“TENTANG CINTA, HARAPAN DAN KAU”




Ada yang salah dengan perasaan ini. Harusnya perasaan ini tidak perlu ada.
Semuanya berawal dari percakapan kita di awal kuliah dulu lalu berlanjut dengan sebentuk rasa kagum pada dirinya yang mahir memainkan gitar serta aktif dalam pelayanan. Suatu hari, saat ia menyanyikan lirik-lirik lagu Bruno Mars saat itulah aku mulai suka mencuri pandang padanya, aku mulai bersyukur atas moment dimana aku bisa menikmati kebersamaan dengannya. Sayangnya dia sudah memiliki seorang kekasih, aku harus bisa puas hanya dengan menyimpan rasa kagumku dalam hati hingga suatu hari terdengar kabar bahwa ia dan pacarnya telah putus karena perbedaan keyakinan agama. Tentu saja aku senang mendengarnya. Tanpa sadar kekaguman itu tak bisa kukendalikan hingga lahirlah benih cinta. Harusnya saat itu aku membuang benih itu jauh-jauh, tidak perlu kupupuk dengan sejuta harapan tanpa tujuan. Itu adalah kesalahan pertamaku.
Kebersamaan-kebersamaan kami membuat jarak antara kami jadi tidak berarti. Aku dan dia menemukan kecocokan yang tidak bisa kami bantah meski pun tak bisa kami satukan. Aku dan dia tetap betah dalam zona kami masing-masing. Aku mencoba memasuki dunianya sayangnya dia terlalu hebat menyembunyikan diri hingga aku tidak lebih dari seorang cewek yang tersesat di jalan menujunya, bahkan aku pun tak pernah mencapai pintu hatinya. Aku selalu terpaku dan diam di depan matanya, sebab di kedalaman matanya kutemui jalan buntu. Di matanya masih ada Mia, sang mantan kekasihnya.
“Sudah lama aku putus dengannya Yun, tapi aku tetap mengingatnya” begitu katanya ketika suatu hari dia bercerita tentang mantannya yang berbeda agama itu, Mia. Kulihat ada luka di matanya saat berkata demikian dan aku sakit menyadari hal itu.
Ketika sadar bahwa aku tak bisa memasuki hatinya yang masih utuh untuk Mia, aku pun memutuskan menjadi lady in waiting bagi dia. Aku memutuskan untuk tetap menunggu seorang yang disediakan Tuhan bagiku hingga wisuda nanti. Dan tanpa sadar aku pun memulai sebuah perjalanan panjang yang menyakitkan sebab perlahan semua tantangan pun datang. Diam-diam kubawa namanya dalam doaku. Kuputuskan untuk mendoakankannya selama enam bulan ke depan. Kupikir selama itu aku pasti bisa mengendalikan perasaanku padanya.
Hari-hari terus berlalu dan aku menikmati semua detak-detak jantung yang selalu berbeda saat aku di dekatnya. Ada banyak rindu yang kutujukan padanya. Tatapanku selalu liar mencari sosoknya. Aku sudah terbiasa dengan kehadirannya, tawanya, senyumnya, suaranya dan tegap langkahnya. Aku pun berbagi banyak hal dengannya sebagaimana dia pun membagikan banyak hal dalam hidupnya padaku.
Suatu senja, seusai berlatih musik untuk sebuah acara, seperti biasa aku dan dia menjalani ritual bercerita kami di sela-sela membereskan peralatan latihan “Yun, ada cewek yang kusuka. Dia manis dan baik”
Jantungku berdebar kencang mendengarnya. Ada semburat rasa bahagia yang tiba-tiba muncul di dadaku. Aku tersenyum malu. Tapi,,,,,
“Namanya Erna, yun. Belum terlalu kenal sih, tapi aku tertarik dengannya.” Katanya tanpa peduli pada raut wajahku yang mendadak kecewa. Kupikir orang yang dia sukai itu adalah aku. Kupikir pada akhirnya dia menyadari perasaanku. Tapi ternyata, dia malah menceritakan perasaan sukanya pada cewek lain yang bahkan belum seminggu dikenalnya. Hatiku hancur, rasanya ada perih yang diam-diam mengendap dalam hatiku. Dan perih itu kusembunyikan rapat-rapat dengan senyum di wajahku.
