3 DETIK PERTAMA (kombinasi antara percakapan nyata dan dunia khayalku)





“Kejujuran itu nampak pada 3 detik pertama,,,,,,,,,”  

Hujan mengguyur membasahi malam. Sepi meraja dalam dingin. Di luar sana senyap. Tapi tidak disini, dalam aula Hit Bia ini. Aula yang letaknya cukup membingungkan ini, kini tampak ramai. padahal di luar sana semua makhluk mulai terlelap, kecuali serangga malam dan kelelawar tentunya.
Sekelompok mahasiswa yang mengaku kaum intelektual sedang beradu argumen. Mengkritik, mengajukan saran dan berbagai istilah lain membanjiri aula itu. Kata sepakat dan sah menjadi kata yang paling mendominasi. RUA (RAPAT UMUM ANGGOTA) sedang berlangsung. Semuanya berlomba ingin mengambil bagian, menuntut apa yang menjadi hak setiap anggota untuk berbicara dan memilih. Pesta demokrasi dalam organisasi sekaligus keluarga kami.
Senang rasanya melihat dan merasakan kebersamaan yang ada. Adik-adik semester dua, teman-teman semester empat, kakak-kakak semester enam, delapan dan seterusnya memenuhi ruangan, bahkan tampak juga beberapa kakak yang telah meraih gelar SKM, sungguh membanggakan melihat sebentuk kebersamaan yang terajut dalam kasih yang sederhana. kakak yang menyayangi adik dan adik yang menghormati kakak, aku menemukan dalam organisasi yang menjunjung tinggi nilai kekeluargaan ini. Suatu kebanggaan tersendiri dan terbesar buatku karena menjadi bagian dari semua kebersamaan itu. Kebersamaan dalam keluarga mahasiswa katolik (KMK) St. Thomas Aqunas FKM UNDANA.
Malam kian larut. Hujan masih enggan untuk berhenti. Tetapi suasana dalam aula itu tetap hidup meski sinar mata beberapa anggota rapat lainnya mulai redup. Pandangan mulai renta di lewati waktu.
Sepasang mataku juga adalah pemilik sinar yang redup. Namun aku harus bertahan, berusaha menjadi petarung tangguh untuk kegiatan ini. Aku tak mungkin memadamkan sinar mataku, aku harus memastikan bahwa semuanya baik-baik saja. sebagai ketua panitia itu adalah tantangan untukku, dan aku telah menerima tantangan itu.
Malam masih menemani kami. Aku berusaha mengawasi suasana dalam ruanagn itu. Untunglah sejauh ini semuanya berjalan lancar tanpa kendala yang berarti. 
Aku menghampiri seorang kakak   yang tersenyum menyambut kedatanganku.
“Kakak ini asik ade, orangnya dewasa, ramah, rendah hati, welcome dan pintar berfilsafat” begitu kata seorang kakak cantik, salah satu anggota kebanggaan dalam organisasi kami yang datang bergabung bersama kami. Promosi yang jujur, karena aku mengakuinya. Namun ada satu  kata yang belum diungkapkan, menurutku kakak ini bisa dibilang cukup usil.
Tapi aku senang berbincang-bincang dengannya. Keahlian memainkan kata darinya membuatku teringat pada seseorang. Seseorang yang suka memberiku pertanyaan-pertanyaan untuk kujawab meski sebenarnya dia tahu jawabannya. Sengaja memojokkanku untuk menjebakku. Seseorang yang hingga kini,,, ahh entahlah.
Mungkin melihat tingkahku yang entah bagaimana, tiba-tiba saja kakak itu memberikan kejutan dalam bentuk komentar yang luar biasa. Dua orang cowok dalam ruangan itu menjadi sasarannya untuk menganggu dan memojokkanku. Dua orang yang memberikan perlakuan yang kontraks padaku, aneh itu di jadikan sama olehnya.
“Aduh kakak salah, tidak mungkin begitu k,, kakak ni aneh-aneh ja” bantahku setengah terkejut dengan dugaannya mengenai hubunganku dengan cowok.
Ia tersenyum. Usil. Aku risih melihat senyum itu.
“Kakak e,, jangan begitu,, itu tidak benar” setengah merengek aku memintanya berhenti mengangguku.
