KUPU-KUPU HITAM



Hari masih pagi ketika kau datang dan mengetuk pintu kosku. Kau membangunkanku dari mimpi indahku. Dan aku lalu membuatkanmu teh. Aku hanya menyodorkannya dengan tanganku. Namun, tidak seperti biasanya, kau bukannya menerima gelas teh itu tapi malah menyuruhku menyimpannya di meja. Kau juga tidak langsung meneguknya seperti biasa. Sejak pertama membuatkanmu teh, kau tidak pernah berkomentar tentang rasanya. Selalu kau anggap pas. Padahal terkadang gulanya kukurangi seperti saat ini, diakhir bulan kita harus berhemat. Kukurangi jatah gulamu dan di gelasku tak ada gula sama sekali. Tidak apa-apa, selalu seperti ini, aku tak butuh manisnya, aku hanya merasa senang saja merasakan ada aliran panas mengalir dalam tubuhku.
“Eh, , ,beli pisang goreng yuk”
“Hahahaha, akhir bulan non, nanti saja”
Wajahmu tak nampak cemberut akan penolakanku pada ajakanmu. Kau malah tertawa. Memamerkan barisan pagar suci dari mulutmu. Pantas saja, kalau kau berkata-kata selalu terdengar seperti sabda. Suci dan lembut.
“Kenapa? Kayaknya kamu cape sekali.”
Selalu begitu. Pertanyaanmu selalu tentangku. Matamu selalu awas mengamati setiap perubahan diriku.
“Begadang lagi?”
Aku mendesah. Meminum seteguk teh dan menggeleng.
“Lalu?”
“Tidak bisa tidur.”
“Mimpi buruk lagi?”
Aku tersenyum, lucu rasanya melihatmu seperti ini. Mengapa kau selalu nampak terkejut setiap kali menanyakan hal ini? Padahal aku selalu menceritakan padamu semua mimpi-mimpiku, yang buruk mau pun indah. Seharusnya kau sudah bisa membiasakan diri untuk mimpi-mimpiku.
“Hmmm tidak juga.”
“Lalu?”
Aku tak punya pilihan. Rasa ingin tahumu tidak akan berhenti meski aku mengabaikan pertanyaanmu.
“Ada seekor kupu-kupu hitam semalam.”
“Kupu-kupu hitam? Kenapa dengannya? Kupu-kupu tidak menyengat kan? Kau takut?”
“Tidak. Aku hanya merasa aneh.”
“Karena warnanya hitam?”
“Mungkin, tapi lebih tepatnya karena itu adalah kupu-kupu hitam.”
Kau malah tertawa, “Memangnya kenapa dengan kupu-kupu hitam? Apa bedanya dengan kucing hitam yang selalu mengambil ikan asinmu?” kau selalu seperti itu. Kau selalu berkata-kata yang baik, seperti tadi, kau bilang kucing itu ‘mengambil’ ikan bukan ‘mencurinya’. Karena seperti itulah cara mereka mempertahankan diri, begitu dulu yang pernah kau katakan.
“Kupu-kupu hitam kan tandanya tak baik.”
“Tidak baik? Seperti apa?”
“Kata nenek, itu tandanya ada orang dekat yang akan meninggal.”
“Hahaha itu hanya mitos.” Kau tak peduli pada perkataanku “Nonton yuk, buka laptop kamu donk.”
“Tapi bagaimana kalau itu benar?” aku menurut saja mengambilkan laptop untukmu, padahal biasanya kau sendiri yang mengambil dan membukanya.
“Ada film kartun yang baru? Atau kita nonton film alien saja.”
“Cha, bayangkan kalau mitos itu benar. Siapa donk yang meninggal? Aku takut Cha.”
“Takut apanya?”
“Itukan mengerikan.”
“Tidak semua alien mengerikan kok.”
“Bukan Cha, bukan alien, tapi,,,”
“Sar, kau berlebihan. Apa sih istimewanya kupu-kupu hitam? Kau takut karena warnaya hitam? Kau pikir warna hitam adalah warna sial ya? Lalu kenapa tiap malam kau tidak ketakutan? Bukankah malam juga hitam?”
“Tapi Cha, ini beda Cha.”
“Kau pikir Tuhan menciptakan sesuatu untuk sebuah malapetaka?”
“Cha,,,”
“Dengar Sarah, kalau pun ada yang mati, mungkin itu karena takdir. Sudah waktunya Tuhan memanggil dia. kalau aku yang mati, kau tidak perlu larut dalam kesedihan, karena kematian tidak berarti hilang Sar.” Kau terdiam. Dan menatap teh yang sudah dingin. Kau masih enggan untuk meminumnya. “Sar, kalau aku mati, berarti aku pulang Sar, ke rumah yang dulu.”
“Ocha!!!” tanpa sadar aku membentakmu. Ada perasaan takut yang menjalari tubuhku. Bulu kudukku merinding. Namun, kuabaikan saja perasaan itu.
Anehnya kau malah tertawa melihat ketakutanku. Namun aku tak melihat binar ceria dari matamu. Meskipun begitu tawamu masih saja tedengar indah, tenang dan mendamaikan.
