Catatan tentang Ba'i (Mboku Ndilu)

(Orang-orang memanggilnya Mboku Ndilu, saya dan cucu-cucunya yang lain memanggilnya Ba'i, sesekali tentu saja kami juga memanggilnya Mboku, tetapi tidak peduli dipanggil dengan sebutan apapun, saya beryukur menjadi salah satu cucunya.)

Lima tahun berlalu Ba’i, malam itu bulan dan bintang berdekatan, indah. 

Waktu itu matahari sedang turun, akan pulang ke peraduannya. Mama menelpon saya dengan suara terisak saat saya sedang ikut mempersiapkan malam pencarian dana untuk pembangunan stasi. “Pulang sudah.” itu saja kalimat yang keluar dari mulut mama di sela tangisnya, lalu telpon mati. Saat itu saya tahu, Ba’i sudah jalan. Perjalanan yang singkat antara lokasi tempat saya berada dengan rumah cukup untuk satu kali mengucapkan doa favorit saya: Salam Maria, sambil mengingat wajah Ba’i. 

Saya tidak turun dari motor, mama langsung keluar rumah dan duduk dibelakang saya. Untuk pertama kalinya dalam hidup, saya merasa jalanan dari Lolang (Mauliru) menuju Kaburu (Kalu) menjadi sangat jauh, padahal jalanan itu sudah saya tempuh bertahun-tahun lamanya sejak saya SMA. Sepanjang jalan yang saya pikirkan adalah menjaga keseimbangan motor karena mama di belakang sudah sangat lemas dan hendak jatuh. Saya bisa rasa bagaimana mama mencengkeram pundak saya dengan sangat kencang dengan sebelah tangannya. Saya berulang memanggil mama untuk terus menarik mama ke alam sadarnya.

Saat rumah nenek sudah terlihat, saya kembali merasa itu jauh sekali untuk dijangkau, rasanya lama sekali saya harus gas motor itu. Hal lain yang saya pikirkan adalah mencari tempat yang tepat untuk menghentikan motor karena saya rasa mama sudah benar-benar lemas. Saya memilih berhenti di tempat biasa Ba’i duduk, ada beberapa om saya di sana. Tepat dugaan saya, begitu saya menurunkan gas untuk berhenti, mama jatuh ke samping dan pingsan. Untungnya tubuh mama diterima dengan baik oleh saudara kandungnya yang langsung menurunkannya dari motor. 

Tangis mama pecah begitu ia tersadar, sesaat saja, lalu hening, mama pingsan lagi. 
Tangis saya juga pecah begitu melihat tubuh Ba’i terbaring kaku. Entah siapa yang menangkap tubuh saya saat saya begitu lemas. 

Hari itu, di langit malam, bulan dan bintang berdekatan. Indah. 

Dulu sekali, ketika masih tinggal di Anakalang, Ba’i sering datang ke rumah. Setiap kali pulang dari sekolah dan mendapati lelaki tua itu sedang duduk di depan rumah, saya akan senang sekali, walau saya tidak bercerita dengan Ba’i. Seperti biasa, saya hanya akan mencium hidung Ba’i lalu menghabiskan waktu dengan bermain. Jika keluarga kami yang liburan ke waingapu, Ba’i akan memenuhi semua permintaan saya untuk makan apa saja. Ada orang jual kue cucur lewat, saya minta beli dan akan dibelikan. Ada snack enak di kios nenek, saya akan dibelikan. Ba’i menjual kain ke pasar saya akan dibawakan daging, sate, soto atau ikan besar. Saat mandi di kali dengan sepupu lain dan sudah sangat lama, suara Ba’i akan terdengar seperti bergemuruh menyuruh kami pulang karena sudah menjelang malam. Jika mama atau bapa marah ke saya karena satu dan lain hal, saya akan dengar Ba’i memarahi mama dan bapak. Saya akan merasa sangat aman di dekat Ba’i. 

Saat saya mendapatkan peringkat di kelas, entah itu juara 1, 2 atau 3, atau saat saya mengikuti lomba (kadang bahkan tidak menang) saya suka sekali memamerkan ke Ba’i. Saya suka lihat Ba’i tertawa dan memuji. Ba’i memang jarang tertawa, ia selalu serius. Seingat saya saat-saat saya memberitahukan prestasi saya adalah saat saya bisa melihat Ba’i tertawa. Pernah sekali ada acara adat dan ia memamerkan saya di keluarga lainnya sebagai cucu yang pintar, saat itu saya senang sekali. 

Saat lain Ba’i tertawa adalah saat saya mengantarkan baju untuknya. Waktu itu saya baru pulang kegiatan di Jogja, saya membelikan kemeja batik untuk Ba’i. Saya antar kemeja itu, memberikan ke Ba’i, lalu ke dapur untuk minta kelapa ke nenek. Saat hendak pamit, Ba’i sudah memakai baju itu, Ba’i tertawa, mengangkat jempol dan bilang “Pas”. 

Saya tertawa, pamit dan mengambil kenangan itu lalu menempatkan ditempat yang sangat baik dalam kepala saya karena ada wajah Ba’i yang tertawa di sana. 

Ba’i suka duduk di kursi kayunya di depar kamarnya. Dulu pernah ada patung yang seukuran tubuh manusia di depan rumah Ba’i. Sulit membayangkan Ba’i tanpa membayangkan Ba’i duduk di kursinya, karena memang di sanalah Ba’i selalu duduk. Kursi itu seperti memang dibuat untuk Ba’i, ditempatkan di sana untuk Ba’i, bukan untuk siapa-siapa. Dari kursi itu sepertinya Ba’i bisa melihat dengan jelas siapa saja yang datang dari jalan raya memasuki kampung Kaburu. 

Lima tahun lalu Ba’i pergi, malam itu bulan dan bintang berdekatan, indah. 

"Mari berjumpa di tulisan selanjutnya Ba’i, saya sedang ingin sekali mengenang Ba'i lewat ingatan tentang Ba'i yang saya pilih dan simpan baik-baik di kepala saya."
Saya tidak sempat membuat status di FB saat itu, sudah terlanjur sedih, untungnya Om Edi mengabadikannya dalam status ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TENTANG MENYUKAI SEORANG FRATER

BENTANGAN LANGIT SIANG HARI