SEBUAH PERCAKAPAN YANG HARUSNYA TIDAK PERLU TERJADI
Suatu siang, di suatu
tempat yang di sebut perpustakaan,
dengan suasana yang tenang.
Saya melihatnya
masuk tepat setelah saya mengangkat wajah dari sebuah buku yang sedang saya
baca, di halaman 65.
Dia datang,
menyusuri rak buku, memilih sebuah buku, duduk tepat di samping saya, dan
membaca.
Entah setan mana
yang menggoda saya untuk terus memperhatikannya dan entah malaikat keberuntungan
mana yang menghadirkan penggalan percakapan dengannya, saya tidak tau, tapi
yang pasti saat itu, sebagian dari diri saya mengakui kalau saya sedang
beruntung. Dan tanpa sadar, saya telah terjerumus dalam percakapan yang paling
sering saya hindari jika berada di sini.
“Kau sering
kesini?” tanyanya setengah berbisik.
“Iya” saya lalu
pura-pura asik membaca buku di hadapan saya.
“Sudah baca
semua buku-buku di ruangan ini?”
Saya tertawa “Belum
donk.”
“Katamu kau
sering kesini.”
Saya mengangkat
wajah, menopang dagu, sekilas melirik dia, lalu mengitari pandangan ke seisi
ruangan, “Buku-buku ini terlalu banyak bahkan meski saya mempunyai banyak waktu
untuk sering ke sini”
“O,,, sepertinya
kau cepat sekali baca buku ini, bahkan saya perhatikan ada beberapa halaman
yang tidak kau baca. Kau bisa mengerti isinya?”
“Buku ini sudah
berulang kali saya baca.”
“Apa? Tunggu
tunggu,,,,maksud kamu, kamu baca buku ini berulang kali sedangkan,,,,,,”
seorang petugas perpustakaan datang menegur kami karena suaranya yang berisik
sebelum akhirnya beliau keluar ruangan untuk makan siang karena saat itu jam
telah menunjukkan pukul 12.00 wita, waktunya istirahat bagi mereka. Lalu ia
melanjutkan dengan berbisik “sedangkan di sana, banyak buku yang belum kau
baca?”
“Ya”
“Kenapa? Kenapa
kau habiskan waktu untuk membaca buku yang pernah kau baca?”
“Saya suka buku
ini.”
“Hanya itu?”
“Tidak, ada
banyak buku lainnya yang saya suka dan baca berulang kali.”
“Bukan. Maksud
saya, hanya itu alasan kau membaca buku berulang kali?”
“Iya. Aneh?”
Dia tertawa “Tentu
saja.”
“Saya selalu
baca apa yang sedang ingin saya baca. Yang menarik.
“Dari mana kau
tau kalau buku itu yang paling menarik sedangkan kau tidak membaca semuanya?”
“Entahlah, kalau
saya mau baca buku ini, ya saya baca, kalau tidak ya saya mencari buku lain.”
“Kau mengikuti
suara hati?”
“Saya mengikuti suasana
hati.”
“Mengapa kau
tidak membuat kartu anggota ,,, kau kan bisa meminjam buku dan membaca di
rumah, dan kau bisa membaca lebih banyak buku.”
“Hmmm ini bukan
tentang berapa banyak buku yang ingin saya baca.”
“Lalu?”
“Tentang di mana
dan bersama siapa saya berada. Saya suka baca di sini.”
“Karena di sini
tenang?”
“Bisa jadi
begiu, tapi di tempat saya juga pada jam-jam tertentu akan terasa sangat
tenang. Lagi pula saya insomnia, jadi pada malam hari terasa sangat tenang.”
“Lalu kenapa
harus di sini? Karena banyak buku?”
“Mungkin. Yaaa
bagaimana pun juga tempat terbaik jika kau ingin membaca adalah tempat yang
punya banyak buku kan?”
“Yayaya. Kau
selalu ke sini sendirian?”
“Ya, selalu
sendiri. Selalu.”
“Kenapa?”
“Mungkin inilah
alasan kenapa saya suka berada di sini. Kebanyakan teman-teman dekat saya tidak
betah berlama-lama di sini, bahkan kadang ada yang terlihat bingung kenapa
harus ada tempat seperti ini.”
“Maksudmu?”
“Di sini, ada
yang lebih dari sekedar buku dan ketenangan.”
“Apa itu?”
“Kesendirian dan
ketidakpedulian. Orang-orang di sini sibuk dengan bacaan masing-masing. Mereka seperti
berada di dunia yang tidak bisa di masuki orang lain. Dalam diam, mereka seolah
menegaskan bahwa tidak seorang pun boleh mengusik mereka. Diam yang mudah
dipahami.”
“Kau suka pada
orang-orang yang tidak peduli dengan sekitarnya?”
“Kadang-kadang
saya butuh tempat dengan orang-orang seperti itu. Kadang saya tidak suka di
ajukan pertanyaan ‘kenapa?’ atau ‘ada apa?’.”
“Bukankah itu
artinya kau di perhatikan?”
“Iya sih. Saya
selalu merasa beruntung dan bangga bisa memiliki orang-orang yang perhatian
pada saya. Saya memiliki sahabat-sahabat yang luar biasa baiknya, percayalah”
“Lalu?”
