“TENTANG CINTA, HARAPAN DAN KAU”
Ada yang salah dengan
perasaan ini. Harusnya perasaan ini tidak perlu ada.
Semuanya
berawal dari percakapan kita di awal kuliah dulu lalu berlanjut dengan sebentuk
rasa kagum pada dirinya yang mahir memainkan gitar serta aktif dalam pelayanan.
Suatu hari,
saat ia menyanyikan lirik-lirik lagu Bruno Mars saat itulah aku mulai suka
mencuri pandang padanya, aku mulai bersyukur atas moment dimana aku bisa
menikmati kebersamaan dengannya. Sayangnya dia sudah memiliki seorang kekasih,
aku harus bisa puas hanya dengan menyimpan rasa kagumku dalam hati hingga suatu
hari terdengar kabar bahwa ia dan pacarnya telah putus karena perbedaan
keyakinan agama. Tentu saja aku senang mendengarnya. Tanpa sadar kekaguman itu tak
bisa kukendalikan hingga lahirlah benih cinta. Harusnya saat itu aku membuang
benih itu jauh-jauh, tidak perlu kupupuk dengan sejuta harapan tanpa tujuan.
Itu adalah kesalahan pertamaku.
Kebersamaan-kebersamaan
kami membuat jarak antara kami jadi tidak berarti. Aku dan dia menemukan kecocokan
yang tidak bisa kami bantah meski pun tak bisa kami satukan. Aku dan dia tetap
betah dalam zona kami masing-masing. Aku mencoba memasuki dunianya sayangnya
dia terlalu hebat menyembunyikan diri hingga aku tidak lebih dari seorang cewek
yang tersesat di jalan menujunya, bahkan aku pun tak pernah mencapai pintu
hatinya. Aku selalu terpaku dan diam di depan matanya, sebab di kedalaman matanya kutemui
jalan buntu. Di matanya masih ada Mia, sang mantan kekasihnya.
“Sudah
lama aku putus dengannya Yun, tapi aku tetap mengingatnya” begitu katanya
ketika suatu hari dia bercerita tentang mantannya yang berbeda agama itu, Mia. Kulihat
ada luka di matanya saat berkata demikian dan aku sakit menyadari hal itu.
Ketika
sadar bahwa aku tak bisa memasuki hatinya yang masih utuh untuk Mia, aku pun
memutuskan menjadi lady in waiting
bagi dia. Aku memutuskan untuk tetap menunggu seorang yang disediakan Tuhan
bagiku hingga wisuda nanti. Dan tanpa sadar aku pun memulai sebuah perjalanan
panjang yang menyakitkan sebab perlahan semua tantangan pun datang. Diam-diam
kubawa namanya dalam doaku. Kuputuskan untuk mendoakankannya selama enam bulan
ke depan. Kupikir selama itu aku pasti bisa mengendalikan perasaanku padanya.
Hari-hari
terus berlalu dan aku menikmati semua detak-detak jantung yang selalu berbeda
saat aku di dekatnya. Ada banyak rindu yang kutujukan padanya. Tatapanku selalu
liar mencari sosoknya. Aku sudah terbiasa dengan kehadirannya, tawanya,
senyumnya, suaranya dan tegap langkahnya. Aku pun berbagi banyak hal dengannya
sebagaimana dia pun membagikan banyak hal dalam hidupnya padaku.
Suatu
senja, seusai berlatih musik untuk sebuah acara, seperti biasa aku dan dia
menjalani ritual bercerita kami di sela-sela membereskan peralatan latihan “Yun,
ada cewek yang kusuka. Dia manis dan baik”
Jantungku
berdebar kencang mendengarnya. Ada semburat
rasa bahagia yang tiba-tiba muncul di dadaku. Aku tersenyum malu. Tapi,,,,,
“Namanya
Erna, yun. Belum terlalu kenal sih, tapi aku tertarik dengannya.” Katanya tanpa
peduli pada raut wajahku yang mendadak kecewa. Kupikir orang yang dia sukai itu
adalah aku. Kupikir pada akhirnya dia menyadari perasaanku. Tapi ternyata, dia
malah menceritakan perasaan sukanya pada cewek lain yang bahkan belum seminggu
dikenalnya. Hatiku hancur, rasanya ada perih yang diam-diam mengendap dalam
hatiku. Dan perih itu kusembunyikan rapat-rapat dengan senyum di wajahku.
