FLAMBOYAN DAN PERCAKAPAN TENTANG BENING
Flamboyan:
Sebuah pohon yang berdiri kokoh dan menjatuhkan kelopak-kelopak merahnya.
Seperti pohon itu saya selalu melihatnya tegak berdiri. Di hadapannya
sehamparan padang sabana terbentang menawarkan gemulai ilalang kecoklatan khas
musim kemarau di pulau ini: Sumba. Rambutnya tidak semerah bocah-bocah
seumurannya yang lain tapi tetap saja terlihat kusam. Ia geraikan rambutnya
begitu saja, ia memang selalu tak peduli pada apa pun.
Sudah
lama saya mengetahui tentang dia tapi baru seminggu saya mengenalnya, lebih
tepatnya berjabatan tangan dan melihat wajahnya. Dia, adik lain bapak dari
saya. Perempuan paruh baya yang sibuk menenun di samping rumah panggung kecil
itu adalah mamanya yang juga mama saya. Bocah cilik ini bernama Ana, nama yang
manis untuk gadis semanis dia.
“Pergilah
menjenguk ibumu. Setidaknya sekali seumur hidupmu kau bertemu dengannya.”
Begitu kata bapak seminggu yang lalu. Mungkin ia sudah bosan dengan
pertanyaan-pertanyaan saya tentang mama. Pernah dulu bapak mengatakan kalau
mama sedang merantau menjadi TKW, namun ketika tahun berlalu dan mama tak
kunjung datang, saya pun tahu bapak menipu saya. Bapak lalu mengubah alasannya,
‘mamamu meninggal ketika melahirkan kau. Bapak tak pernah tega jujur padamu.’
Saya lalu memaksa bapak menunjukkan pusara mama pada saya. Bapak menyerah. Lalu
memberitahukan keberadaan mama. Awalnya saya pikir itu hanyalah cerita lain
bapak, apalagi saya pun tak pernah mendengar nama pulau yang disebutkan bapak:
pulau Sumba. Namun saya mulai percaya ketika bapak memberikan selembar tiket
pada saya.
Saya
tiba di bandara Umbu Mehang Kunda dan dijemput oleh seorang pria yang
memperkenalkan diri sebagai sepupu saya. Pria berkulit hitam legam dengan
otot-otot yang menonjol. Mudah baginya mengenali saya, hanya saya yang yang
berjilbab coklat diantara penumpang pesawat itu.
“Kak”
panggil Ana mengejutkan saya. Ia meraih tangan saya. Saya menuntunnya, tidak,
tepatnya ia menuntun saya kembali ke bawah pohon flamboyan.
“Kok
tahu saya datang.”
“Wangi
parfum kakak.” Dia tersenyum
Saya
pun tersenyum.
Beberapa
hari lalu saya mengetahui sesuatu tentang pohon ini. Pohon ini ada namanya.
Namanya: Prim. Konon ada kucing ana yang dikuburkan disini, kucing itu bernama
Prim. Angin disini kencang sekali. Sesekali terdengar desaunya yang berisik.
Syukurlah saya mengenakan jilbab, angin tidak merusak rambut saya. Tidak
seperti rambut Ana yang berantakan namun ia tak peduli.
“Besok
kakak pulang?”
“Ya.”
“Kapan
kembali lagi?”
“Entahlah.”
“Tapi
akan kembalikan?” dia mendesak saya. Tangannya makin erat meremas jemari saya.
“Entahlah.”
Dia
diam. Cemberut.
“Hei”
saya colek pipinya. Dia menoleh “Saya akan sering-sering ke sini.”
Dia
tertawa lalu mengangguk gembira. Syukurlah ia tidak meminta untuk berjanji.
Saya selalu takut pada janji.
“Ana
tidak boleh lupakan kakak ya.” Saya sedikit memohon padanya. Sambil ikut
memandang ke depan. Saya tidak tau apa yang disukai Ana di depan sana. Hanya
ada hamparan padang rumput yang melambai, gerombolan kuda yang asik merumput,
beberapa pohon yag menghijau dan sekumpulan jejeran bukit.
Saya
menoleh pada Ana dan ia terlihat menganggukkan kepalanya. Saya lalu memeluknya.
Ah adik saya ini.
“Kakak
menangis?”
Saya
diam dan memeluknya makin erat.
“Kenapa
kakak menangis?”
Saya
masih diam. Lalu menyadari satu hal.
“Eh?
Ana juga menangis? Kenapa?”
“Ana
takut.”
“Takut
pada apa?”
“Takut
kakak tidak kembali lagi.”
Saya
pura-pura terkekeh sambil menghapus air mata saya. “kita pasti akan bertemu
lagi.”
Saya
dan Ana kembali terdiam. Hanya ada angin yang melintasi kami.
Meski
baru beberapa hari bertemu dengannya saya sudah jatuh hati pada bocah ini, Ana.
