Hal-Hal Yang Saya Tinggalkan Di Sumba Barat.


 
Jendela kantor, tepat di samping kiri saya


Meninggalkan kota Waikabubak sama dengan meninggalkan pekerjaan dan sejumlah aktivitas saya. Saya berhasil mendapatkan kesempatan untuk belajar di New Zealand melalui sebuah beasiswa. Akan saya ceritakan nanti tentang beasiswanya. Dalam tulisan ini saya mau bercerita tentang beberapa hal baik selama saya menetap di Waikabubak yang saya tinggalkan karena ingin memanfaatkan beasiswa tersebut.


1.    Tempat kerja.
Saya resign dari pekerjaan saya dengan alasan yang sama mengapa saya meninggalkan Waikabubak. Saya menerima sebuah beasiswa untuk 6 bulan lamanya dan kantor tidak bisa mengijinkan saya untuk waktu selama itu. Meskipun jabatan saya hendak dinaikkan dan gaji saya sudah naik selama dua bulan terakhir tetapi saya tetap memilih resign. Pekerjaan saya baik adanya, tetapi saya lebih memilih untuk mencoba tantangan baru dan memberikan kesempatan pada diri sendiri untuk menambah isi kepala serta daftar pengalaman saya. Beberapa kawan melontarkan protes pada keputusan saya dan menjadikan saya sebagai manusia paling tolol di muka bumi ini karena meninggalkan pekerjaan saya untuk sesuatu yang ketika pulang nanti saya akan menjadi seseorang yang tidak punya kerjaan. Saya mengabaikan mereka setelah menanggapi protes itu dengan tertawa riang. Saya suka mereka protes tetapi saya tidak suka menjelaskan pada mereka mengapa saya membutuhkan beasiswa ini.
Ketika memutuskan resign dari pekerjaan saya, saya sama sekali tidak khawatir dengan nasib saya enam bulan ke depannya. Entahlah, saya hanya mau mengambil setiap kesempatan yang ada. Tempat kerja saya juga masih terbuka untuk menerima saya.
“Kalau kau pulang dan masih mau kerja di sini, lamar saja. Kau masih sangat bisa diterima disini.” Begitu kata salah satu petinggi kantor. Saat itu saya tertawa, senang, tapi tidak mau menduga saya akan kemana enam bulan yang akan datang nanti.


Salah satu kesibukan di kantor

2.    Tempat tinggal.
Belum lama sejak saya berganti kamar kos, masih dengan pemilik yang sama, hanya saja saya meminta untuk menempati kamar di pojok, menggantikan salah satu kakak yang pulang kampung. Salah satu kawan pun kerap protes karena itu, katanya “Ka Di ini suka sekali di tempat sepi begini. Bikin makin susah berkomunikasi dengan orang lain.”
Salah satu sudut kamar kos
Kalimat itu ada benarnya, posisi kamar yang di sudut dan kos yang mempunyai dua pintu: depan dan belakang, membuat saya makin terkesan terisolasi. Saya sering menutup pintu depan dan membuka pintu belakang. Hal itu membuat saya jarang berkomunikasi dengan penghuni kos lainnya. Saya akan berkomunikasi dengan mereka jika kebetulan pas masuk kos saya melihat mereka di depan dan sekedar menyapa mereka. Lalu masuk kamar. Begitu pun pemilik kos, meski pun sesekali pemilik kos meminta bantuan untuk melakukan sesuatu tetapi kebanyakan komunikasi dengan mereka selalu terjadi dengan alasan pertemuan yang kebetulan atau jika membayar uang kos. Saya bukan seseorang yang mahir memulai percakapan lebih dahulu, beberapa orang bisa menanggapi candaan saya dengan tawa, beberapa lainnya menatap saya dengan bingung. Untuk menghindari kebingungan itulah saya selalu jarang membuka percakapan.
Saya menyukai kos-kosan itu, memberikan saya ruang yang luas untuk menyendiri tanpa perlu merasa sendiri.
Ketika berpamitan untuk pulang ke Waingapu lantaran saya tidak bekerja lagi di Waikabubak, mereka berpesan “Kalau nona Diana kerja di Waikabubak lagi, jangan lupa datang kos di sini lagi. Kalau tidak ada kamar kos yang kosong nanti onadianabisa pakai salah satu kamar di rumah saja asalkna nona diana tinggal di sini.”
Saya senang dengan bentuk perpisahan itu karena saya juga berharap masih bisa tinggal disana nanti.

