DUA WANITA, DUA CINTA
“Bagaimana Ma?” Rian sedikit memelankan suaranya. Setengah berbisik seraya
berharap yang dimaksudnya dapat mendengar apa yang dikatakannya. Tatapannya lurus,
langsung tertuju pada sang Mama. Rian mengawasi setiap gerakan Mamanya, selain
helaan dan hembusan nafas Mama, rian tidak menangkap gerakan lainnya. Bahkan
mata Mama tak bergerak. Wajah beliau
tetap tertuju pada secangkir kopi pekat di pangkuannya. Entah apa yang ada di
pikirannya.
Sikap tenang Mama membuat Rian tak bisa menebaknya. Tak ada ekspresi di wajah Mama. Datar. Tak ada kata dari mulut Mama. Diam. Padahal Rian inginkan lebih dari pada sekedar diam.
Sikap tenang Mama membuat Rian tak bisa menebaknya. Tak ada ekspresi di wajah Mama. Datar. Tak ada kata dari mulut Mama. Diam. Padahal Rian inginkan lebih dari pada sekedar diam.
“Ma” ulang Rian dengan suara yang agak
keras. Berharap kerja gelombang di udara berfungsi dengan baik agar suaranya
terhantar jelas di telinga Mama. Dan ternyata fungsi gelombang masih baik
karena Mama segera mengangkat wajahnya. Telunjuk Mama menggesek-gesek mulut
cangkir.
Rian menatap tak sabar wajah di
depannya. Kerutan diwajah Mama sudah cukup untuk memahami batapa beliau
melewatkan hidup yang keras. Membesarkan anak lelaki semata wayangnya seorang
diri hingga Rian bisa mengenyam pendidikan di bangku perkuliahan, bahkan
sebentar lagi Rian akan menyelesaikan studynya. Tatapan matanya yang terlihat cerdas
masih bersinar seolah tak ada alasan untuk redup meski terkadang pekat
menuntutnya untuk bekerja lebih keras lagi. Meski tatapan tajam menghujam Rian,
tapi tetap meneduhkan, lembut dan penuh kedamaian. Mata itu sudah mengajarkan Rian
bagaimana memahami perjuangan, kejujuran, ketulusan, dan cinta.
Perlahan tangan Mama mengangkat cangkir
kopinya. Aroma kopi yang tercium dari kepulan asap itu begitu dinikmatinya.
“Hmmm kopi selalu membuat Mama merasa
pulang ke rumah”
Rian tahu, Mama sengaja mengalihkan
pembicaraan, tapi Rian tetap diam. Mungkin Mamanya sedang rindu pulang ke rumah
Mama, jauh di selatan nusantara, melintasi lautan maha luas. Di sana, di pulau
sumba, di situlah rumah Mama. Mama sudah terlalu lama di Jakarta, hampir
seusiaku yang sudah 24 tahun ini. Mama tak pernah pulang. Itu sebabnya Rian
membiarkan Mamanya menikmati khayalan tentang rumah yang sudah lama di
tinggalkan. Mama bukan tak ingin pulang, tapi tak bisa pulang. Adat yang
menuntut Mama menikah dengan anak dari seorang kerabat Mama yang tak lain adalah
sepupu Mama membuat Mama nekad meninggalkan Sumba bersama lelaki yang Mama
cintai. Sayangnya Ayah Rian meninggal saat Rian berusia 3 tahun. Saat itu Rian
belum sempat mengukir wajah Ayahnya dalam memorinya. Dalam kesendiriannya, Mama
berhasil melawan kerasnya hidup. Dan Rian tidak akan pernah mengabaikan
perjuangan mamanya.
Rian masih menunduk. Namun, tanpa melihat,
ia tetap tahu bahwa Mama baru saja meletakkan cangkir kopi ke tatakannya yang
masih di pangkuan Mama. Rian masih bisa menangkap dengan jelas bunyi cangkir
yang bergesekan dengan tatakannya, meski Mama selalu menyimpannya dengan
lembut, selembut hati Mama.
“Rian” panggil Mama.
Rian mengangkat wajahnya. Di dapatinya
senyum di wajah Mama. Seperti biasa, selalu mendamaikan hati.
“Apakah kamu yakin?” Rian sudah terbiasa menatap mata Mama. Karena
di sanalah Rian selalu marasa nyaman, tenang dan terlindungi. Satu-satunya pelarian
ternyaman yang di miliki Rian. Tapi entah kenapa, ditanya seperti itu membuat Rian
tak sanggup membalas tatapan mama. Rian menunduk. Merasa terhakimi. Ia hanya memandang
hamparan kain meja coklat di depannya. Jaraknya dengan Mama hanya seukuran meja
ruang tamunya, tapi tatapan dan pertanyaan Mama membuatnya merasa jauh dari Mama
bahkan jauh dari dirinya sendiri. Rian seperti mendapati area kosong dalam
pikiran dan hatinya.