’’Jangan begitu Sar. Anggap saja kalau aku mati aku sudah selesai kuliah dan kembali ke kotaku dan kau pun begitu, kau kembali ke kotamu dan layaknya sahabat, kita lalu sering berkirim kabar, dan doa-doamu untuk ketenanganku di alam sana akan kuanggap seperti surat dan telepon darimu. Aku pasti akan membalasnya, melalui desir angin, melalui senja, melalui hujan, melalui bintang. Aku tidak akan melupakanmu. Percayalah dan aku akan menantikanmu dengan setia. Namun selama kau belum datang aku akan menyiapkan rumah bagimu di atas sana.’’
‘’Rumah untukku?’’ tiba-tiba saja aku pun turut larut dalam percakapanmu.
“Ya,sebuah rumah yg indah dengan sebuah taman dimana terdapat kursi tempat kita duduk bersama.”
“kita akan minum teh bersama lagi?”
“Ya, seperti yang kita lakukan sekarang?”
“Apakah di sana ada laptop? Kita bisa nonton film kartun kesukaan kita?”
“Tentu, aku akan menyediakan laptop untukmu. Hanya berisi film kartun.”
“Bisa online?”
“Tidak, untuk apa kita online, kita tidak perlu lagi melihat dunia. Kita tidak perlu menodai kesucian surga dengan kemunafikan dunia. Disana kita akan menikmati betapa damainya hidup tanpa kebohongan.”
“Tidak ada yang akan mengganggu ketenangan?”
“Tidak”
“Jadi kita tidak akan betengkar?”
“Tentu saja tidak.”
“Berarti tidak ada korupsi juga dong.”
“Begitulah.”
“Apakah bapak saya juga berada di sana? Bapak kan koruptor.”
“Entahlah, nanti akan kucarikan dia untukmu di sana. Dan kuajak untuk membangun rumah untukmu. Tapi, melihat cara kau mendoakan beliau, aku yakin beliau berbahagia di sana.”
Aku tersenyum mendengarmu, dan kuteguk habis tehku yang telah dingin. Laptop masih juga memutar film alien, film ini sangat lucu. Dan seperti kau, aku pun menyukai film ini. Mungkin karena kita berdua sama-sama menyukai jenis film yang sama maka kita bisa sedekat ini. Sejak awal perkuliahan kita selalu bersama. Semuanya bermula dari perkenalan kita di kos-kosan ini.
“Kita aneh ya, kok kita tiba-tiba membahas hal ini.”
“Tidak aneh Sar. Terkadang ada sesuatu yang harus kita maklumi.”
“Seperti memaklumi saja kedatangan kupu-kupu hitam?”
“Ya.”
“Tetapi aku tak bisa memaklumi kepergianmu. Maka kau tak boleh mati sekarang. Tunda semua cerita konyolmu tadi.”
Lagi-lagi kau tertawa mendengar perkataanku. Dan ketika kau hendak berkata-kata, Hpku berdering. Nomor baru terpampang di layar. Suara film yang terlalu keras membuat aku keluar dari kamar kos dan mengangkat telpon itu.
“Halo.”
“Sarah, kau di mana?”
“Maaf ini dengan siapa?”
“Kau di mana? Datanglah kerumah sakit. Ocha kecelakaan. Meninggal.”
“Omong apa kau? Siapa kau? Ocha sedang di kos. Kami sedang menonton film sambil minum teh dan berbincang-bincang tentang,,,” aku tak sempat menyelesaikan kalimatku, buru-buru kubuka pintu kos dengan cepat dan mataku berkeliaran cepat di seisi kamar itu. Dan betul saja, ocha sudah tidak ada lagi.
Tidak mungkin ocha bisa meninggalkan kamar tanpa terlihat olehku yang berdiri tepat samping pintu.
Ya Tuhan, tiba-tiba saja aku mengerti semuanya. Aku mengerti alasan Ocha tak menerima teh yang kusodorkan padanya dan tidak meminum seteguk pun teh yang menjadi minuman favorit kami. Aku paham, mengapa ia memintaku membuka laptop, tidak seperti biasanya ia sendiri yang membuka dan langsung menonton film yang diinginkannya. Aku mengerti, alasan dia bercerita tentang kedamaian dan ketenangan di sana. Aku mengerti alasan ia memintaku untuk jangan larut dalam kesedihan.
Dan aku mengerti alasan kupu-kupu hitam itu datang padaku semalam.
Ocha, apakah aku memang harus memakluminya?

Suatu malam di  Asrama putri Stella Maris, 2013
Diana D. Timoria.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TENTANG MENYUKAI SEORANG FRATER

BENTANGAN LANGIT SIANG HARI