Ia mengangguk sambil memamerkan senyumnya.
“Jadi orang jangan terlalu mudah di tebak”
Aku terdiam, sejenak menoleh kearahnya, lalu berpaling ketika melihat senyum usil itu masih ada di wajahnya.
“Jangan terlalu berekspresi berlebihan, biasa-biasa saja, supaya orang lain tidak tahu apa yang ada dipikiran kita. Kalau sedih atau senang buat ekspresi yang biasa saja.”  nasihatnya.
Pikiranku menerawang, berusaha menghubungkan antara ekspresiku selama ini dengan perasaanku. Kayaknya biasa saja, toh yang ada dalam hatiku bukan orang yang dimaksudkan kakak itu.
Entah untuk mengalihkan pembicaraan atau apa, tiba-tiba topiknya berganti lagi.
“Orang yang sering duduk memangku kaki seperti ini mempunyai sifat yang khas” katanya sambil mempraktekkan cara memangku kaki  yang dimaksudkan. Cara itu yang biasa di gunakan oleh para lelaki saat duduk bercerita. Cara memangku kaki itu pula yang sering kugunakan saat aku duduk, meski aku seorang cewek, tapi aku merasa lebih nyaman saat duduk memangku kaki seperti itu.
“Sifat khas yang bagaimana?” tanyaku.
Ia terdiam. Aku menoleh kearahnya lalu mengulang pertanyaanku, seolah meyakinkan bahwa pertanyaanku terdengar olehnya.
“Sifatnya manja, tapi ia berusaha untuk menjadi kuat. Ia sebenarnya lemah, tapi untuk suatu alasan ia berusaha menutupinya dari orang lain.”
Aku tersentak. Jawaban itu membuat aku salah tingkah. Aku berpaling ke arah meja pimpinan rapat di depan sana. Lalu pura-pura mengawasi seisi ruangan. Berusaha untuk kuat? Bukankah itu hal yang bagus? Tidak cengeng dan mampu mandiri. Bukankah semua orang mempunyai sifat manja? Tinggal bagaimana seseorang pandai menyembunyikan sifat itu. Berusaha untuk nampak tegar.
“Ah masa, memangnya cowok yang duduk begitu juga sifatnya manja?”
Ia tersenyum dan mengangguk, “Iya, seperti yang saya bilang tadi. Untuk menyeimbangkan dengan cewek” pernyataan yang singkat tapi aku paham maksdunya. Aku mengangguk dan tersenyum puas.
Malam kian menanjak ke puncaknya. Beberapa peserta rapat telah pulang, tak sanggup lagi menahan kantuk yang mengganas.
“Kejujuran itu tampak dalam 3 detik pertama.” Teori baru diungkapkan lagi. Aku kagum pada pengetahuannya. Aku memang hobi membaca, bacaan yang isinya tentang filsafat pun tak pernah luput dari keinginanku. Namun anehnya aku tak pernah temukan teori yang seperti di ungkapkannya.  Teori 3 detik pertama.
“Maksudnya?” tanyaku dengan memasang tampang bingung sambil menduga arah pembicaraannya.
Kudapati lagi senyum itu. Sepertinya memamerkan senyum adalah bakatnya yang menurutku  tidak perlu di kembangkan. Senyum usil itu bagitu menggunggu penglihatanku ketika aku sedang serius menuntut jawaban atas pertanyaanku.
“Kejujuran kita tersimpan dalam pikiran kita.” Telunjuknya menuding kearah pelipisnya, seperti biasa jika orang mau mengagambarkan tentang pemikiran. “jika kita menjawab suatu pertanyaan, belum tentu itu adalah jawaban yang jujur. Karena jawaban yang paling jujur tersimpan dipikiran kita.”
Lagi-lagi aku terdiam. Terpaku pada penjelasannya. Kejujuran. Seperti itukah?
“Jawaban yang kau berikan dalam 3 detik pertama atas sebuah pertanyaan, itu adalah kejujuran”