“Ada apa Rian? Apa kamu ragu? Bukankah kamu
yang memilihnya?”
Suara Mama yang selembut ini membuat Rian
tiba-tiba merasa pening. Di kepalanya seperti terdengar suara seorang wanita cerewet
yang sedang memanggil namanya, yang sedang bercanda dengan suara riangnya, yang
sedang membicarakan sesuatu dengan plin plan, terdengar lucu.
Rian masih terdiam, tapi terlihat gelisah.
Ia meremas-remas jemarinya. Bukan takut pada Mamanya, tapi takut pada penolakan
Mama, karena Rian tahu, ia takkan pernah mampu membantah Mamanya.
................................................................................................
“Ambu, kamu suka bunga tidak?”
“Tidak, saya lebih suka pohon, lebih
kokoh dan tangguh”
“Kalau kucing?”
“Lebih bagus anjing, lebih perkasa”
“Kamu suka gerimis?”
“Tidak”
“Tapi kok kalo mendung kamu seperti tak
sabar?”
“Iya, saya lebih suka hujan, lebih total
basahnya, tidak setengah-setengah”
“Kalo motor sama mobil kamu lebih suka
mana?”
“kuda aja deh,,,”
“kok kuda?”
“Aku kan di besarkan di daerah yang
banyak kudanya, hehehehe”
“Aku serius, aku butuh jawabanmu”
“Memangnya untuk apa sich? Jangan-jangan kamu suka bunga, kucing dan
gerimis ya? Ya ampun Rian,,, itu kan cewek banget,,, plis dech ,,, gantle dikit
donk”
“Bukan itu maksudku, tapikan biasanya
cewek suka yang begitu, tapi kok kamu nggak suka?”
“Hmmmm tiap orang kan berbeda Rian”
“Tapi aku selalu menyukai wanita yang
menyukai itu semua?”
“siapa?”
“Mama”
“Maksud kamu?”
“Aku selalu menyayangi Mama yang
menyukai hal-hal itu, tapi kamu...”
“Maaf rian, aku pergi dulu”
“Lho, kenapa?”
“Aku hanya ingin kau tahu, aku bukan Mamamu,
aku ambu, aku memang terlahir dari rahim seorang perempuan, tapi bukan Mamamu, aku
memang paham cinta seorang Mama, tapi bukan cinta Mamamu, aku dan Mamamu adalah
dua orang yang berbeda, bagaimana bisa kau menemukan sosok Mamamu dalam diriku?
Bagaimana bisa kau berharap aku menjadi seperti Mamamu yang tak pernah kutemui
satu kali pun dalam hidupku? Bagaimana bisa kau menuntut aku memberikan cinta
dengan cara Mamamu? Demi Tuhan Rian, aku bingung dengan jalan pikiranmu, aku dan
Mamamu memang perempuan, sama-sama mencintai kamu, tapi dengan cara berbeda,
kalau kau menginginkan cinta seperti Mamamu, cintai saja Mamamu, tapi kalau kau
masih mau rasakan bentuk cinta yang lain, buka hatimu Rian, bersiaplah untuk
setiap kejutan cinta yang belum pernah kau temukan, sekali pun itu dari cinta
Mamamu. Maaf Rian, kau membuatku merasa
bukan sebagai cewek yang mencintaimu, tapi seorang ibu yang mencintai anaknya”
Rian masih terpaku. Ia tak sempat
mengejar Ambu yang saat itu sudah berlari meninggalkannya. Ambu bukanlah tipe
gadis yang jalannya anggun, ia gesit. Tubuhnya tak seperti toko berjalan yang
penuh dengan aksesoris, ia hanya memakai sebuah gelang di tangannya, berwarna
orange, katanya terbuat dari batu. Gelang itu pemberian Mamanya. Benda berharga
yang berasal dari daerahnya.
Ambu berasal dari salah satu pulau di
selatan nusantara. Pulau sumba, sama seperti mama Rian. Di jawa, pulau itu tak
terlalu di kenal. ketika Ambu memperkenalkan diri berasal dari Sumba,
teman-teman selalu bertanya Sumba itu dimana? Atau Sumba itu Sumbawa ya? Ambu
tiadak akan marah, ia malah akan tertawa dan dengan sabar menjelaskan pada
teman-temannya, pernah sekali Rian dan teman-temannya iseng mengerjai Ambu,
mereka bertanya pada Ambu di mana letak pulau Sumba. Meski Ambu sudah
menjelaskan berulang kali, mereka tetap bertanya. Hingga akhirnya Ambu pergi,
mereka pikir Ambu marah. Tapi ternyata, Ambu datang lagi dengan cengar-cengir
memamerkah senyum khasnya yang tak pernah hilang dari wajahnya. Ia membawa
sesuatu di tangannya. Sebuah gulungan peta. Mereka semua terkejut, lalu tanpa
menunggu reaksi mereka, Ambu mulai menjelaskan posisi pulau sumba. Ia seperti
guru SD yang sedang menjelaskan geografi. Rian dan kawan-kawannya merasa lucu.