Sebagai sahabatnya aku mendengarkan ia bercerita tentang Erna yang dikaguminya meski pun sebenarnya aku tidak ingin mendengarnya. Bahkan  aku pun belum terlalu mengenal Erna yang juga adalah badan pengurus di organisasi kami. Di antara rasa sakit yang kusimpan itu aku tetap berusaha sekuat mungkin menjadi menjadi sahabat baginya.
“Aku menyukainya Yun”
“Tapi dia pun sudah ada pacar”
“Aku tidak peduli, aku akan mendoakannya.” Katanya tanpa peduli pada perkataanku seolah ia lupa bahwa mendoakan Erna agar menjadi kekasihnya adalah sebuah kesalahan, bukankah itu artinya ia mendokan agar Erna putus dengan pacarnya? Mana bisa kita berdoa dengan niat seperti itu kan? Aku percaya Tuhan pasti mengabaikan doa itu.
“Ya sudahlah, terserah.” kataku seraya pergi, semakin lama ia berbicara tentang Erna, semakin perih luka di hatiku.
Entah kenapa Tuhan malah mengabulkan doanya. Aku tidak bermaksud mempersalahkan Tuhan hanya saja aku tidak tau harus marah kepada siapa. Di wajahku ada marah yang terlalu jelas terpancar. Aku bukanlah orang yang mahir menyembunyikan rasa marahku atau mungkin lebih tepatnya itu adalah cemburu. Ya, aku cemburu pada kebersamaan mereka. Bahkan belum genap enam bulan aku mendoakan dia, dia malah telah menjalin hubungan dengan Erna. Tapi apa boleh buat, aku tetap menjalankan apa yang telah kuputuskan. Aku tetap mendoakannya.
Meski pun aku berusaha bersikap wajar, tetap saja ada ketakutan yang bersarang dalam hatiku. Aku takut rasa cemburu yang bersarang di hatiku malah menjadikan semua kebersamaan yang pernah ada menjadi rusak. Aku berusaha sekuat mungkin menahan gemuruh cemburu di dadaku agar tidak ada yang berubah dari keadaan baik-baik saja yang selama ini terjadi. Di hadapannya dan Erna aku harus tetap menjadi Yun yang ceria agar pelayanan kami di organisasi tidak terganggu. Sungguh, menahan semuanya itu teramat perih kurasakan! Aku nyaris tidak kuat lagi.
Lalu semuanya perlahan kembali normal, dia tidak lagi menceritakan banyak hal padaku, seperti juga aku yang lebih memilih untuk diam saat bersama. Dan semuanya kembali seperti awal lagi, seperti saat kita baru saling mengenal. Kita nyaris seperti orang asing. Namun ternyata aku tidak bisa menerima keadaan ini. Aku terlalu mengaguminya bahkan terlalu mencintainya. Tidak mudah bagiku untuk merelakannya. Tidak mudah bagiku untuk melupakannya.
Aku pernah belajar melupakannya. Aku pura-pura mengabaikan kehadirannya. Semua hal tentang dia tidak kuhiraukan. Namun semuanya sia-sia. Dia dan kesegalaannya telah menempati ruang kosong teristimewa di hatiku.
Ketika liburan tiba, aku memanfaatkan waktu untuk mencoba melupakan semuanya. Aku memutuskan untuk menghabiskan waktu liburan ke Waingapu, kota kelahiranku. Aku bahkan mencoba menjalin hubungan lain dengan teman semasa SMAku. Sayangnya aku gagal. Sangat gagal. Entah rumus dan teori mana yang salah kuletakan dalam semua usaha yang kulakukan untuk menghapus semua tentangnya. Aku menyadarinya ketika seorang sahabat bertanya tentang perasaanku, dan kepada sahabatku itu kukatakan bahwa aku tetap menyukai Wardy  dan rasanya adalah sebuah kebohongan besar jika kukatakan bahwa perasaanku telah hilang, sebab jauh di dalam hatiku, di tempat yang tak seorang pun mengetahuinya, Wardy tetaplah yang terindah. Namanya, wajahnya, senyumnya, semua tentangnya masih tersimpan rapi, tidak ada seorang pun yang bisa mengusiknya.
Liburan berakhir, mimpi untuk melupakannya pun berakhir dengan sebuah kegagalan besar. Dalam sebuah kepanitiaan, kebersamaan kami kembali terjalin. Ada sebuah kenangan indah yang  tidak ingin kulupakan. Pada sebuah acara di mana ia akan mewakili kelas kami untuk menyanyikan sebuah lagu aku yang bertugas mengatur tampilan slide latar lagunya. Aku pun menanyakan padanya lagu apa yang ingin dia nyanyikan?
