,,,”
Astaga, sejak kapan Nia berdiri di pintu itu?


Pernah di muat di JURNAL SASTRA SANTARANG

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TENTANG MENYUKAI SEORANG FRATER

BENTANGAN LANGIT SIANG HARI