Sebagai
sahabatnya aku mendengarkan ia bercerita tentang Erna yang dikaguminya meski
pun sebenarnya aku tidak ingin mendengarnya. Bahkan aku pun belum terlalu mengenal Erna yang juga
adalah badan pengurus di organisasi kami. Di antara rasa sakit yang kusimpan
itu aku tetap berusaha sekuat mungkin menjadi menjadi sahabat baginya.
“Aku
menyukainya Yun”
“Tapi
dia pun sudah ada pacar”
“Aku
tidak peduli, aku akan mendoakannya.”
Katanya tanpa peduli pada perkataanku seolah ia lupa bahwa mendoakan Erna agar
menjadi kekasihnya adalah sebuah kesalahan, bukankah itu artinya ia mendokan
agar Erna putus dengan pacarnya? Mana bisa kita berdoa dengan niat seperti itu
kan? Aku percaya Tuhan pasti mengabaikan doa itu.
“Ya
sudahlah, terserah.” kataku seraya pergi, semakin lama ia berbicara tentang
Erna, semakin perih luka di hatiku.
Entah
kenapa Tuhan malah mengabulkan doanya. Aku tidak bermaksud mempersalahkan Tuhan
hanya saja aku tidak tau harus marah kepada siapa. Di wajahku ada marah yang
terlalu jelas terpancar. Aku bukanlah orang yang mahir menyembunyikan rasa
marahku atau mungkin lebih tepatnya itu adalah cemburu. Ya, aku cemburu pada
kebersamaan mereka. Bahkan belum genap enam bulan aku mendoakan dia, dia malah
telah menjalin hubungan dengan Erna. Tapi apa boleh buat, aku tetap menjalankan
apa yang telah kuputuskan. Aku tetap mendoakannya.
Meski
pun aku berusaha bersikap wajar, tetap saja ada ketakutan yang bersarang dalam
hatiku. Aku takut rasa cemburu yang bersarang di hatiku malah menjadikan semua
kebersamaan yang pernah ada menjadi rusak. Aku berusaha sekuat mungkin menahan
gemuruh cemburu di dadaku agar tidak ada yang berubah dari keadaan baik-baik
saja yang selama ini terjadi. Di hadapannya dan Erna aku harus tetap menjadi
Yun yang ceria agar pelayanan kami di organisasi tidak terganggu. Sungguh,
menahan semuanya itu teramat perih kurasakan! Aku nyaris tidak kuat lagi.
Lalu
semuanya perlahan kembali normal, dia tidak lagi menceritakan banyak hal
padaku, seperti juga aku yang lebih memilih untuk diam saat bersama. Dan
semuanya kembali seperti awal lagi, seperti saat kita baru saling mengenal.
Kita nyaris seperti orang asing. Namun ternyata aku tidak bisa menerima keadaan
ini. Aku terlalu mengaguminya bahkan terlalu mencintainya. Tidak mudah bagiku
untuk merelakannya. Tidak mudah bagiku untuk melupakannya.
Aku
pernah belajar melupakannya. Aku pura-pura mengabaikan kehadirannya. Semua hal
tentang dia tidak kuhiraukan. Namun semuanya sia-sia. Dia dan kesegalaannya
telah menempati ruang kosong teristimewa di hatiku.