“Ada saja, rahasia donk” katanya sambil memamerkan senyum manisnya. Jantungku pun berdetak indah tanpa bisa kukendalikan lagi.
“Beritahu donk, aku harus sesuaikan dengan gambar slidenya”
Sejenak ia terdiam, lalu berkata “Intinya lagu yang romantis”
Aku pun memilihkan gambar bunga putih yang tidak kutahu jenisnya apa, bergerak dari atas ke bawah. Kupikir saat itu ia akan menyanyikan lagu With You yang dipopulerkan oleh Chris Brown sebab seingatku dulu kami pernah memperdebatkan lagu romantis versi kami masing-masing. Saat aku menganggap lagu Cinta Putih yang dinyanyikan oleh Yovie And Nuno sebagai lagu paling romantis ia malah memilih lagu With You itu.
Sesaat sebelum acara di mulai ia berkata pelan “Lagu Janji Suci” saat itu aku bahkan tidak tau harus berkata apa, aku senang sekaligus malu. Bahagia sekaligus bangga. Sayangnya saat itu acara penuh hingga ia pun batal bernyanyi, meski pun kecewa aku tetap merasakan perasaan bahagia yang sempat datang di hatiku. Bahkan kini, seiap kali memegang gitar atau pun orgen aku seperti mendengar ia menyanyikan lagu itu untukku.
Dia lalu kembali memilihku sebagai tempat menceritakan jalinan cintanya dengan Erna, kekasihnya yang ternyata di ambang kehancuran.
“Yun, aku tidak tau lagi harus berbuat apa. Aku masih mencintai Mia.” Masih ada luka sekaligus cinta dimatanya ketika menyebut nama Mia. Dan sekali lagi aku membuat kesalahan fatal. Sebuah kesalahan yang sama. Kesalahan yang begitu manis untuk kunikmati. Harusnya saat itu aku mundur sejauh-jauhnya dari kehidupannya. Seharusnya aku meninggalkannya sendiri bahkan jika ia harus terkapar karena cintanya. Harusnya aku kuat untuk bangkit dan berlari menjauh darinya. Harusnya aku cukup kuat untuk tidak pedulikan lagi perasaan cinta di hatiku. Demi Tuhan aku melakukan kesalahan besar.
Aku tidak tau bagaimana mendefinisikan jarak dengannya. Aku dan dia sudah teramat dekat. Terlalu dekat. Kedekatan-kedekatan itu malah membuatku terjebak dengan sebutan pacaran oleh teman-temanku. Aku mencoba membantahnya namun entah kenapa teman-temanku meyakinkanku bahwa tidak ada yang salah dengan kedekatan aku dan dia,  bahkan tanpa menyatakan apa pun dia pasti tau bahwa ada aku menykauinya, begitu kata teman-temanku.
Aku pun seyakin teman-temanku, bahkan malah lebih yakin lagi. Mudah bagiku untuk menyadari perasan suka yang terpancar dari semua perilakunya terhadapku. Itu sebabnya aku yakin jauh di dalam lubuk hatinya dia pun menyimpan secuil rasa suka terhadapku. Bahagia rasanya mengetahui bahwa dia pun menyukaiku, namun ada perasaan berdosa menyelip di antara bahagia itu, sebab dia masih menjadi kekasih Erna. Dan aku pun memilih untuk tetap diam. Aku tetap mencintainya dalam diam. Bukan tidak berani mengungkapkan perasaanku hanya saja aku memiliki sebuah prinsip bahwa aku tidak boleh mengeluarkan pernyataan sayang ke dia.
Dan dalam diam itulah pada akhirnya aku harus menikmati lagi sakit karena mencintainya. Sakit ini teramat perih. Lukaku kian menganga. Rasaku hambar. Mendadak, aku lupa indahnya mencintai hanya karena suatu hari di awal november Mia kembali hadir dalam hidupnya. Dengan begitu mudahnya Mia menyatakan rasa sukanya kepada dia, rasa yang sama yang selama ini matian-matian kupendam. Mia datang begitu saja, merubuhkan semua pertahanan yang susah payah kubangun. Tidak cukup dengan kedatangannya dia malah memperburuk keadaan dengan menebarkan fitnah terhadapku.
