LUKA


 


Kau, entahlah. Aku merasa kau begitu memprihatinkan. Sangat amat. Kau seperti hidup sebatang kara. Kini tidak ada pilihan yang harus kau pilih kecuali menerima akibat pilihanmu dulu. Kau hanya perlu menjalani apa yang tersisa dari hal yang kau sebut harapan dan cinta. Yang dulu begitu kau agungkan. Kebanggaan tiada tara kau pertontonkan dalam senyum ceriamu saat namamu yang bersanding dengan namanya menduduki tempat termanis di lidah kami. Para perempuan yang haus gosip. Para sahabatmu yang ingin melihat kau bahagia. Tapi mengapa harus kau yang terluka? Itu tidak adil, benarkan?

Kau seperti sajak tanpa judul, bahkan sajak itu belum usai. Tak bernama dan tak berakhir. Tapi ada isinya. Seonggok kebohongan yang baru kau sadari sekarang. Sajakmu ganjil. Terlalu indah untuk sebuah kisah, kata-katamu aduhai, seolah tak pernah ada cacat dalam kata. Semuanya sempurna. Tapi sayang, kau lupa sesuatu. Kau lupa ada yang namanya kebohongan. Sebuah kata yang kini kau caci maki dalam hati dan pikiranmu. Yang kini membuat kau seperti orang bodoh yang lupa bagaimana merasakan keindahan itu sendiri.
Puisimu hambar. Padahal sudah kau ramu dengan segala rasa yang kau miliki. Hingga saat kau kecap hanya terasa cinta yang manis dan gurih. Lalu ketika senja menua, kau merasa ada yang kurang. Ketika ingin melengkapi bumbu cintamu, tiba-tiba saja kau merasa aneh dengan menu cintamu. Ada yang salah, seperti tak sesuai moment.
Kau sedang menulis sajakmu ketika sang tokoh utama sajakmu menyakitimu. Kau begitu terpukul. Terhempas terlalu jauh dan hancur berkeping-keping. Terbanting keras di jalanan dan melata penuh penuh belas kasihan. Hingga kau kehilangan kata. Kau merasa sedang menuliskan sebentuk kebohongan besar. Dan kini dengan segala kemampuan yang kau miliki kau sedang menikmati sajakmu sendiri bersama rima dan intonasi menyedihkan. Dalam keheningan malam kau membaca puisi karanganmu. Kau nikmati kata-katamu sendiri yang sarat kebohongan, yang kau tulis dengan rasa paling jujur yang pernah kau miliki.
Betapa menyedihkan rupamu yang bermandikan air mata. Dalam kegelapan tergelap sekalipun aku masih bisa merasakan kesedihan yang kau sembunyikan. Getar-getar suaramu terdengar jelas, membawa kesedihan yang kau rasakan. Bahkan dalam sepi malam sekalipun, tangismu tetap riuh.
















..................................................
 
