CINTA PUTIH
CINTA
PUTIH
“Kau bahagia Mar?”
“Ya, aku bahagia.”
Kau bohong, dari getir
senyummu dapat kurasakan desah nafasmu yang menahan getar-getar penderitaanmu
selama ini yang membuat tubuhmu kian rapuh. Maaf.
..............................
“Kau
bahagia Mar?”
“Ya,
aku bahagia.”
Tidak
bisakah kau lihat senyum di wajahku saat ini? Dan kurasa senyumku cukup untuk
mengatakan bahwa aku bahagia. Aku bahagia, ya setidaknya aku merasa baik-baik
saja. Tidak ada yang salah dengan keadaanku. Hariku sempurna, begitu pula dengan
hidupku.
“Mar,
aku minta maaf”
Aku
tersenyum. Aku tahu, tidak ada yang lucu atau menggelikan dengan kalimat itu.
Hanya saja aku merasa bahwa aku memang harus tersenyum.
“Mar”
“Jangan
keseringan memanggil namaku, ntar aku tidak bia tidur lagi.” Candaku.
Kau
tersenyum. Menunduk. Kau seperti enggan mengangkat wajahmu. Kuduga, kau sedang
memainkan jemarimu. Ah, itukan kebiasaanmu dulu.
“Jadi,
kau mau mendaftarkan anakmu?”
“Ya,
Mar.”
Kuharap,
kau masih melihat senyum di wajahku yang kuusahakna agar tidak hilang, walau
setiap kata dari mulutmu mampu menghapus senyum itu, kapan saja. Tanpa sisa.
Tapi sejauh ini aku masih bisa tersenyum. Sadarkah kau, aku seorang wanita yang
tegar.
“Scolastika,
nama yang cantik.”
“Ya
Mar, dia cantik.”
“Seperti
ibunya?”
Tanpa
sadar kalimat itu meluncur dari mulutku membuatku merasa begitu bodoh di
hadapanmu. Bahkan keheningan yang tiba-tiba tercipta membuat detak jantungku
yang berpacu lebih cepat sejak kedatanganmu kian terdengar jelas. Diammu yang
tak menjawab pertanyaanku membuatku geram. Malah kutangkap kesenduan di
wajahmu. Melihatmu seperti itu membuat kau terasa asing untukku. Ada apa
denganmu?
“Mar,
aku minta maaf.”
“kau
tidak salah. Bukan salahmu kalau kau tidak nisa ceritakan tentang kehidupan
rumah tanggamu. Aku bisa memahaminya.”
“Tidak
Mar. Bukan itu, tapi,,,”
“Tapi?”
“Tapi
untuk kejadian delapan tahun lalu.”
Aku
tetap tersenyum. Selalu tersenyum. Dan kuusahakan hingga pertemuan ini berakhir
aku tetap tersenyum. Dan tak lupa juga aku memetakan kembali potret wajahmu
yang mulai pudar dalam memoriku.
“Mar,
jangan hanya tersenyum.”
Aku
tertawa, setidaknya itu yang kupaham tentang lebih dari pada sekedar tersenyum.
“Mar,
jangan menatapku seperti itu.”
Aku
menunduk, setidaknya itu yang bisa kulakukan agar tak bisa lagi menatapmu.
Sejak
dulu aku terbiasa mengikuti maumu. Mengerjakan berbagai tugas sekolah untukmu,
hingga menipu guru dengan mengatakan bahwa kau sakit saat kau sedang malas ke
sekolah. Semua rangkaian kebohongan itu membuat kau semakin erat terikat
padaku. Kau bergantung padaku. Dan aku menikmati semua kebohongan-kebongan itu
sebagai suatu pembenaran paling agung. Aku tidak pernah menyesal membenarkanmu
meski aku yang harus menanggung akibatnya.
Namun,
seberapa besar pun pengorbananku, kau tidak bisa menjadikanku lebih dari pada
seorang sahabat dalam lembaran hidupmu. Persahabatan yang sudah kita bina sejak
kecil dan sekali lagi, kunikmati saja saat-saat seperti itu.
Anganku
tiba-tiba saja kembali pada kejadian beberapa tahun lalu.