Ketika
liburan tiba, aku memanfaatkan waktu untuk mencoba melupakan semuanya. Aku memutuskan
untuk menghabiskan waktu liburan ke Waingapu, kota kelahiranku. Aku bahkan
mencoba menjalin hubungan lain dengan teman semasa SMAku. Sayangnya aku gagal.
Sangat gagal. Entah rumus dan teori mana yang salah kuletakan dalam semua usaha
yang kulakukan untuk menghapus
semua tentangnya. Aku menyadarinya ketika seorang sahabat bertanya tentang
perasaanku, dan kepada sahabatku itu kukatakan bahwa aku tetap menyukai Wardy dan rasanya adalah sebuah kebohongan besar
jika kukatakan bahwa perasaanku telah hilang, sebab jauh di dalam hatiku, di
tempat yang tak seorang pun mengetahuinya, Wardy tetaplah yang terindah.
Namanya, wajahnya, senyumnya, semua tentangnya masih tersimpan rapi, tidak ada
seorang pun yang bisa mengusiknya.
Liburan
berakhir, mimpi untuk melupakannya pun berakhir dengan sebuah kegagalan besar.
Dalam sebuah kepanitiaan, kebersamaan kami kembali terjalin. Ada sebuah
kenangan indah yang tidak ingin
kulupakan. Pada sebuah acara di mana ia akan mewakili kelas kami untuk
menyanyikan sebuah lagu aku yang bertugas mengatur tampilan slide latar
lagunya. Aku pun menanyakan padanya lagu apa yang ingin dia nyanyikan?
“Ada
saja, rahasia donk” katanya sambil memamerkan senyum manisnya. Jantungku pun
berdetak indah tanpa bisa kukendalikan lagi.
“Beritahu
donk, aku harus sesuaikan dengan gambar slidenya”
Sejenak
ia terdiam, lalu berkata “Intinya lagu yang romantis”
Aku
pun memilihkan gambar bunga putih yang tidak kutahu jenisnya apa, bergerak dari
atas ke bawah. Kupikir saat itu ia akan menyanyikan lagu With You yang dipopulerkan oleh Chris Brown sebab seingatku dulu
kami pernah memperdebatkan lagu romantis versi kami masing-masing. Saat aku
menganggap lagu Cinta Putih yang dinyanyikan oleh Yovie And Nuno sebagai lagu
paling romantis ia malah memilih lagu With
You itu.
Sesaat
sebelum acara di mulai ia berkata pelan “Lagu Janji Suci” saat itu aku bahkan
tidak tau harus berkata apa, aku senang sekaligus malu. Bahagia sekaligus
bangga. Sayangnya saat itu acara penuh hingga ia pun batal bernyanyi, meski pun
kecewa aku tetap merasakan perasaan bahagia yang sempat datang di hatiku.
Bahkan kini, seiap kali memegang gitar atau pun orgen aku seperti mendengar ia
menyanyikan lagu itu untukku.
Dia
lalu kembali memilihku
sebagai tempat menceritakan jalinan cintanya dengan Erna, kekasihnya yang
ternyata di ambang kehancuran.
“Yun, aku tidak tau lagi harus
berbuat apa. Aku masih mencintai Mia.” Masih ada luka sekaligus cinta dimatanya
ketika menyebut nama Mia. Dan sekali lagi aku membuat kesalahan fatal. Sebuah
kesalahan yang sama. Kesalahan yang begitu manis untuk kunikmati. Harusnya saat
itu aku mundur sejauh-jauhnya dari kehidupannya. Seharusnya aku meninggalkannya
sendiri bahkan jika ia harus terkapar karena cintanya. Harusnya aku kuat untuk
bangkit dan berlari menjauh darinya. Harusnya aku cukup kuat untuk tidak pedulikan
lagi perasaan cinta di hatiku. Demi Tuhan aku melakukan kesalahan besar.