 
Tempat favorit di kos adalah atap rumah pemilik kos








3.    Kegiatan relawan.
Teman-teman KLBST dan peserta kegiatan
Selama berada di Sumba Barat saya mencoba menemukan beberapa aktivitas weekend. Tidak, buka menemukan tetapi melanjutkan aktivitas yang sudah saya lakukan sejak tahun 2017. Saya tetap beraktivitas di Jaringan Relawan Untuk Kemanusiaan (Jruk) Sumba dan juga Komunitas Literasi Bergerak Sumba Tengah (KLBST).
Di Jruk Sumba, kami melalukan edukasi terkait perdagangan orang dan beberapa  aktivitas lainnya, seperti penyuluhan kesehatan dan bakti sosial serta menjadi perpanjangan tangan untuk sejumlah buku yang dikirimkan dari beberapa kota besar untuk beberapa taman baca di Sumba.
Sementara di KLBST saya mencoba menjadi ‘tukang rusuh’ yang mengganggu ketenangan beraktivitas sekelompok anak muda Sumba Tengah di bidang literasi. Mereka selalu melakukan aktifitas membaca dengan anak-anak di desa-desa dan saya tidak pernah terlibat untuk itu. Yang saya lakukan adalah membuat mereka berani mengadakan diskusi kecil-kecil atau event kecil dengan memanfaakan apa yang ada di desa, tanpa perlu mengkhawatirkan budget (haha mirip kalimat para horang kaya) karena ubi dan pisang rebus jauh lebih nikmat dari kue-kue yang ada dalam kotak. Selembar sarung dari KLBST diberikan pada saya dengan dilengkapi pesan  “Ini sarung, biar kau tahu kalau nanti kau bisa kembali lagi ke sini kalau sudah pulang dari New Zealand.” Saya senang dan tentu saja berjanji akan kembali lagi, saya masih punya banyak PR di situ.
Salah satu kegiatan dengan Jruk Sumba
Tentang kedua komunitas ini, nanti akan saya bahas terpisah, tapi di kedua komunitas ini saya belajar banyak hal dan saya berterima kasih untuk setiap kebersamaan dan terlebih lagi untuk bergelas-gelas kopi yang sudah saya minum baik di rumah anggota komunitas lainnya atau pun selama kegiatan berlangsung.


 
4.      Teman Baik
Dengan Ayu di salah satu pantai di Sumba Barat
Ketika pertama kali datang ke Sumba Barat saya menumpang beberapa hari di rumah Ayu. Dia adalah salah satu teman baik yang saya kenal sejak saya bekerja di Sumba Barat Daya. Saya bukan orang yang mudah berteman dekat dengan siapa saja, ya saya mungkin bisa saja berteman dengan orang tetapi tidak akan menjadi sedekat saya berteman dengan dia. Dia selalu datang ke kos dan membuat kos yang hanya diisi dua perempuan itu menjadi ramai dengan leluconnya yang menyenangkan. Sekalipun kadang leluconnya diulang-ulang, saya akan tetap merasa lucu dan tertawa pada kadar yang sama. Dia selalu mengamuk pada saya untuk dua hal yang sama: setiap kali saya mencari kunci motor saat mau berangkat dan setiap kali dia ingin menggunakan pasta gigi karena dia selalu mengeluarkan pasta gigi dari dasar kemasan sementara saya selalu memencet dari tengah dan membuat sebagian isinya kembali ke dasarnya. Untuk yang pertama, dia selalu menganjurkan saya membuat tempat simpan khusus untuk kunci motor jadi saya tidak perlu heboh mencarinya setiap pagi, saya mengiyakan tetapi tidak pernah membuatnya. Untuk yang kedua saya yang selalu bingung kenapa harus memecet pasta itu dari bawah kalau dari tengah pun pasta giginya tetap keluar.
Begitulah, dia teman yang baik dan dia masih berhutang satu lokasi foto ke saya.

Sumba Barat memang meninggalkan banyak cerita. Saya suka tetapi saya lebih suka pergi untuk mendapatkan pengalaman baru. Semoga nanti saya bisa menetap di Sumba Barat lagi dengan alasan yang entah apa.
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TENTANG MENYUKAI SEORANG FRATER

BENTANGAN LANGIT SIANG HARI