Hei, kini kau seperti lembaran kertas yang terbang entah kemana. Hujan akan membasahi kisahmu di lembaran itu, yang lalu akan hancur dan sajakmu jadi tak berbentuk. Mentari akan membakarnya, menjadikannya puing-puing gosong yang tak lagi terbaca. Hanya hitam yang ada. Seperti pekat malam ini. Tak ada bintang di langit kita. Sempatkah kau menengadah?
Lalu, tak inginkah kau mendarat? Di tanah? Di pepohonan? Di taman? Takutkah kau tak ada tempat untukmu? Atau masihkah kebohongan itu menyingkirkan keyakinan yang dulu pernah ada?
“Kak, aku harus bagaimana?” begitu tanyamu ditengah gelap meraja bumi, semoga hatimu tidak di rajai gelap.
“Kau benci mereka?”
“Tidak, entahlah, yang kusesalkan kenapa baru sekarang? Saat aku yang maju, bukankah dulu cewek itu sudah pernah mundur saat menolak untuk menerima cintanya? Mengapa saat aku belajar untuk melangkah dia malah menuntunku ke jalan buntu? Seharusnya dia tahu tujuanku, ataukah dia yang buta? Aku menjauhi cinta lain yang datang padaku hanya untuk menuju padanya.”
“Bisakah kau tersenyum di depan mereka?”
“Tersenyum? Mereka? Entahlah, kuusahakan untuk tersenyum. Tapi, bukankah memang seharusnya begitu? Ataukah aku punya pilihan lain? Keadaan membuatku tak bisa berbuat apa-apa”
Getar-getar suaramu terlalu jelas kudengar. Kupegang pundakmu, aku tak tahu kenapa aku melakukan itu. Kau memang tak terisak, tapi sempat kutangkap sebening aliran dari matamu yang cepat-cepat kau usap. Aku ingin bilang agar kau menangis jika ingin, tapi sejauh ini aku sadar, kau gadis yang cukup kuat dan mungkin aku bukan tempat yang tepat untuk itu. Tak apa, setidaknya saat kita masih betah bersama gelap ini, kuharap ada yang bisa kulakukan untukmu meski sekedar menjawab pertanyaanmu dengan jawaban yang mungkin benar mungkin juga salah. Ah aku pun tak tahu.
“Kau memang harus seperti itu, tapi bukan karena kau tak punya pilihan. Hei,  apa kau tahu betapa berharganya senyummu di saat seperti ini? Tidak ada yang salah dengan keadaan.”
“Tidak ada yang salah? Kak, semua sedang salah saat ini. Dan mungkin kesalahan terbesar ada pada diriku. Di kampus aku sekelas dengan cowok itu, di asrama kita ini aku sekamar dengan ceweknya. Kak, bagaimana caraku menuju ke dua tempat itu dengan hati yang damai? Aku tak bisa menghindar, kampus adalah tempat yang pasti kudatangi, tujuan kehidupanku di sini, asrama adalah tempat yang lebih dari sekedar untuk pulang, tempat untuk hidup, lalu bagaimana caraku melalui hari-hari. Aku seperti prajurit yang baru sadar kalau aku lupa membawa senjata saat perang sudah di depan mata.”
Kau betul. Posisimu terlalu memberatkan langkahmu. Dia yang memberimu harapan adalah teman sekelasmu. Dan dia yang sekamar denganmu adalah yang telah menghancurkan harapanmu tanpa kau sadari. Tanpa sebuah petunjuk, tiba-tiba saja kau sampai pada sebuah jalan buntu.  Berada di kedua tempat itu adalah hal yang sudah pasti buatmu. Seperti dengan penuh kesadaran kau menuju tempat untuk melukai hatimu. Tidak ada tawaran lain. Aku tak bisa menyuruhmu menghentikan kuliah, atau jangan memasuki kamar itu, karena itu adalah hal paling bodoh yang terpikirkan.
“Hadapi kenyaataan itu.”
“Jika itu satu-satunya cara yang kakak pikirkan maka satu-satunya kelemahanku adalah aku tak punya kekuatan untuk itu. Aku punya banyak senyum kak, tapi tak bisa kuberikan pada semua hal. Berat kak, berat.”
“Terkadang tidak ada salahnya kita pura-pura kuat.”
“Membuat seolah-olah semuanya baik-baik saja? Tidakkah itu munafik.”
“Tidak, itu adalah cara kau menjadi kuat.”
“Tapi...”
“Berpura-pulah kau menjadi kuat dan tegar Ina, hingga kau lupa bahwa kau sedang pura-pura. Lanjutkan hidupmu, waktu tidak berhenti hanya karena kau terluka. Waktu akan mengajarkan bagaimana kau mengobati lukamu. Terkadang air mata yang melambangkan kerapuhan bisa menjadi awal kekuatan. Menangislah jika kau ingin menangis, menangislah sampai kau membenci air matamu, hingga kau sadar betapa sakralnya air matamu untuk sebuah luka.”
Kau terdiam. Aku juga. Kau terisak. Aku masih diam. Membiarkan kau menikmati air mata yang sarat penyesalan. Aku berusaha mencari kalimat penghiburan yang tepat dalam kamus gelap namun tak ada apapun yang terbaca. Ingin rasanya kukoyak saja langit malam ini agar bisa kutemukan sebuah bintang yang bisa menerangimu. Sebut saja itu hadiah dariku untukmu. Namun tak bisa. Maka aku hanya bisa diam.
Bagimu mungkin pengorbanan yang sudah kau lakukakn selama ini adalah syair terbodoh yang pernah kau tuliskan dalam lembaran kisahmu. Senja-senja menjadi penghias kata. Hujan menjadi moment paling suci untuk mengenangnya. Kau menjadikan setiap waktu adalah senyum. Dan kini, kau terisak bersama perih yang kau rasakan.
Lalu saat terdiam itulah, mataku lalu menangkap sebuah tatapan, ada keteduhan di sana. Sebuah kerinduan cinta yang lain. Bersinar di balik kegelapan. Menawarkan perlindungan ternyaman yang terpercaya, dahulu, kini dan selamanya. Penantian panjang yang tidak pernah melelahkan. Bukti cinta yang paling nyata meski kadang terabaikan. Guru terbaik untuk tetap mencintai meski terluka berulang kali. Pengajaran sempurna tentang cinta yang utuh. Senyum hangat yang mendamaikan. Tangan yang tak pernah lelah terulur sejak 24 tahun berdirinya asrama kita. Kehangatan yang begitu merangkul dari dalam gua itu terpancar begitu jelas. Seperti mendengar sebuah lagu yang dikirim dari surga. Ibu yang di antara segala ibu. Perempuan yang penuh cinta. Wanita berhati suci.
Kau masih juga terisak ketika sudah kusadari ada tempat untukmu pergi, bukan untuk berlari bersama lukamu, tapi untuk mendapatkan apa yang butuhkan. Kekuatan untuk melewati semua ini.
“Hei Ina, maukah kau berdoa? Lihat, Bunda Maria seperti memanggil kita”
Kau mengangkat wajahmu dan mendapati senyum yang yang sama seperti yang kulihat. Keteduhan yang bisa mendamaikanmu, tenang yang menghangatkan.
Kau lalu menatapku, tersenyum dan mengangguk.
Adik, bukankah selalu ada tempat untuk kita pergi?



STELLA MARIS, 2013
Untuk: seorang adik, kita pernah bernaung di tempat yang sama.

(pernah di publikasikan di harian Pos Kupang edisi Minggu, 17 November 2013)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TENTANG MENYUKAI SEORANG FRATER

BENTANGAN LANGIT SIANG HARI