TENTANG PERAYAAN (SEBUAH KENANGAN)
Santi Taena dan
Patricia Djerabat adalah dua diantara sekian banyak teman saya yang memiliki
kualitas keganjilan di atas rata-rata. Keganjilan saya agak selevel di bawah
mereka (hehehe) karena itulah saya suka menuliskan tentang ini.
Hampir dua
tahun lalu Santi pernah punya ide cemerlang untuk mengundang saya dan Patricia
Djerabat yang selanjutnya saya sebut Jeje (abaikan riwayat nama itu)untuk
sekedar nongkrong di sebuah tempat nongkrong di kupang. Tempat itu biasanya di
penuhi oleh manusia berbagai jenis pekerjaan bahkan juga yang belum memiliki
pekerjaan, jenis kelamin bahkan yang belum memiliki kelamin (eehhh??? Bercanda
bercanda hehehehe) , segala jenis usia dan jenis-jenis lainnya, pokoknya
komplit. Banyak orang datang kesitu untuk menikmati sunset sambil mengkonsumsi makanan dan minuman yang tersedia dengan
menggoda di sana, seperti bakso, jagung bakar, pisang bakar dll. Ada yang pergi
bersama pacar, bersama istri atahu suami, bersama anak, bersama selingkuhan
(semoga pacar saya tidak ke sana dengan selingkuhannya hehehe), dan bersama
sahabat. Nah kami bertiga masuk dalam kebersamaan yang terakhir: bersama
sahabat. Eh hampir lupa, tempat itu namanya Tedis. Bagi yang sudah setahun di kupang
dan belum tahu tempat yang namanya tedis: mari berkenalan, sapa tahu nanti saya
bisa antar kesana lalu dapat traktiran jagung bakar hahahaha.
Kembali ke perayaan
itu, Setelah sms yang menyuruh saya dan Jeje menuju tedis oleh si Santi, kami
lalu bertemu dengan di awali cengiran
khas mahasiswa tingkat akhir yang punya kegalauan akut. Kami bertiga kompak
memesan jagung bakar dan pop ice. Pembayarannya dilakukan oleh si pengundang dan
ini aturan yang terjadi secara alami dan perdana pada saat itu juga. Kami lalu
duduk-duduk dan berusaha berkonsentrasi pada makanan dan minuman itu.
Layaknya tiga
cewek yang berkumpul atas nama persahabatan maka tidak ada ruang untuk diam.
Kami benar-benar memanfaatkan mulut kami dengan semestinya meski untuk membicarakan
dan menertawakan hal-hal yang tidak semestinya. Contohnya alasan perayaan kami.
Entah apa
standar sesuatu yang disebut perayaan itu kami sendiri tidak tahu, yang kami
tahu saat itu kami merayakan sesuatu. Apa yang kita rayakan? Nah ini yang
membuat teman saya khususnya Santi menjadi penghuni teratas tempat yang di
sebut ‘manusia aneh’ diikuti oleh Jeje yang merasa perayaan seperti itu
menyenangkan dan saya yang menyepakati pendapat mereka. tentang apa yang kami
rayakan ini kami yakin sebagian orang mungkin akan ‘merayakan’ dengan cara
menangis dalam kamar, atau melempar barang kesukaan hingga berantakan bahkan
terjun bebas dari jembatan liliba yang terlihat menggoda (astaga, semoga tidak
ada yang begitu!). Sore itu kami memang merayakn sesuatu yang lumrah terjadi
terhadap cewek-cewek seusia kami, yakni putus dengan seorang pacar yang disayangi.
Perayaan itu
terjadi tanpa ritual apa pun, tanpa gegap gempita dan hingar bingar music
(hanya ada suara debur ombak), tanpa sanak keluarga meski banyak orang berkeliaran
tanpa menganggap kami ada. Entahlah mungkin karena kami juga membuat dunia kami
sendiri di tengah keramaian itu jadi kehadiran kami bertiga diabaikan padahal
kami sudah cukup gaduh dengan tertawaan kami,,, ehhh??? Tertawa???? Bukannya
putus??? Nah inilah letak keganjilan kami atau lebih tepatnya sang pemilik
perayaan. Oleh dia kami berdua dibuat tertawa dengan cerita-ceritanya tentang
banyak hal. Entah kenapa sore itu selera humor kami membuat kami tidak bisa
bedakan mana hal yang pantas ditertawakan dan mana yang tidak, semuanya kami
tertawakan. Bahkan putus cinta pun jadi bahan tertawaan kami yang menyenangkan.
Dan percayalah, kalian perlu melakukannya suatu saat nanti. Ini penting dan
bisa membantu kalian tetap berpikir normal meski dengan tindakan yang (agak)
ganjil.
Selain
bercerita, tertawa, makan dan minum, kami bertiga (lebih tepatnya mereka
berdua) melakukan foto bersama hahahaha. Saya (dikorbankan) jadi tukang fotonya
karena diyakini Sebagai seseorang yang
memiliki pengetahuan dan praktek yang rendah soal ‘bergaya di depan
kamera’. Sesi pemotretan berlangusng tidak kalah heboh dengan tertawa dan
makan. Sama-sama gaduh. Dengan latar langit senja (latar terbaik yang membuat
objek apa saja jadi cantik) saya membidik mereka dalam berbagai pose. Dan semua
fotonya (menurut pengakuan mereka) bagus. Saya percaya, pengakuan itu lebih
tepatnya permintaan untuk terus foto mereka hahaha. Hari yang mulai gelap
membuat kami mengakhiri proses foto-foto itu (kadang saya heran, kok mereka dua
bisa punya banyak referensi bergaya di depan kamera).
Hari sudah
gelap, kami lalu memutuskan untuk pulang, tentu saja setelah berjanji untuk
melakukan perayaan selanjutnya jika ada kejadian serupa lagi. Dan sekarang,
satu tahun lebih telah berlalu dan kami bertiga tidak lagi melakukan perayaan
itu. yang lebih buruk adalah kami bertiga sekarang mengabdi di tiga pulau
berbeda. Santi di timor (kefa), Jeje di flores (manggarai timur) dan saya di
sumba (Waingapu). Jika bertemu lagi nanti, saya ingin bertemu mereka dalam
sebuah perayaan besar dan normal, tentu saja bukan merayakan putus cinta tapi
merayakan sebuah pernikahan.
Untuk mereka
berdua: Selamat menjalankan masa-masa pengabdian sambil mencari jodoh, saya
masih setia menunggu traktiran. Sampai jumpa lagi nanti.
Salam:
Dari teman kalian yang paling ‘anggun dan mempesona’
hahahaha
Mauliru, 2016.
Ini
beberapa foto-foto mereka waktu itu (NASIB JADI TUKANG FOTO: MUKA TIDAK ADA HAHAHA) :
Komentar
Posting Komentar