Ana benar-benar gadis yang ceria dan selalu tertawa. Dia tidak banyak bertanya
tentang kehadiran saya di rumah panggung sederhana milik mereka. Dia menerima
saya tanpa syarat apa pun. Lapang di dadanya seluas sabana untuk saya jelajahi,
nyaman. Hatinya segemulai ilalang, menenangkan. Kehadiran saya benar-benar
tidak menggangu rutinitasnya. Ia bercerita banyak hal pada saya, ia
menananyakan banyak hal pada saya. Pernah ia bertanya ‘kak, mengapa ada air
mata keluar dari mata saya, padahal saya tidak memiliki mata?’ waktu itu saya
sempat terkejut namun tetap menjawab saya mengatakan bahwa walau pun tidak mempunyai
mata tapi tetap saja ada kelenjar air mata. Dari situlah air mata berasal. Dia
mengangguk waktu aku menjawab seperti itu, entalah ia mengerti atau tidak. Ana
memang terlahir tanpa penglihatan. Tidak pernah sekali pun ia melihat dunia
dengan bola matanya sendiri.
“Kak.”
Panggil Ana mengejutkanku.
“Ada
apa?”
“Kak,
air mata ini berwarna apa?” dia menoleh padaku sementara tangan kirinya tetap
menggenggam tanganku. Kulihat tangan kanannya menyentuh pipinya, mengusap air
mata itu.
“Bening.”
“Bening?
Lebih indah dari flamboyan?”
“Warnanya
berbeda dari flamboyan.”
“Ehhhh
warnanya hitam?” dia terlihat seperti mengamati tangan yang dia gunakan untuk
mengusap air matanya. Saya tidak lagi bersandar di pohon flamboyan dan memilih
duduk. Saya membalik tubuhnya menghadap ke arah saya.
“Kenapa
Ana mengatakan hitam?”
“Saya
pernah bertanya warna flamboyan pada mama. Mama mengatakan bahwa warnanya
berbeda dengan seperti yang saya lihat setiap saat. Bukan hitam kata mama. Jadi
jika air mata ini tidak berwarna seperti flamboyan, apakah bening itu sama
dengan hitam?”
Saya
memeluk singkat gadis di hadapan saya ini. Lalu mengelus kepalanya. Saya duduk
bersila dan menarik Ana duduk di pangkuan.
“Eh
jadi air mata ini juga hitam kak?” desaknya
“Tidak
Ana. Tidak ada warnanya.”
“Tidak
ada warna?” Ana terkejut dan membalikkan badannya menghadap saya seolah dengan
begitu ia bisa menelusuri kebenaran kata-kata saya.
“Ya.”
Ana
terdiam lagi. sepertinya ia bingung mau mengatakan apa.
“Kak,”panggilnya,
suaranya terdengar ragu “Kak seperti apa yang tidak berwarna itu?”
“Seperti,,,,
seperti,,,,” saya kebingungan.
“Seperti
apa kak?” lagi-lagi ia menoleh pada saya. Ekspresi wajahnya seakan menuntut
saya agar segera menjawabnya.
“Kak”
bibirnya bergetar “Seperti apa? Dia mulai menangis lagi.
“Bening
itu seperti....” saya bingung. Ana bangkit dari pangkuan saya, lalu berdiri
dihadapan saya. Saya mulai terlihat gugup meski pun itu tidak tampak oleh Ana.
Dalam
kebingungan ini, teriakan mama yang memanggil kami untuk segera makan pun
menyelamatkan saya. saya menggandeng tangan Ana, lalu menuntunnya ke rumah.
................................................................
Sejak
percakapan tentang bening itu, kak Irma tidak pernah kembali lagi. dia
menghilang begitu saja. Mama pun enggan membahasnya. Tapi saya menunggunya.
Tentu saja di bawah pohon flamboyan dengan angin yang tak pernah diam.
Suatu
hari mama memberikanku selembar tiket lalu berkata “Setidaknya sekali seumur
hidupmu kau mengunjunginya.”
Saya
pun pergi ke alamat yang sudah diberitahu mama. Dijemput seorang laki-laki yang
entah bagaimana, mengenali saya dengan mudah. Dia membawa saya ke tempat yang
tidak pernah saya duga. Ke sebuah pusara. Saya lalu mengerti mengapa hanya
dengan sekilas melihat dan bertatapan lelaki tua ini mengenali saya, karena di
paras saya dia menemukan mama, dan di kedalaman mata saya dia menemukan kak
Irma.
Saya
sedang terisak di sisi pusara kak Irma ketika pria itu menyentuh pundak saya
dan berkata “Anakku menitipkan pesan, maaf tidak bisa menjelaskan bening
padamu. Tapi dia berharap dengan memberikan matanya pada adiknya, kau bisa
melihat lebih dari sebuah kebeningan. Kau harus melihat warna-warna lainnya dan
memahaminya sebagai kehidupan yang indah dan patut kau syukuri. Dengan binar
mata itu, tunjukkanlah pada Irma bahwa kau bahagia.”
Saya
makin terisak. Dan pria yang sering diceritakan kak Irma sebagai bapaknya ini
pun berjalan menuju sebuah pohon dan bersandar di sana. Sebuah pohon yang
berdiri kokoh dan menjatuhkan kelopak-kelopak merahnya: flamboyan.
Mauliru,
2016.
*dimuat
di jurnal sastra Santarang
*rindu
terbitkan catatan lagi
*setelah
diedit kecil-kecilan hehehehe :P
Komentar
Posting Komentar