Aku
tidak tau bagaimana mendefinisikan jarak dengannya. Aku dan dia sudah teramat
dekat. Terlalu dekat. Kedekatan-kedekatan itu malah membuatku terjebak dengan
sebutan pacaran oleh teman-temanku. Aku mencoba membantahnya namun entah kenapa
teman-temanku meyakinkanku bahwa tidak ada yang salah dengan kedekatan aku dan
dia, bahkan tanpa menyatakan apa pun dia
pasti tau bahwa ada aku menykauinya, begitu kata teman-temanku.
Aku
pun seyakin teman-temanku, bahkan malah lebih yakin lagi. Mudah bagiku untuk
menyadari perasan suka yang terpancar dari semua perilakunya terhadapku. Itu
sebabnya aku yakin jauh di dalam lubuk hatinya dia pun menyimpan secuil rasa
suka terhadapku. Bahagia rasanya mengetahui bahwa dia pun menyukaiku, namun ada
perasaan berdosa menyelip di antara bahagia itu, sebab dia masih menjadi
kekasih Erna. Dan aku pun memilih untuk tetap diam. Aku tetap mencintainya dalam
diam. Bukan tidak berani mengungkapkan perasaanku hanya saja aku memiliki sebuah
prinsip bahwa aku tidak boleh mengeluarkan pernyataan sayang ke dia.
Dan
dalam diam itulah pada akhirnya aku harus menikmati lagi sakit karena
mencintainya. Sakit ini teramat perih. Lukaku kian menganga. Rasaku hambar. Mendadak,
aku lupa indahnya mencintai hanya karena suatu hari di awal november Mia
kembali hadir dalam hidupnya. Dengan begitu mudahnya Mia menyatakan rasa
sukanya kepada dia, rasa yang sama yang selama ini matian-matian kupendam. Mia
datang begitu saja, merubuhkan semua pertahanan yang susah payah kubangun.
Tidak cukup dengan kedatangannya dia malah memperburuk keadaan dengan
menebarkan fitnah terhadapku.
“Yun
kan dekat sama si Erna, masa Yun tega menyimpan perasaan sama Wardy?” begitu
katanya kepada teman-teman.
Aku
tersudutkan. Aku merasa dihakimi tanpa kesalahan. Amarahku memuncak. Aku
terpancing kata-kata Mia. Sekali lagi aku dan Wardy sama-sama menciptakan dunia
asing. Di dunia itu kami sama-sama tidak saling pedulikan. Kita saling
mengabaikan. Kita sama-sama berpura-pura lupa tentang suatu masa di mana kita
pernah saling memendam rasa suka yang indah.
Dalam
dunia asing itu aku tetap merindukan sosok Wardy. Aku masih Yun yang sama, yang
tetap memelihara perasaan suka padanya. Dan dengan jelas aku dapat melihat rona
bahagia di mata Wardy ketika Mia kembali hadir dalam hidupnya. Tidak jauh dari
dunianya dan Mia, Erna mulai menderita. Ia sakit, teramat sakit. Erna merasa
dipermainkan oleh Wardy.
“Apa
yang harus kulakukan?” tanyaku pada sarah sahabat baikku.
“Jujurlah
pada Erna tentang perasaanmu selama ini.” usul sarah yang membuatku terkejut.
“Tidak
mungkin.”tolakku. “Aku tidak bisa.”
“Yun,
apa yang membuatmu tidak bisa jujur pada Erna. Kalian sudah sangat dekat. Erna
pasti akan mengerti.”
Aku
terdiam mendengar perkataan sahabatku.
“Yun,
satu-satunya hubungan yang saat ini perlu diselamatkan adalah hubungan baik Yun
dan Erna” lanjut Sarah dan aku masih tetap diam, namun aku pun menyadari kebenaran
ucapan Sarah. Aku bertekad, akan berusaha jujur pada Erna.
