DI PERSIMPANGAN
Suatu
saat ketika hari masih siang, aku dan kau tiba di sebuah persimpangan jalan.
Kita sama-sama berhenti, sama-sama menikmati titik itu dan sama-sama berpikir
kemana kita akan melangkah bersama. Sejenak kita berdebat sebab dihadapan kita
terbentang arah yang tidak sama tujuannya. Kusebut saja itu angin dan hujan.
Dan kau ingin ke arah angin yang tidak ingin kulalui. Katamu, angin itu sejuk,
kita akan nyaman di sana, kelak kita tidak perlu repot untuk pergi sebab kita
akan diterbangkannya. Aku membantah, mungkin angin akan membawa kita ketempat
yang tidak pernah kita tahu.
Kita tersesat lalu tidak akan pernah temukan jalan untuk pulang. Namun kau
masih tetap ingin pergi.
“Bukankah
itu bagus?” tanyamu, lalu kau melanjutkan “Kita akan tiba pada tempat yang
baru, suasana yang baru, dan dunia yang baru, yang tidak pernah bisa kita
tebak.”
Lalu
aku berkata “Tidakkah kau juga ingin pulang suatu saat nanti? Kembali ke tempat
kita dilahirkan? Di sabana? Di perbukitan? Tidakkah kau masih ingin mendengar
ringkikan kuda? Bukankah kau masih ingin mencium aroma debu kita? Bagaimana
jika kita tidak akan pernah bisa pulang lagi?”
Kau
terdiam, tidak satu pun dari tebaran pertanyaanku kau jawab. Dan seperti
biasanya, kaupun melangkah pergi.
Selangkah
demi selangkah.
Di
belakangmu aku turut memperhatikan angin yang berhembus lembut di sekujurmu.
Rambut dan kemeja yang tidak kau kancingkan nampak bergoyang lembut seirama
angin. Debu beterbangan mengiringi langkahmu yang tetap terayun. Tidak berhenti
sedetik pun. Tidak sekalipun kau menoleh padaku. Tidak ada lambaian untukku.
Tidak ada tolehan untukku. Aku tahu, kau tidak melakukan itu karena kau
berharap aku menjejakimu. Kau berharap aku berlari mengejarmu. Meraih tanganmu
dan merangkulmu dari belakang. Namun, aku tidak melakukannya.
Aku
masih tetap terdiam.
Aku
tidak mengejarmu bukan karena aku takut pada angin yang mungkin tidak membuatku
pulang. Tidak. Toh, pada saatnya nanti jika aku berdoa pada sang Tuhan, aku
tetap akan di antarnya pulang ke tempat di mana aku selalu ingin pulang. Aku
tidak mengejarmu bukan lantaran mendadak cintaku raib. Tidak. Cintaku masih
utuh padamu.
Aku
tidak mengejarmu karena aku sudah terlampau lelah mengejarmu. Sekali saja, aku
ingin kau yang berhenti dari jalanmu dan pergi ke tempat yang kuiginkan. Sekali
saja, aku ingin kau setuju denganku untuk tidak menuju angin. Sekali saja, kau
mendengar kisahku di jalan yang kuinginkan seperti aku yang senantiasa setia mendengar
semua yang keluar dari bibirmu. Sekali saja kau berkata ‘Baiklah’ saat aku
berkata ‘Jangan kesana’. Dan sekarang, aku berharap, sekali saja, ada keajaiban
yang membuat kau berhenti. Lalu membalikkan tubuhmu, lalu berlari mendapatiku
dan merangkulku, lalu berkata, “Mari kita kearah hujan dan ceritakan padaku
bagaimana kau mencintai hujan yang selalu berisik di atap rumah?”
Tapi
kau terus berjalan.
Dan
air mataku pun luruh.
Doa-doaku
berserakan di langit, kualamatkan semua doaku ke atas, sebab yang kutahu di sanalah Dia
berdiam. Aku mengatup tanganku rapat-rapat. Aku diam sesenyap yang kubisa. Dan
Tuhan tidak kunjung mengamini doaku.
Dalam
kabur pandangku karena air mata yang tidak berhenti aku masih bisa melihatmu.
Kian jauh dan mengecil dalam area pandangku.
Tiba-tiba
langkahku bergerak. Aku melaju ke arahmu. Mendadak aku rindu aroma tubuhmu dan
suaramu yang memanggil namaku. Aku tiba-tiba takut kehilanganmu. Sebagian
diriku masih belum rela melepaskanmu. Aku berteriak berulang-ulang kali
memanggil namamu. Berulang kali hingga aku benar-banar lelah.
