(Orang-orang memanggilnya Mboku Ndilu, saya dan cucu-cucunya yang lain memanggilnya Ba'i, sesekali tentu saja kami juga memanggilnya Mboku, tetapi tidak peduli dipanggil dengan sebutan apapun, saya beryukur menjadi salah satu cucunya.) Lima tahun berlalu Ba’i, malam itu bulan dan bintang berdekatan, indah. Waktu itu matahari sedang turun, akan pulang ke peraduannya. Mama menelpon saya dengan suara terisak saat saya sedang ikut mempersiapkan malam pencarian dana untuk pembangunan stasi. “Pulang sudah.” itu saja kalimat yang keluar dari mulut mama di sela tangisnya, lalu telpon mati. Saat itu saya tahu, Ba’i sudah jalan. Perjalanan yang singkat antara lokasi tempat saya berada dengan rumah cukup untuk satu kali mengucapkan doa favorit saya: Salam Maria, sambil mengingat wajah Ba’i. Saya tidak turun dari motor, mama langsung keluar rumah dan duduk dibelakang saya. Untuk pertama kalinya dalam hidup, saya merasa jalanan dari Lolang (Mauliru) menuju Kaburu (Kalu) menjadi sangat jau