“Yun kan dekat sama si Erna, masa Yun tega menyimpan perasaan sama Wardy?” begitu katanya kepada teman-teman.
Aku tersudutkan. Aku merasa dihakimi tanpa kesalahan. Amarahku memuncak. Aku terpancing kata-kata Mia. Sekali lagi aku dan Wardy sama-sama menciptakan dunia asing. Di dunia itu kami sama-sama tidak saling pedulikan. Kita saling mengabaikan. Kita sama-sama berpura-pura lupa tentang suatu masa di mana kita pernah saling memendam rasa suka yang indah.
Dalam dunia asing itu aku tetap merindukan sosok Wardy. Aku masih Yun yang sama, yang tetap memelihara perasaan suka padanya. Dan dengan jelas aku dapat melihat rona bahagia di mata Wardy ketika Mia kembali hadir dalam hidupnya. Tidak jauh dari dunianya dan Mia, Erna mulai menderita. Ia sakit, teramat sakit. Erna merasa dipermainkan oleh Wardy.
“Apa yang harus kulakukan?” tanyaku pada sarah sahabat baikku.
“Jujurlah pada Erna tentang perasaanmu selama ini.” usul sarah yang membuatku terkejut.
“Tidak mungkin.”tolakku. “Aku tidak bisa.”
“Yun, apa yang membuatmu tidak bisa jujur pada Erna. Kalian sudah sangat dekat. Erna pasti akan mengerti.”
Aku terdiam mendengar perkataan sahabatku.
“Yun, satu-satunya hubungan yang saat ini perlu diselamatkan adalah hubungan baik Yun dan Erna” lanjut Sarah dan aku masih tetap diam, namun aku pun menyadari kebenaran ucapan Sarah. Aku bertekad, akan berusaha jujur pada Erna.
Suatu senja, aku mengajak Erna bercerita. Aku mengawali semua ceritaku dengan perasanku pada Wardy. Aku ceritakan semuanya, semua sakit dan bahagianya mencintai Wardy. Erna terkejut, mungkin lebih tepatnya ia terpukul pada kejujuranku. Cukup lama erna terdiam. Entah bingung ataukah marah aku tidak peduli. Aku hanya ingin jujur padanya. Tidak lebih. Melihat Erna yang tidak merespon kejujuranku aku pun menyodorkan dua buah buku diary padanya.
“Bacalah” kataku seraya menyodorkan buku diary itu.
Erna mengambil buku itu, lalu dengan cepat ia membaca isinya. Lama ia terdiam setelah membacanya. Aku pun turt terdiam. Kami tenggelam dalam pikiran kami masing-masing.
“Maaf” kata Erna perlahan, nyaris tidak terdengar.
“Tidak perlu meminta maaf, kau tidak bersalah.”
“Harusnya aku tidak masuk dalam lingkaran persahabatan kalian.” Katanya sambil memandang matahari senja yang mulai beranjak pergi “Tapi, aku sudah terlanjur sayang sama Wardy. Maaf Yun.”
Aku hanya tersenyum dan mengangguk. Setidaknya aku sedang berusaha menampakkan wajah ‘baik-baik saja’ di hadapan Erna, padahal sekujur tubuhku serasa bergetar menahan sakit yang menusuk dada. Aku terus mengendalikan detak jantungku. Sebab di sampingku, wajah bersalah Erna tidak kunjung hilang.
Setelah peristiwa jujur itu aku kembali menemui sahabatku. Ada yang mengganggu pikiranku. Aku takut.
“Bagaimana kalau Erna putus dengan Wardy?”
“Tidak mungkin.”
“Kenapa?”
“Sejauh ini, tidak ada alasan dia mengubah keputusannya dan putus dengan Wardy.”
Mendengar itu aku pun agak merasa lega. Setidaknya aku berhasil menyelamatkan hubunganku dengan Erna. Dan bagiku itulah yang paling penting saat ini. Aku bersyukur bahwa aku telah melakukan hal yang benar walau pun beberapa saat setelah itu Erna dan Wardy pun berhenti menjalin hubungan.
Yang paling menyakitkan adalah ketika Wardy dan Mia kembali menjalin hubungan. Perasaan sakit yang telah ada kian menumpuk. Lama-kelamaan aku mulai memelihara sebentuk rasa benci pada Mia. Aku persalahkan Mia atas semua yang terjadi sebagaimana dia mempersalahkan perasaanku pada Wardy. Baginya aku ini adalah cewek munafik hanya karena aku menyimpan perasaan pada Wardy. Ia tidak pernah menduga bagaimana sakit yang kuderita hanya karena mencintai seorang Wardy.