“Hanya kadang saya
bingung bagaimana menjelaskan pada mereka. Saya lebih sering takut dengan
pikiran sendiri. Ada saat-saat di mana saya hanya ingin diam, dan tidak
membicarakn apa pun dengan siapa pun. Saat seperti itu adalah saat di mana saya
tidak siap untuk menjawab pertanyaan apa pun. Pada akhirnya, jika saat itu
datang saya kan kebingungan menjawab pertanyaan yang di ajukan lalu akan
pura-pura tersenyum dan berkata ‘tidak kenapa2, saya hanya sedang ngantuk’. Dan
lama-kelamaan dengan wajah senyum itu ada yang terasa menyesakkan.”
“Bukankah kalau
bagikan beban kepada orang lain akan terasa ringan?”
“Ya, entahlah.
Mungkin karena saya lebih suka untuk tidak merepotkan orang lain dengan masalah
saya. Lagi pula saya selalu merasa bahwa seiring waktu berjalan pasti saya akan
bisa memaklumi setiap masalah yang ada. Maka yang perlu saya lakukan adalah
membiarkan waktu berlalu tanpa perlu menjelaskan apa pun. Sejak dulu saya
terbiasa dengan keadaan seperti itu.”
“Kau yakin
membaca bisa menyelesaikan masalah?”
Saya tertawa
pelan sambil melirik petugas untuk memastikan apakah mereka telah kembali dari makan
siang mereka, tapi ternyata mereka belum kembali, “Tentu saja tidak. Saya ke
sini bukan untuk mencari mencari penyelesaian masalah. Berada di sini memberi
saya kesempatan untuk berpikir tanpa ada yang bertanya ‘apa yang sedang kau
pikirkan’”
“Tentang?”
“Apa saja,
termasuk masalah-masalah saya, meski kadang saya tidak memikirkan apa-apa. Saya
suka berpikir di sini. Orang-orang tidak akan mengganggu pikiranmu, bahkan mereka
tidak peduli jika saya mengkhayal sambil pura-pura baca.”
“Kau tidak
membaca, tapi mengkhayal?”
“Ya. Memikirkan
sesuatu dengan tenang sambil pura-pura membaca hanya bisa di lakukan di sini.
Di mana orang-orang sibuk dengan lembaran halaman buku mereka masing-masing.”
“Tidak ada yang
merasa aneh dengan kau yang tidak sibuk membalikan halaman buku?”
“Mereka bahkan
tidak mencoba menoleh untuk memastikan saya sedang membaca atau tidak. Tentu saja setiap orang yang ke sini berpikir
bahwa lebih menarik membaca buku dari pada melihat orang yang membaca buku
kan?”
“Tapi tidak
mungkin kan dalam perpustakaan sebesar ini tidak ada temanmu yang datang, dan
melihat dirimu, lalu bertanya tentangmu”
“Tentu saja
ada,,, beberapa teman kampus pun sering melihat saya di sini. Bahkan hafal
tempat duduk saya di sini. Tapi seperti yang saya bilang tadi, mereka tentulah
lebih peduli pada bacaan mereka dan tidak sibuk dengan saya atau apa pun yang
saya pikirkan selama itu tidak mengganggu mereka. Normalnya kan, yang datang ke
sini adalah para kutu buku atau pun jika tidak, maka mungkin mereka sedang
mengerjakan tugas, jadi tidak ada alasan untuk melakukan lebih dari sekedar
menyapa atau saling senyum.”
“Kau aneh.”
“Kau terlihat
mirip seseorang.”
“Siapa?”
“Seseorang.”
“Pacar?”
Saya diam.
“Mantan?”
tanyanya lagi.
Saya berdiri dan
berkata “Saya pulang duluan.”
“Kenapa?”
“Saya mulai
tertarik dengan kau.”
Dia tertawa, “Bagus
donk, mungkin kita bisa sering ke sini bersama-sama.”
“Tidak. Saya
tidak ingin di sini dengan seseorang yang mampu menganggu konsentrasi saya
dengan mengajak ngobrol dan mengenal saya. Saya butuh tempat untuk menyendiri.”
“Tapi kita belum
saling kenal.”
“Benar. Itu
sebabnya, saya harus pergi sebelum kau mengajak saya berkenalan.”
Dia tertawa
lagi, “Kau memang aneh. Baiklah, satu pertanyaan lagi. Kau mahasiswa jurusan
bahasa?”
“Tidak. Saya mahasiswa
kesehatan masyarakat. Saya duluan. Selamat siang.”
Saya pun pergi
setelah menyelipkan buku yang tadi sedang saya baca.
Ketika menuruni
tangga saya benar-benar merasa konyol dengan percakapan itu. Aneh, biasanya
saya paling susah untuk bicara sebanyak itu dengan orang baru saya kenal,
tidak, saya bahkan belum mengenalnya. Namun, dia seperti mengingatkan saya pada
seseorang.
Lalu saya sadar,
kalau saya sedang merindukan orang itu.
Catatan iseng yang tidak benar-benar
terjadi yang mampu menyelamatkan saya dari sebuah kegiatan ‘tunggu’ yang
menjenuhkan.
Cttn: ini tulisan semasa kuliah dulu yang saya posting ulang,,,
Komentar
Posting Komentar