TENTANG KITA DAN HUJAN



Siang ini tidak panas seperti biasanya. Mendung. Perlahan tetesan itu terasa menyejuk di permukaan tangan. Dingin. Basah.
Hujan mulai membasahi tanah. Tapi bukan hujan yang lebat. Hanya rinai gerimis. Tetesannya jarang. Tidak menyambung. Ada jeda panjang antara tiap tetesan itu. Ruang kosong antar basah. Itu gerimis kan?
Debu mulai berterbangan. Mengambang. Semakin tinggi seiring meluas tanah basah. Tinggi. Hingga terhirup olehku. Dan aku sangat meyukainya. Aroma debu diawal penghujan setelah kemarau berkepanjangan. Aku selalu merindukan aroma itu.
“Pulang yuk”
“Nggak ah”
“Kenapa?”
“Mendung, ntar kehujanan”
“Huuuu cowok kok penakut, kayak nggak pernah mandi hujan aja”
“Tapi kata orang, hujan pertama di musim hujan itu bisa bikin sakit lho”
“Kata aku, hujan itu menyenangkan, tidak peduli hujan pertama, kedua atau pun terakhir”
 Kau terdiam. Lalu tersenyum.
“Pulang Yuk” ajakmu.
Aku tersenyum. Seragam putih merah itu pun basah oleh guyuran hujan.
Tidak peduli itu adalah hujan pertama, kedua atau pun terakhir. Bagiku, hujan adalah hujan. Hanya saja terkadang yang pertama adalah sesuatu yang beda. Demikian pula dengan hujan. Ada kharisma di dalamnya. Ia punya aroma debu. Selalu kurindu. Yang pertama. Mungkinkah itu ”kau”?
“Pulang yuk”
“Nggak ah”
“Kenapa?”
“Mendung, ntar kehujanan”
“Huuuu cewek hujan kok penakut, kayak nggak pernah mandi hujan aja”
“Kata mama, aku nggak boleh mandi hujan hari ini.”
“Kok gitu? Bukannya ini hujan pertama? Kamu mau menyia-nyikan?”
“Bukan begitu, tapi”
“Tapi?”
“Aku lagi datang bulan”
Kau terdiam. Lalu tersenyum.
“Ya sudah, aku temani kamu di sini ya, sampai hujan reda”
Kini gantian aku yang terdiam. Lama. Lalu aku tersenyum. Enggan mengangguk, namun tidak menolak. Seragam putih biru kami pun tetap kering. Tidak diguyur hujan pertama. Namun aroma debu itu, tetap terasa. Aroma yang kurindukan. Selalu merindu. Mungkinkah “kau”?
“Pulang yuk”
“Nggak ah”
“Kenapa?”
“Tunggu hujannya turun”
“Dasar cewek hujan, mandi hujan terus, nggak takut sakit?”
“hahahaha kamu juga samakan? Mandi hujan terus”
“Huuuu ini akibat ketularan kamu”
“Siapa suruh ikut aku terus”
“Karena kamu,,,”
“Hujan. Pulang yuk”
“Yuk”
Ahhh,,, senangnya. Hujan pun terasa begitu sempurna ketika putih abu-abu kita sama-sama diguyur hujan. Hujan pertama di tahun terakhir kita berseragam. Hujan pertama yang selalu berlalu dan datang lagi. Hujan pertama yang selalu kurindu. Hanya hujan yang kurindu. Hanya kau.
Hujan kau datang lagi. Esoknya kau datang lagi? Atau kau akan menghilang? Hmmm tidak kan? Kau akan tetap ada esok dan masih akan tetap ada. Meski mungkin kau menghilang sejenak lantaran kemarau, namun yakinlah aku masih akan merindukanmu. Aroma debu awal musim hujan. Adakah rindu itu kau?
Tapi, kau di mana? Hujan? Kenapa? Kok hanya mendung? Tidakkah kau datang hari ini setelah kemarin kau membiarkanku menunggu seharian?
Hujan? Di mana kau?kenapa mata ini terus menengadah? Mencarimu. Jika saja aku bersayap, akan kukoyak mendung itu, mencabik-cabiknya dan membiarkan air yang tertampung di dalamnya bisa jatuh. Tumpah. Memuaskan kerinduanku pada hujan, pada debu dan padamu. Kau? Kau di mana?
Hujan. Ini aku. kau lihat aku? Aku bersamamu. Bersama air yang kau jatuhkan. Dan aku basah. Rambutku, tubuhku, jemariku. Tak ada lagi yang tak tersentuh olehmu. Bahkan mataku pun basah. Di dalam sana, ada telaga yang mengalir. Berbaur dengan basahmu. Pandangku kian kabur. Setelah berulang kali melewati hujan pertama dalam kesendirian, rindu ini tak tertahan lagi.
Ternyata aku baru sadar bahwa kini, bukan saja hujan pertama yang kurindukan, bukan saja aroma debu yang ingin kuhirup, tapi aku juga merindukan kau. Ya, dirimu yang selalu menemaniku menikmati hujan. Kau yang sejak dulu selalu bersamaku. kau yang meninggalkanku setelah kelulusan kita di SMA. Kau yang hilang seperti tetesan hujan yang kembali meninggalkan sang tanah. Pergi entah kemana.
Tapi, samakah kau dengan hujan?yang datang lalu pergi lagi? Atau pergi lalu datang lagi? Jika memang begitu, mengapa kau tak kunjung datang? 4 tahun telah kulewati hanya bersama hujan. Tanpamu. Tidakkah kau juga rindu pada hujan kita? Padaku?
“Rasti” ah saking rindunya aku sampai berilusi tentang suaramu yang meneriakkan namaku.
“Rasti” dan kini, bukan hanya suara mu yang kudengar. Samar-samar dapat kulihat tubuh tegapmu berlari mendapatiku. Semakin dekat semakin membuatku yakin bahwa hujan telah mengolok-olok aku dengan bayangmu.
“Rasti”
“Hendra?”
“Ya, Rasti, ini aku. kamu masih ingat aku? kamu masih hobi main hujan? Kamu masih merindukan aroma debu?”
“Tentu saja Hendra. Aku bahkan merindukanmu juga”
“Aku rindu pada hujan. Di London memang ada hujan, namun ada yang kurang”
“Apa yang kurang?”
“Aroma tanah di awal musim hujan”
“O,,,”
“Terutama kamu, gadis hujan yang telah membuat hatiku kering merindukan air saat jauh darimu”
Hujan, apakah ini hadiah darimu? Inikah yang di sebut pelangi sehabis hujan? Karena ia penuh pesona sejuta warna. Hadir membayangi setiap percikan-percikan dingin. Menari indah di pelataran basahmu. Riak-riak mimpi yang dulu bergoyang tanpa irama kini bergemuruh memecahkan sunyi yang telah lama bersarang di hati.
“Rasty, aku selalu merindukanmu. Bahkan hujan pun tak cukup untuk mengatasi rasa rinduku.”
Aku tak dapat lagi membedakan air hujan ataukah air mata yang membasahi pipiku. Namun, dapat kurasakan hangat bola mataku seiring telaga yang masih mengalir dari pelupuk mataku. Rangkulan ini yang kurindukan,menghangat di bawah guyuran hujan. Hujan kita.
Yang kurindu dan selalu kurindu, ternyata itu adalah kau, Hendra.


 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TENTANG MENYUKAI SEORANG FRATER

BENTANGAN LANGIT SIANG HARI