Aku mulai jenuh dengan perasaan cinta yang melelahkan ini. Aku mulai membenci diriku sendiri. Aku mulai berusaha mengendalikan perasaanku. Aku mulai belajar untuk tidak pedulikan dia lagi.
“Yun, kau pasti bisa lupakan dia” begitu kata Sarah.
Aku hanya diam, sebagian diriku masih belum yakin bahwa aku akan melupakan Wardy.
“Cobalah untuk berusaha Yun. Hidup kau bukan hanya tentang Wardy.”
“Tapi susah Sarah.”
“Susah apanya?”
“Kau ingat saat kita mengunjungi rumahnya untuk mengucapkan selamat natal beberapa waktu lau?”
“Ingat, lalu?”
“Nah saat itukan mamanya bilang: eh nona sumba tidak pulang libur?”
“Lalu?”
“Lalu ketika besoknya kita ke rumahnya lagi mamanya bilang ke adiknya: Ria, ada kakak Yun, salam kakak Yun.”
“Lalu?”
“Maksud kamu?” aku bingung dengan kata ‘lalu’ yang terus diucapkan sarah.
“Lalu apa anehnya dari perkataan mamanya Wardy. Toh apa yang beliau bilang semuanya benar kan?”
“Iya sarah, memang benar. Tapi mamanya tau dari mana kalau aku orang sumba dan namaku Yun?”
“Oooo benar yaaaa” kata Sarah sambil menganggukkan kepala. Ia pun membenarkan dugaanku. Bahkan sarah pun turut mengingatkanku pada kejadian saat kami mengunjungi rumah Wardy untuk sebuah persiapan kegiatan. Saat itu, Ria menyongsong kedatanganku dengan ceria sambil memintaku mengerjakan PRnya, saat teman lain menawarkan diri Ria malah menolak dan tetap ingin agar hanya aku yang membantunya. Keadaan diperparah dengan ajakan Ria untuk nginap di rumahnya yang tentu saja kutolak dan penolakanku itu malah membuat Ria ingin tidur bersamaku di kosku. Aku pun kembali terjebak dengan perasaan cintaku pada Wardy karena keluarganya begitu baik padaku. Seolah telah lama mengenalku. Seolah selama ini, cerita tentangku selalu hadir dalam kehidupan mereka. Mungkinkah Wardy menceritakan tentangku pada mereka? Tapi untuk apa? Dan aku pun tahu aku tak bisa membebaskan diri. Berusaha sekuat apa pun tetap saja aku gagal.
Aku kian lelah dengan semua perjalanan cinta ini. hatiku sakit dengan semua tingkah lakunya yang menghindariku. Rinduku selalu kutahan. Entah telah berapa banyak doa yang kuucapkan meski Tuhan tak kunjung mengamininya. Di atas sana mungkin saja telah penuh dengan serakan doa-doaku.
Entah kekuatan dari mana yang kudapatkan, pada akhirnya aku menyadari bahwa aku harus jujur pada Wardy. Sarah menguatkanku dengan memintaku berjanji agar apa pun yang terjadi aku tidak boleh menangis dan aku menyanggupinya. Aku berusaha menjaga perjanjian itu, aku tidak ingin mengingkarinya meski pun aku nyaris tidak kuat lagi. Aku ingin menangis dan berteriak sekuat-kuatnya tapi aku menahan semua gejolak dalam dadaku, aku diamkan semua gemuruh di jantungku. Aku hanya ingin tetap kuat seperti yang sudah kujanjikan pada sahabatku.
Maka aku pun mengatakan semua perasaanku padanya, tentang betapa aku mengaguminya, betapa kau menyukainya, betapa aku mencintainya dan betapa aku telah lelah dengan perasaanku ini. Tidak kuizinkan ia memutuskan atau menyela perkataanku, penting bagiku dia mendengarkan semuanya hingga akhir. Aku hanya ingin dia tahu perasaanku serta alasan kenapa dia menghindariku setelah sempat memberikanku harapan akan cintanya, selebihnya aku sudah tidak peduli lagi. Sementara menikmati perasaan lega karena telah berhasil membebaskan cinta yang selama ini tersimpan rapi di hatiku, dia berkata “Maaf, bukannya menghindar tapi lebih pada aku bingung memperlakukan kalian bertiga, Yun, Mia dan Erna”
Bagi saja jawaban itu sudah lebih cukup meski ingin rasanya aku bertanya mengapa hanya aku yang dia abaikan, dia bahkan tetap berusaha dekat dengan Mia dan sering bekomunikasi dengan Erna. Tapi sudahlah, bagiku itu tidak penting. Toh, Erna pun telah menjalin hubungan cinta dengan Roy yang telah lebih dulu menyukai Erna sebelum Wardy bahkan kepada Wardy pun Roy pernah mengatakan rasa tertariknya pada Erna.