Aku tersenyum mendengarnya. Aku mengangguk sebagai tanda bahwa aku telah paham.  Kejujuran. 3 detik itu adalah milik kejujuran. Pikiranku kembali melayang pada kejadian beberapa bulan lalu ketika seseorang berbicara padaku di telepon. seseorang yang sangat kusayangi, seseorang yang memberiku kombinasi rasa yang sama dalam hidupku sejak 2 tahun lalu, bahagia dan sakit. Seseorang yang selalu datang dan pergi dalam hidupku. Ia selalu datang kapan pun ia mau. Memasuki kehidupanku. Mengisi kekosongan yang disebabkan olehnya. Dan aku selalu menyambutnya. Lalu ia akan pergi setelah ia punya tujuan lain. keluar dari bahagianya hidpku. Kembali meninggalkan guratan luka di tempat yang sama dalam hatiku. Dan aku tak akan pernah melambaikan tangan padanya. Tidak akan pernah, karena aku tahu suatu saat nanti dia akan kembali lagi dalam hidupku sebelum akhirnya dia pergi lagi. Dan aku selalu menantikan saat dia datang.
3 detik, aku memang masih bisa mengakui bahwa aku masih mencintainya. 3 detik, aku memang masih bisa mengatakan aku menyayanginya. 3 detik, aku memang masih bisa berkata bahwa aku sanggup menunggu kedatangannya. Namun, mengapa 3 detik terlewatkan begitu saja ketika aku bertanya masihkah ada cinta darinya untukku saat dia menghubungiku via telepon? Mengapa 3 detik itu menjadi diam? mengapa 3 detik itu berganti satu menit? mengapa pengakuan yang kuharapkan terjadi dalam 3 detik datang pada menit pertama? Apakah itu pertanda sebuah cinta yang tidak jujur?
 Suasana rapat yang gaduh membuat aku tersadar. Aku masih meremas jemari tanganku, kebiasaan yang kulakukan ketika pikiranku sedang melalang buana atau jika aku mencemaskan sesuatu. Kakak tadi melihat kearahku sambil terus memamerkan senyumnya.
“Kadang kita bilang ‘tidak’ pada apa yang sebenarnya kita mau bilang ‘iya’. Terkadang hal itu terjadi karena gengsi dalam diri kita.” Gayanya sudah seperti memberi kuliah. Terdengar asik, tapi topiknya sangat menjengkelkan. Seperti memojokkanku karena tadi ketika kakak itu bertanya tentang dua cowok yang berada dalam aula itu, aku membantah dan mengatakan tidak, apakah ini “tidak” yang dimaksudkan “iya” olehnya karena aku melewatkan 3 detik untuk menjawab?  Lalu apakah “iya” yang dikatakan oleh seseorang yang meraja dalam hatiku adalah “tidak” karena ia juga melewatkan 3 detik untuk menjawabnya?
Aku akui kebenaran teori ini, namun entah kenapa, jauh dalam hatiku ada rasa yang berontak. Tak ingin kebenaran ini turut berperan dalam kisahku. Karena itu akan memberikan kenyataan yang menyakitkan, kenyataan yang tidak mau kuakui sejak dulu, kenyataan yang membuatku kian rapuh. Karena sejujurnya ‘iya’ yang dimaksudkan oleh cowok terindah dalam hatiku masih kuragukan. Ah teori dari sang kakak itu semakin membuat pertahananku rapuh. Andai saja melupakan tidak harus melewati proses mungkin sejak dulu aku tak mungkin terluka berulang kali. Andai saja dia pergi dan tidak kembali lagi mungkin luka itu tidak terasa lagi meski masih membekas. Andai saja ada satu pribadi yang mampu membuatku membuang jauh bayangnya mungkin aku tidak akan terpuruk seperti ini. Andai saja ada pribadi lain yang mampu memahamiku seperti dia memahamiku. Andai saja aku lebih kuat untuk membiarkan pergi tanpa harus mengharapkannya kembali. Andai saja,,,,,
Tiba-tiba saja, aku merasa sendiri dalam ruangan yang berisik ini. Mungkinkah aku harus berlari pada sang malam? Bersembunyi dibalik gelapnya.
Ah kau yang ada jauh di sana, percaya jugakah kau pada teori 3 detik pertama itu? Jika kau juga mempercainya, hubungi aku sekali lagi. Aku akan melontarkan pertanyaan yang sama padamu, kau punya 3 detik untuk menjawabnya.
Masihkah ada cinta yang tersisa untukku?
3 detik pertamamu,,,,, dimulai dari sekarang.

Kupang, 2012



(catatan lama)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TENTANG MENYUKAI SEORANG FRATER

BENTANGAN LANGIT SIANG HARI