“Mar,
aku mau pergi.”
“Kemana?
Aku ikut ya?”
“Tidak
Mar, kau tidak bisa ikut.”
“Tidak
boleh?”
“Tidak
bisa.”
“Mengapa?”
“Tempat
itu hanya untuk cowok.”
“Tempat
apa itu?”
“Biara.”
Saat
kau mengatakan itu, aku hanya bisa terdiam. Dan pada saat itulah aku sadar bahwa
ada angin yang berhembus di sekitarku, ada deru ombak yang mendebarkan dan ada
senja yang mengheningkan. Aku baru sadar bahwa selama ini, aku tak pernah
menikmati alam. Yang kunikmati hanya kau dan semua pesonamu. Hingga saat aku
dititik ini, aku menyadari semuanya. Aku menyadari ada yang lain di luar kau.
Bahkan di dalam kau pun terasa ada yang lain.
Demikianlah
kita berpisah. Kau menuju jalanmu di mana ada suara Tuhan memanggilmu, begitu
katamu dulu. Kau beruasaha mempelajari setiap sabda dariNya dan membatasi diri
dengan setiap dosa dalam doa yang membuat jarak kita kian jauh. Kedekatanmu
dengan Tuhan membuatku cemburu. Maka kuputuskan untuk dekat pula dengan Tuhan.
Mungkin saja suatu saat nanti, aku, kau dan Tuhan bisa bersahabat. Lalu kita
bisa menjalin cinta di belakang Tuhan. Namun semuanya berubah ketika waktu tak
ijinkan kita untuk bertemu. Jangankan untuk menjadi lebih dekat, untuk saling
menyapa saja kita sudah tidak bisa lagi. Dan aku kian jatuh cinta pada Tuhan hingga
lupa pernah ada kau yang kucintai.
Dan
ketika kau datang setelah 8 tahun lalu menghilang, kau benar-benar memberikan surprise buatku. Baru kusadari bahwa
namamu tak kulupakan tapi kusimpan di tempat teraman. Dalam hatiku. Tidak ada
yang mampu melihatnya. Hanya aku. Karena aku tak pernah lagi menyebut namamu
setelah kau masuk biara itu. Ketika namamu kubaca sebagai orag tua salah
seorang murid baruku di TK yang kukepalai, aku begitu terkejut. Tiba-tiba saja,
benakku kembali di penuhi namamu. Pertanyataan-pertanyaan berseliweran dalam
pikiranku. Namun, ketika kau sudah dihadapanku kini bahkan hanya ada kita
berdua dalam ruangan ini, aku malah hanya bisa diam bersama senyumku.
“Mar.”
suaramu membuatku tersadar dari sejarah perjalanan panjangku.
“Sudah
kubilang, jangan keseringan memanggil namaku.”
“Mar,
kamu marah?”
“Untuk
apa.”
“Waktu
itu, aku jatuh Mar. Padahal perjalananku masih panjang. Kala itu aku masih
seorang frater. Tapi dia cantik Mar dan dia juga baik, seperti kamu. Aku lalu
kehilangan kontak dengan kamu. Terakhir yang kutahu kamu keluar negeri. Tapi
aku tak tahu untuk apa. Aku pikir kamu jadi TKW di sana. Ketika sadar bahwa aku
tak bisa lagi menghubungimu tba-tiba saja aku merasa kosong. Seperti orang bodoh
yang tidak punya apa-apa sebagai penunjuk jalannya. Aku menjadi lemah, tak tahu
bagaimana caranya bertahan, kerena kau selalu melindungiku termasuk dari
godaan-godaan teman-teman cewek kita dulu. Hingga saat aku kehilanganmu, aku
tak tahu bagaimana bertahan seorang diri. Kau tak pernah mengajariku hal itu.
Itu sebabnya, ketika Nia datang dalam hidupku aku langsung terjatuh karena aku
tak tahu bagaimana bertahan dan tak ada yang melindungiku.”
“Maaf.”
“Tidak
Mar, tidak apa-apa. Bukan salahmu. Hanya saja aku yang dulu selalu menikmati
sata-saat kau melindungiku. Maka aku selalu berusaha selalu rapuh agar kau
tetap ada untuk melindungiku.”