Kupikir semuanya berakhir, ternyata aku masih belum cukup kuat untuk melepaskan cintaku pada Wardy. Aku telah mencoba banyak cara, aku bahkan mencoba menjalin hubungan dengan cowok lain, tapi gagal juga. Dua bulan aku menjalani kulih kerja nyata di desa yang terpencil, susah untuk menjalin komunikasi dengannya, kupikir aku berhasil bertahan tanpanya, ternyata lagi-lagi aku salah. Aku gagal menanggalkan cinta di hatiku. Selain kebaikan hatinya, mama dan adiknya adalah salah satu alasan aku selalu pulang ke dalam hatinya, sebab banyak hal yang mereka ketahui tanpa harus aku cerita pada mereka. Kenyataan itu selalu berhasil memupuk perasaan cinta yang selalu ingin kubuang jauh-jauh. Ada sebuah pikiran yang selalu menyadarkanku bahwa ada satu bagian dalam diri Wardy yang tetap menyimpan rasa untukku, sebab jika tidak bagaimana caranya sang mama dan adiknya tahu tentangku jika tidak diceritakan oleh Wardy? Ah, entahlah, aku bahkan menikmati saja pikiran itu sekalipun itu adalah pikiran konyol yang muncul seenaknya dalam otakku.
Waktu terus berjalan, diantara kegagalan-kegagalanku untuk melupakannya aku malah mendapati diriku telah bersahabat baik dengan Erna. Kita berbagi banyak hal, aku memahaminya sebagimana ia pun memahamiku. Aku tutut bahagia sebab ia pun telah berbahagia bersama Roy. Aku mulai belajar lagi memaklumi keadaan cintaku yang tidak kunjung dibalas. Di kelas pun aku berusaha tidak peduli pada Mia, aku masih ingat bagaimana dulu ia berusaha menjauhkanku dari Wardy. Aku mencoba membenci Wardy dengan mengenang hal-hal menyakitkan tentang dirinya, seperti pada sebuah kejadian di mana dia mengatakan bahwa dia sama sekali tidak memiliki niat untuk berpacaran denganku. Aku mengenang kalimat itu sabagai penolakan paling tegas darinya. Aku mengenang kalimat itu sebagai sakit yang lebih dari cukup untuk membencinya meski pun tidak cukup untuk menghilangkan rasa cinta untuknya yang sudah terlanjur betah ada di hati.
Kini Wardy tidak memilih siapa pun antara aku, Mia dan Erna. Dia memilih seorang cewek SMA teman pemuda gerejanya. Aku masih ingat bagaimana sakit hatiku ketika mengetahuinya. Tapi pengalaman membawaku pada sebentuk kedewasaan yang kian matang. Aku belajar menerimanya dengan ikhlas. Meski aku tetap saja tidak berani menatap matanya, sebab Wardy tentulah akan melihat bahwa ada masih ada cinta yang begitu besar di kedalaman mataku untuknya. Mata adalah tempat paling mudah menemukan kejujuran. Di sana tidak ada ruang untuk sekedar mengatakan bahwa aku tidak lagi mencintainya. Di mataku masih dapat ditemukan cinta yang utuh. Cinta milik seorang Wardy,seorang pria istimewa yang berasal dari sebuah gundukan tanah yang tidak terlalu luas, dia seorang pria dari pulau mungil, pulau semau.
Dan kepada Tuhan, aku masih setia menitipkan sebuah doa, “Tuhan, kalau memang dia adalah orang yang kau sediakan untukku, izinkan rasa ini bertahan dan tetap ada. Jika bukan, ambil perasaan ini dan jaga hatiku tetap ada dalam hadiratmu”.

Kupang, Oktober 2014

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TENTANG MENYUKAI SEORANG FRATER

BENTANGAN LANGIT SIANG HARI