Suatu
senja, aku mengajak Erna bercerita. Aku mengawali semua ceritaku dengan
perasanku pada Wardy. Aku ceritakan semuanya, semua sakit dan bahagianya
mencintai Wardy. Erna terkejut, mungkin lebih tepatnya ia terpukul pada
kejujuranku. Cukup
lama erna terdiam. Entah bingung ataukah marah aku tidak peduli. Aku hanya
ingin jujur padanya. Tidak lebih. Melihat Erna yang tidak merespon kejujuranku
aku pun menyodorkan dua buah buku diary padanya.
“Bacalah”
kataku seraya menyodorkan buku diary itu.
Erna
mengambil buku itu, lalu dengan cepat ia membaca isinya. Lama ia terdiam
setelah membacanya. Aku pun turt terdiam. Kami tenggelam dalam pikiran kami
masing-masing.
“Maaf”
kata Erna perlahan, nyaris tidak terdengar.
“Tidak
perlu meminta maaf, kau tidak bersalah.”
“Harusnya
aku tidak masuk dalam lingkaran persahabatan kalian.” Katanya sambil memandang
matahari senja yang mulai beranjak pergi “Tapi, aku sudah terlanjur sayang sama
Wardy. Maaf Yun.”
Aku
hanya tersenyum dan mengangguk. Setidaknya aku sedang berusaha menampakkan
wajah ‘baik-baik saja’ di hadapan Erna, padahal sekujur tubuhku serasa
bergetar menahan sakit yang menusuk dada. Aku terus mengendalikan detak
jantungku. Sebab di sampingku, wajah bersalah Erna tidak kunjung hilang.
Setelah
peristiwa jujur itu aku kembali menemui sahabatku. Ada yang mengganggu
pikiranku. Aku takut.
“Bagaimana
kalau Erna putus dengan Wardy?”
“Tidak
mungkin.”
“Kenapa?”
“Sejauh
ini, tidak ada alasan dia mengubah keputusannya dan putus dengan Wardy.”
Mendengar
itu aku pun agak merasa lega. Setidaknya aku berhasil menyelamatkan hubunganku
dengan Erna. Dan bagiku itulah yang paling penting saat ini. Aku bersyukur
bahwa aku telah melakukan hal yang benar walau pun beberapa saat setelah itu Erna
dan Wardy pun berhenti menjalin hubungan.
Yang
paling menyakitkan adalah ketika Wardy dan Mia kembali menjalin hubungan.
Perasaan sakit yang telah ada kian menumpuk. Lama-kelamaan aku mulai memelihara
sebentuk rasa benci pada Mia. Aku persalahkan Mia atas semua yang terjadi
sebagaimana dia mempersalahkan perasaanku pada Wardy. Baginya aku ini adalah
cewek munafik hanya karena aku menyimpan perasaan pada Wardy. Ia tidak pernah
menduga bagaimana sakit yang kuderita hanya karena mencintai seorang Wardy.
Aku
mulai jenuh dengan perasaan cinta yang melelahkan ini. Aku mulai membenci
diriku sendiri. Aku mulai berusaha mengendalikan perasaanku. Aku mulai belajar
untuk tidak pedulikan dia lagi.
“Yun,
kau pasti bisa lupakan dia” begitu kata Sarah.
Aku
hanya diam, sebagian diriku masih belum yakin bahwa aku akan melupakan Wardy.
“Cobalah
untuk berusaha Yun. Hidup kau bukan hanya tentang Wardy.”
“Tapi
susah Sarah.”
“Susah
apanya?”
“Kau
ingat saat kita mengunjungi rumahnya untuk mengucapkan selamat natal beberapa waktu
lau?”
“Ingat,
lalu?”
“Nah
saat itukan mamanya bilang: eh nona sumba tidak pulang libur?”
“Lalu?”
“Lalu
ketika besoknya kita ke rumahnya lagi mamanya bilang ke adiknya: Ria, ada kakak
Yun, salam kakak Yun.”
“Lalu?”