Namun sesaat kemudian,mereka mendengar suara seorang dosen di belakang mereka.
Ambu menyerahkan gulungan peta itu, sambil mengucapkan terima kasih. Sang dosen
lalu memandang Rian dan kawan-kawannya dengan bingung, seolah sedang berhadapan
dengan bayi raksasa yang tak memiliki pengetahuan.
Entah kenapa Rian merasa malu di hadapan
Ambu. Sejak saat itu, Rian tertarik pada Ambu. Gadis cerdik yang tahu bagaimana
membuat orang menerima ganjaran atas perbuatannya. Setelah mengetahui bahwa
Rian juga berasal dari sumba meski telah lama berada di Jakarta, Ambu pun
tertarik padanya. Dan terjalinlah kisah cinta mereka.
Rian menyukai Ambu yang selalu cepat
dalam berpikir dan bertindak. Walau pun kadang pikirannya ngawur dan
tindakannya menyebabkan sedikit kekacauan. Rian menyukai Ambu yang selalu
tertawa dan berjalan sambil bersenandung, meski kadang ia sendiri yang membuat
kekonyolan yang pada akhirnya ia yang akan ditertawakan. Rian menyukai Ambu
yang selalu bicara plin-plan dan apa adanya, meski terkadang Ambu mengungkapkan
kejujuran yang menyakitkan. Rian menyukai ambu yang selau membuatnya tidak
menyesali keterlambatan, atau kesalahan, rian belajar menikmati bentuk lain
dari penyesalan, karena Ambu selalu memberikan hal-hal yang tak diduganya.
Semua tentang Ambu adalah kejutan bagi Rian. Dan Rian sangat menyukainya.
Sangat mencintainya.
Hal ini yang membuat Rian
bertanya-tanya, kenapa ia menyukai cewk seperti Ambu? Yang tak selembut Mama,
tak sewibawa Mama, yang tak seayu Mama. Ia malah terjebak dalam cinta Ambu yang
sifatnya berlawanan dengan mamanya. Padahal Rian juga sangat menyayangi Mamanya. Mengapa ia
menyukai dua wanita dengan sifat yang berbeda? Namun setelah mendengar
perkataan Ambu tadi, Rian mengakui kebenarannya, bersama Mama, Rian memang marasa
damai, merasa tenang, selalu menjadi tempat ternyaman untuk pulang. Menjadi
seorang anak. Bersama Ambu, Rian selalu dikejutkan dengan tingkah ambu yang menuntut
Rian untuk selalu melindungi dan membela Ambu dari tingkahnya yang kadang
sangat menyusahkan orang lain, terlebih Rian. Rian merasa menjadi seorang pria.
Dan yang terpenting Rian dapat memahami bahwa dirinya sedang dicintai dan
mencintai dua orang wanita.
Setelah berhasil mendapatkan maaf dari Ambu
yang sore itu merasa tersinggung oleh pertanyaan dan pernyataan Rian. Rian lalu
membawanya bertemu dengan Mamanya. Seperti biasa, Ambu susah mengontrol sikapnya
hingga beberapa kali ia berbuat ceroboh di depan Mama Rian. Rian merasa tak
enak hati pada Mamanya karena kelakuan Ambu namun anehnya Mamanya malah terus
tersenyum apalagi waktu Mama dan Ambu minum kopi bersama. Rasanya Ambu seperti
pulang ke sumba. Dari mata ke dua wanita yang Rian cintai itu, ia bisa membaca
sebentuk rindu yang sama. Rindu pada sumba.
................................................................................................
“Kamu yakin Rian?” ulang Mama. Rian
menatap Mamanya. Sambil tersenyum ia mengangguk.
“Ya Ma, Rian yakin”
Sore itu, setelah Ambu pulang, Rian
meminta pendapat Mamanya. Rian dan Ambu sama-sama sudah dewasa, sedikit lagi
mereka akan diwisudakan dari kampus mereka. Sudah sewajarnya jika mereka serius
dengan hubungan mereka. Ambu memang ingin kembali ke Sumba untuk mengamalkan
ilmu yang didapatnya di bangku kuliah dan Rian merasa memang sudah sudah
waktunya ia kembali ke tanah nenek moyangnya. Sudah saatnya Mama pulang dan
bertemu dengan keluarga besarnya. Rian yakin, waktu telah membuat semuanya
berubah. Begitu pula dengan amarah dari keluarga Mama. Mama pasti sudah
termaafkan. Sudah terlalu lama Mama memendam rindu pada pulau itu. Pada keluarga
Mama.
