TENTANG SUMBA DAN KEGELISAHAN SEORANG PEREMPUAN
Sebuah pekerjaan pernah membuat
saya terhubung dengan banyak orang yang dengan caranya masing-masing berjuang
untuk mempertahankan keseimbangan alam di Sumba. Salah satunya adalah para
pejuang pertanian organik. Ketika saya bertanya, alasan menggunakan pupuk
organik di tengah tawaran pupuk kimia yang menggiurkan, seorang petani separuh
baya dengan kulit hitam legam terbakar matahari serta keriput yang mulai muncul
diwajahnya berkata “Saya mau kasih tanah ke anak saya nanti. Mungkin tidak
banyak karena harus dibagi-bagi, tapi saya punya tanah harus bisa menghasilkan
juga. Saya punya tanah harus tetap sehat supaya saya punya anak juga bisa dapat
hasil dari itu tanah.” dialek Sumba yang kental terdengar dari mulutnya yang
tetap sibuk mengunyah sirih pinang.
Kalimat bapak ini, seperti
menampar roh kesumbaan yang ada pada diri saya. Ia tidak sekedar memikirkan
kuantitas tapi juga kualitas tanahnya. Sebuah pemikiran yang penuh perhitungan
dan matang. Memiliki tanah yang luas tanpa tahu apa yang bisa dimanfaatkan
dengan tanah itu adalah sebuah ancaman. Tanah yang luas itu adalah incaran menggiurkan
bagi orang-orang berduit yang dengan mudah memotong usia kepemilikan tanah itu,
apalagi jika berada di tempat strategis. Sebaliknya, jika tahu memanfaatkannya,
tanah itu akan berumur panjang di tangan pemiliknya. Jika kau tahu tanah itu akan memberikan kau hidup, kesehatan dan umur
panjang, kau pasti mempertahankannya bukan?
Lalu, kenapa saya harus merasa ditampar
dengan pernyataan bapak itu? karena saya anak muda Sumba! Saya merasa ruang
gerak pemahaman identitas saya sebagai anak muda Sumba mulai dibatasi dengan
garis-garis tak kasat mata yang ada dalam dunia media sosial. Kepekaan saya
terhadap identitas kesumbaan saya mulai hilang. Sebab saya lebih suka
mengatakan ‘ah tempat ini bagus, sayang sekali kalau di ganti dengan bangunan
atau dipagari’ terhadap sebuah tempat yang indah dan instagramable, entah itu
padang, atau pun laut. Memang tidak ada yang salah dengan pernyataan itu tetapi
saya mendapati diri saya mengalami krisis identitas.
Krisis identitas yang saya alami
membuat kepekaan saya untuk mengetahui fungsi hamparan tanah di Sumba menjadi
menurun. Saya menjadi acuh tak acuh dengan kenyataan bahwa tanah di Sumba tidak
sekedar indah dan instagramable, melainkan memiliki banyak fungsi yang
mendukung kelangsungan hidup masyarakat Sumba. Padang yang menjadi tempat hidup
ternak milik masyarakat, pantai yang menjadi tempat masyarakat mencari hasil
laut untuk dimakan atau pun dijual, tanah yang menjadi tempat-tempat sakral
tempat diadakan ritual marapu, tanah yang bisa menumbuhkan banyak jenis tanaman
mulai dari kebutuhan sayur hingga pohon-pohon untuk kuat dan berkualitas tinggi.
Ya, saya merasa diri saya begitu ekslusif ketika mendapati bahwa saya ingin
mempertahankan tanah Sumba karena tanah itu indah sementara masyarakat ingin
mempertahankannya karena mereka hidup dari tanah itu, tidak heran jika pada
akhirnya nyawa pun menjadi taruhan bagi masyarakat.
Seperti si bapak yang saya
maksudkan dalam paragraf pembuka di atas, si bapak yang tahu harus berbuat apa
untuk membuat tanahnya bisa dimanfaatkan dalam jangka waktu yang panjang, saya
pikir kita juga harus tahu apa yang harus kita buat untuk tanah Sumba agar bisa
berumur panjang di tangan masyarakat. Secara umum, tentu saja kita harus tahu
bagaimana masyarakat memanfaatkan tanah mereka. Dengan mengetahui berbagai
pemanfatan tanah di Sumba oleh masyarakat, kita bisa melihat apa yang bisa
membantu mereka untuk lebih memaksimalkan pemanfaatan tanah mereka. Bukankah
ada diantara kita yang belajar sekian tahun di luar Sumba atau pun di Sumba
tentang hal-hal yan berkaitan dengan pertanian, peternakan, dan lainnya? belum
lagi ditambah pengalaman dari berbagai proses yang pernah ada.
Sederhananya seperti ini, mari
memberi diri dan memanfaatkan isi kepala kita untuk menjaga sumba. Saya
berharap, seorang sarjana pertanian tahu apa yang bisa diperbuat untuk sumba,
begitu juga dengan sarjana peternakan, pendidikan, kesmas, kehutanan, sosial
budaya, hukum dan sebagainya. Saya yakin, masing-masing dari kita tentu bisa
mengambil bagian untuk menjaga Sumba agar hingga generasi kesekian, agar tanah
Sumba masih tetap milik kita semua, masih menjadi tempat kita pulang dan bisa
tetap memberikan kehidupan, kesehatan, kesejahteraan dan umur panjang untuk
kita.
Komentar
Posting Komentar