“Maksud
kamu?” aku bingung dengan kata ‘lalu’ yang terus diucapkan sarah.
“Lalu
apa anehnya dari perkataan mamanya Wardy. Toh apa yang beliau bilang semuanya
benar kan?”
“Iya
sarah, memang benar. Tapi mamanya tau dari mana kalau aku orang sumba dan
namaku Yun?”
“Oooo
benar yaaaa” kata Sarah sambil menganggukkan kepala. Ia pun membenarkan
dugaanku. Bahkan sarah pun turut mengingatkanku pada kejadian saat kami
mengunjungi rumah Wardy untuk sebuah persiapan kegiatan. Saat itu, Ria
menyongsong kedatanganku dengan ceria sambil memintaku mengerjakan PRnya, saat
teman lain menawarkan diri Ria malah menolak dan tetap ingin agar hanya aku
yang membantunya. Keadaan diperparah dengan ajakan Ria untuk nginap di rumahnya
yang tentu saja kutolak dan penolakanku itu malah membuat Ria ingin tidur
bersamaku di kosku. Aku pun kembali terjebak dengan perasaan cintaku pada Wardy
karena keluarganya begitu baik padaku. Seolah telah lama mengenalku. Seolah
selama ini, cerita tentangku
selalu
hadir dalam kehidupan mereka. Mungkinkah Wardy menceritakan tentangku pada
mereka? Tapi untuk apa? Dan aku pun tahu aku tak bisa membebaskan diri.
Berusaha sekuat apa pun tetap saja aku gagal.
Aku
kian lelah dengan semua perjalanan cinta ini. hatiku sakit dengan semua tingkah
lakunya yang menghindariku. Rinduku selalu kutahan. Entah telah berapa banyak
doa yang kuucapkan meski Tuhan tak kunjung mengamininya. Di atas sana mungkin
saja telah penuh dengan serakan doa-doaku.
Entah
kekuatan dari mana yang kudapatkan, pada akhirnya aku menyadari bahwa aku harus
jujur pada Wardy. Sarah menguatkanku dengan
memintaku berjanji agar apa pun yang terjadi aku tidak boleh menangis dan aku
menyanggupinya. Aku berusaha menjaga perjanjian itu, aku tidak ingin
mengingkarinya meski pun aku nyaris tidak kuat lagi. Aku ingin menangis dan
berteriak sekuat-kuatnya tapi aku menahan semua gejolak dalam dadaku, aku
diamkan semua gemuruh di jantungku. Aku hanya ingin tetap kuat seperti yang
sudah kujanjikan pada sahabatku.
Maka
aku pun mengatakan semua perasaanku padanya, tentang betapa aku mengaguminya,
betapa kau menyukainya, betapa aku mencintainya dan betapa aku telah lelah
dengan perasaanku ini. Tidak kuizinkan ia memutuskan atau menyela perkataanku,
penting bagiku dia mendengarkan semuanya hingga akhir. Aku hanya ingin dia tahu
perasaanku serta alasan kenapa dia menghindariku setelah sempat memberikanku
harapan akan cintanya, selebihnya aku sudah tidak peduli lagi. Sementara
menikmati perasaan lega karena telah berhasil membebaskan cinta yang selama ini
tersimpan rapi di hatiku, dia berkata “Maaf, bukannya menghindar tapi lebih
pada aku bingung memperlakukan kalian bertiga, Yun, Mia dan Erna”
Bagi
saja jawaban itu sudah lebih cukup meski ingin rasanya aku bertanya mengapa
hanya aku yang dia abaikan, dia bahkan tetap berusaha dekat dengan Mia dan sering
bekomunikasi dengan Erna. Tapi sudahlah, bagiku itu tidak penting. Toh, Erna pun
telah menjalin hubungan cinta dengan Roy yang telah lebih dulu menyukai Erna sebelum
Wardy bahkan kepada Wardy pun Roy pernah mengatakan rasa tertariknya pada Erna.