Aku
berhenti, menunduk, kembali mengumpulkan kekuatanku yang nyaris hilang dan
ketika aku mengarahkan pandangan ke depan aku telah kehilangan jejakmu. Kau
pergi. Benar-benar pergi. Tanpa diriku. Meninggalkan diriku.
Aku
yakin jika aku terus mengejarmu aku akan tiba padamu. Aku percaya, jika aku tak
berhenti di sini suatu saat nanti, entah kapan aku akan mendapatimu. Seperti
biasanya aku akan mencarimu dan kembali menemukanmu. Lalu kita akan bersama
lagi. Seperti biasanya.
Tapi
tidak. Aku tidak akan lagi mengejarmu. Aku telah benar-benar lelah. Kehilangan jejakmu
mungkin pertanda bahwa ada yang bisa kulakukan selain mengejarmu. Tahukah kau,
ketika aku berbalik aku masih melihat titik di mana terakhir aku mendengar
suaramu yang selalu tidak pernah menyetujui setiap perkataanku dan aku sadar,
belum terlambat bagiku untuk berbalik dan mengambil jalan yang lain. Jalan yang
kuinginkan.
Tiba-tiba
aku berpikir bahwa tidak ada salahnya aku berhenti sejenak dari jalan yang
sedang kulalui. Bukan karena enggan untuk terus melangkah namun untuk sekedar
melihat seberapa yakin aku pada diriku dan pada jalan yang sedang kulalui. Aku
menemukan bahwa ada jalan lain yang bisa membuatku bahagia. Jalan yang bisa
membuatku menjadi diriku sendiri.
Maka
kupilih untuk berlari meninggalkanmu dan menuju sebuah lintasan yang selalu
basah oleh hujan setelah mentari lelah bersinar. Inilah yang kumaksudkan padamu
tentang diriku. Bahagiaku. Hujanku.
Aku
sadar selama ini aku terlalu sibuk mencintaimu yang selalu pergi terbawa angin,
aku selalu sibuk mencari tempat di mana angin melepasmu dengan pasrah hingga
aku lupa bertanya “Apakah kau juga mencintaiku?”.
Kini
aku memilih untuk tetap mencintai hujan. Dan meski kau mengajakku untuk mengikuti
takdir sang angin aku tetap akan menolak. Walaupun baru sekali ini aku
melakukannya, bahkan dengan mempertaruhkan kebersamaan kita.
Tapi
percayalah, memilih untuk berhenti mengejarmu tidak membuatku berhenti
mencintaimu. Kau tetaplah yang kucintai, entah sampai kapan. Ketahuilah di
jalan yang kupilih ini aku memilih untuk tidak ditemani siapa pun. Tidak dia
atau siapa pun. Aku sendirian. Setiap liku, setiap tanjakan, setiap batu yang
menghadang, setiap langkahku aku seorang diri. Selalu sendiri seraya berharap
ada keajaiban yang membuat kita bertemu lagi, dan kalau pun bukan kita, mungkin
anak-anak kita nanti. Sebab mungkin jalan yang kita tempuh akan memiliki banyak
cabang dan kita akan kehabisan waktu dalam perjalanan kita. Jika itu terjadi,
biarkan anak-anak kita yang menjelma angin yang lembut dan hujan yang pasrah
lalu bertemu di suatu musim yang penuh cinta.
Tak
apa jika kita tidak akan bersatu lagi. Mungkin masing-masing dari kita belum
yakin bahwa mencintai adalah saling memahami. Mungkin perjalanan kita hanya
sebatas untuk mengerti bahwa untuk bisa bersatu selamanya setiap manusia harus
saling merendah dan mengerti satu sama lainnya. Kelak kita akan ajarkan itu
pada anak-anak kita.
Mungkin
lebih baik kalau kita berada dalam lintasan yang berbeda bahkan jika mungkin
kita harus berada dalam jarak yang jauh, sebab jika kita saling bertemu dengan
segala ketidakpahaman kita akan cinta, mungkin kita akan sama-sama murka
seumpama badai dalam angin dan hujan yang dahsyat dan menghancurkan.
Maka
pergilah, aku melepasmu dengan iklas di bawa angin, kelak jika kau tiba pada
suatu malam yang penuh bintang, sempatkan dirimu untuk menyebut sebuah doa,
bukan sekedar untukku, bukan pula untukmu, namun untuk kita agar Tuhan tidak
membuat kita tersesat atau menemukan jalan buntu.
Bukankah
lebih baik jika kita sama-sama bahagia di mana pun tempat kita ditakdirkan?
Kupang , 27 Januari
2014.
Komentar
Posting Komentar