Yang Rian takutkan adalah penolakan Mamanya.
“Lalu apa yang membebani pikiranmu Nak?”
“Aku bingung Ma,,,entah kenapa, kalau
dekat Mama, aku seperti merasa ragu dengan Ambu”
“Kenapa? Karena sifatnya?”
Rian mengangguk. Setelah itu, barulah ia
menyesal, ia merasa malu mengakui hal itu di depan Mama.
“Dengar Rian, kamu sudah dewasa, kamu
sudah harus tahu apa yang terbaik buat kamu. Jika kamu mencari Mama dalam diri
Ambu, kamu tidak akan menemukannya. Kalau kamu mencari cinta seorang ibu, mama
bisa memberikannya, tapi kalau kamu mencari sebentuk cinta lain, ka,u menemukannya
dalam diri Ambu. Pernahkah Ambu menuntut kamu seperti ayahnya?”
Tanpa pikir panjang, Rian menggelengkan
kepala.
“Seharusnya kau bangga pada Ambu kerena
dia mencintai kamu apa adanya, dengan segala sifat yang kamu punya, hasil dari
pengalaman hidupmu, selain itu Ambu juga tumbuh menjadi dirinya sendiri, tanpa
harus serupa dengan orang lain hanya untuk kamu cintai, sekalipun itu adalah
mama. Dia tumbuh seperti itu adanya, dan juga ingin diterima seperti itu. Dia bukan
Mama, dia Ambu.”
Rian terdiam. Berusaha mencerna
kata-kata Mama. Perlahan Mama meletakkan cangkir kopinya di atas meja. Nyaris
tanpa bunyi. Mama memang orang yang lembut. Mama beranjak mendekati jendela.
Menatap di luar sana, seolah di sana terdapat hal yang paling Mama rindukan.
“Ambu tumbuh di lingkungannya, membuat
ia menjadi seperti itu. Ceroboh tapi menyenangkan, bicaranya plin plan tapi
hatinya lembut, gerakannya lincah, senyumnya manis. Sumba betul-betul
melahirkan wanita perkasa. Seperti itulah seorang gadis sumba Rian, kuat dan
tegar.”
Rian melihat Mamanya seperti sedang membanggakan
sesuatu. Ada kerinduan yang diam-diam menjalar dalam hati Rian. Kerinduan yang
tertular dari tatapan mata Mamanya. Begitu bangganya Mama pada Sumba.
“Dari lebar langkahnya dapat kulihat
sabana maha luas, mungkin dulu ia banyak menghabiskan waktunya untuk berlarian di
sabana. Melihat caranya melangkah seperti melihat dan mendengar gemuruh
hentakan kuda yang berlari menuruni bukit. Melihat caranya tertawa mengingatkan
Mama pada wanita-wanita sumba yang menenun sambil memamah sirih pinang. Rian, melihat
Ambu, membuat Mama merindukan Sumba. Mama,,,,” Mama terdiam. Tak sanggup
melanjutkan kata-katanya. Berat rasanya untuk mengucapkannya. Seolah kata itu
terlalu sakral untuk diucapkan.
“Mama” panggil Rian.
“Mama ingin pulang Rian” akhirnya
kesucian kata yang selama ini terjaga sudah ternoda. Dua puluhan tahun kata itu
hanya tertahan di tenggorokan Mama. Hari ini, Rian akhirnya mendengar
permintaan paling diinginkan Mama. Tanpa terasa air mata Mama jatuh. Ya Tuhan,
sehebat inikah rindu? Atau memang Sumba yang tak pernah rela dilupakan, hingga
kenangan tentangnya tidak pernah hilang.
Rian terdiam. Tidak tau harus berbuat
apa. Betapa besar keinginan mamanya untuk pulang. Mungkinkah bila ia bisa
mewujudkan keinginan mamanya? Membawa pulang mama ke Negeri sandel itu.
“Rian” Rian menoleh kearah Mamanya. Tak
ada lagi air mata di wajah renta itu. Tapi matanya masih basah. Menyelimuti
rindu yang kian terbaca jelas. Lalu Rian mendapati senyum di wajah Mama “Mama
kangen Ambu, sering-seringlah ajak ia ke sini”
Saat itu juga, di tempat itu juga. Rian
berjanji akan menikahi Ambu dan pulang ke tempat yang di rindukan Mama. Ke
tempat seharusnya ia berada bersama kedua wanita yang dicintainya dengan
sepenuh hati. Sumba.
Komentar
Posting Komentar