Kupikir
semuanya berakhir, ternyata aku masih belum cukup kuat untuk melepaskan cintaku
pada Wardy. Aku telah mencoba banyak cara, aku bahkan mencoba menjalin hubungan
dengan cowok lain, tapi gagal juga. Dua bulan aku menjalani kulih kerja nyata
di desa yang terpencil, susah untuk menjalin komunikasi dengannya, kupikir aku
berhasil bertahan tanpanya, ternyata lagi-lagi aku salah. Aku gagal menanggalkan
cinta di hatiku. Selain kebaikan hatinya, mama dan adiknya adalah salah satu
alasan aku selalu pulang ke dalam hatinya, sebab banyak hal yang mereka ketahui
tanpa harus aku cerita pada mereka. Kenyataan itu selalu berhasil memupuk
perasaan cinta yang selalu ingin kubuang jauh-jauh. Ada sebuah pikiran yang
selalu menyadarkanku bahwa ada satu bagian dalam diri Wardy yang tetap
menyimpan rasa untukku, sebab jika tidak bagaimana caranya sang mama dan
adiknya tahu tentangku jika tidak diceritakan oleh Wardy? Ah, entahlah, aku
bahkan menikmati saja pikiran itu sekalipun itu adalah pikiran konyol yang
muncul seenaknya dalam otakku.
Waktu
terus berjalan, diantara kegagalan-kegagalanku untuk melupakannya aku malah
mendapati diriku telah bersahabat baik dengan Erna. Kita berbagi banyak hal,
aku memahaminya sebagimana ia pun memahamiku. Aku tutut bahagia sebab ia pun
telah berbahagia bersama Roy. Aku mulai belajar lagi memaklumi keadaan cintaku
yang tidak kunjung dibalas. Di kelas pun aku berusaha tidak peduli pada Mia,
aku masih ingat bagaimana dulu ia berusaha menjauhkanku dari Wardy. Aku mencoba
membenci Wardy dengan mengenang hal-hal menyakitkan tentang dirinya, seperti
pada sebuah kejadian di mana dia mengatakan bahwa dia sama sekali tidak memiliki niat untuk
berpacaran denganku. Aku mengenang kalimat itu sabagai penolakan paling tegas
darinya. Aku mengenang kalimat itu sebagai sakit yang lebih dari cukup untuk
membencinya meski pun tidak cukup untuk menghilangkan rasa cinta untuknya yang
sudah terlanjur betah ada di hati.
Kini
Wardy tidak memilih siapa pun antara aku, Mia dan Erna. Dia memilih seorang
cewek SMA teman pemuda gerejanya. Aku masih ingat bagaimana sakit hatiku ketika
mengetahuinya. Tapi pengalaman membawaku pada sebentuk kedewasaan yang kian
matang. Aku belajar menerimanya dengan ikhlas. Meski aku tetap saja tidak
berani menatap matanya, sebab Wardy tentulah akan melihat bahwa ada masih ada
cinta yang begitu besar di kedalaman mataku untuknya. Mata adalah tempat paling
mudah menemukan kejujuran. Di sana tidak ada ruang untuk sekedar mengatakan
bahwa aku tidak lagi mencintainya. Di mataku masih dapat ditemukan cinta yang
utuh. Cinta milik seorang Wardy,seorang pria istimewa yang berasal dari sebuah
gundukan tanah yang tidak terlalu luas, dia seorang pria dari pulau mungil,
pulau semau.
Dan
kepada Tuhan, aku masih setia menitipkan sebuah doa, “Tuhan, kalau memang dia adalah orang yang kau sediakan untukku,
izinkan rasa ini bertahan dan tetap ada. Jika bukan, ambil perasaan ini dan
jaga hatiku tetap ada dalam hadiratmu”.
Kupang, Oktober 2014
Komentar
Posting Komentar