“Mengapa
kau ke biara?”
“Jika
terus bersamamu maka aku tak bisa melakukan apa-apa. Kau bisa mengatasi segala
hal dalam hidupku. Hal ini membuatku nyaris kehilangan jati diri. Maka jika ada
tempat yang bisa kudatangi tanpa bersamamu itu hanyalah biara.”
“Kau
bilang suara Tuhan memanggilmu.” kau terdiam, maka aku tahu dulu kau bohong.
Tapi aku tetap tersenyum. Tidak ada gunanya aku marah. Dan aku juga merasa
bahwa kau juga harus tahu bahwa aku masih setegar dulu. Aku mampu mengatasi
banyak hal termasuk debar jantung yang susah payah kukendalikan ini.
“Mar,
ketika aku jatuh dan Nia meninggalkanku setelah melahirkan Scolastika aku
merasa benar-benar kosong. Dan aku sadar, selama ini aku telah sangat salah
padamu.”
Aku terdiam dan masih tersenym.
“Mar,
ketika aku tahu kamu sudah seperti ini. Aku merasa mempunyai kesempatan untuk
bersamamu, lebih dari kebersamaan seorang sahabat. Aku menginginkanmu. Tidakkah
kau merasa kita seperti ditakdirkan untuk bertemu kempali?”
“Kesempatan?
Takdir?”
“Iya,
Mar. Maaf kalau kukatakan dalam ruangan kerjamu ini. Aku menginginkanmu untuk
mengisi kekosngan hatiku. Dan bersama kita besarkan Scolastika.”
Tawaran
yang sebenarnya sangat menggoda, andai kalimat itu terucap beberapa tahun
silam, mungkin kesempatan dan takdir yang kau maksudkan bisa tergenapi. Namun,
saat ini kesempatan itu tidak berlaku lagi. Takdir itu kuanggap telah lewat.
Bukan karena aku tidak mencintaimu lagi, namun ada cinta yang lebih besar
kurasakan dalam hatiku. Cinta yang lebih agung dan suci. Cinta yang kuyakin tak
pernah meninggalkanku. Cinta yang bukan milikmu lagi.
Aku
tersenyum, ya aku yakin ini masih sebuah senyuman meski dalam hatiku ada amarah
yang membakar habis setiap isi dadaku. Diam-diam aku berdoa,agar api itu tidak
turut membakar lembaran-lembaran senyum yang sudah kutampung 8 tahun lamanya
agar aku bisa tetap tersenyum dalam
keadaan apa pun saat bertemu dirimu.
“Mar,
mengapa kau hanya tersenyum?”
Setidaknya
perkataanmu itu membuatku yakin bahwa masih ada sepotong senyum di wajahku.
“Maaf
Dany, aku...”
“Sudah
ada yang kau cintai?”
“Ya.”
“Siapa?”
“Yesus.”
“Mar,,,”
“Boleh
aku minta satu hal darimu Dany?”
“Ya,
Mar, apa pun itu akan aku penuhi.”
“Panggil
aku suster Maria.”
“Mar,,,”
“Jangan
pernah menyebut namaku hanya dengan sebutan ‘Mar’. Aku seorang suster.”
Kau
lihat kan? Masih ada senyum di wajahku.
Tergabung dalam Antologi Sastrawan NTT yang berjudul: Kematian Sasando
Nice blog. Like it!
BalasHapusmakasih kk,,,, masih banyak yang harus saya pelajari lagi tentang blog heheheheh
HapusKemarin sempat baca 'Mencintai Dendam' (?) di Santarang.... Well...endingnya kurang enak tu. Sebenarnya pembaca sudah bisa menaruh simpati dengan tokoh narator, tetapi akhirnya tahu bahwa si narator jg sama dan serupa dengan dua tokoh antagonis terdahulu. BTW, pembaca masih harus lagi bertanya2, apa yg akan dilakukan sang putri, Nia. Apa ia akan ikut2an jadi antagonis juga?
BalasHapusmakasih kk buat komentarnya, sangat bermanfaat buat koreksi saya kedepannya,,,, untuk si Nia, saya pikir biar pembaca saja yang menafsirkannya,,,,
Hapus